Notification

×

Iklan

Iklan

Reformasi Hukum Perusahaan: Urgensi Perlindungan Pemegang Saham Minoritas

Minggu, 20 April 2025 | April 20, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-04-20T15:09:07Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Sulistiawati (Foto/IST)

Dalam sistem hukum perusahaan modern, prinsip keadilan dan transparansi menjadi dua fondasi utama yang tidak dapat ditawar. Sayangnya, pemegang saham minoritas sering kali berada dalam posisi lemah dalam menghadapi dominasi pemegang saham mayoritas yang memiliki kendali atas keputusan strategis perseroan. Ketimpangan relasi ini menjadi salah satu alasan mengapa reformasi hukum perusahaan perlu diarahkan secara serius untuk melindungi kepentingan pihak minoritas. Jika tidak, dunia usaha akan terus dikuasai oleh praktik oligarki korporasi yang menyingkirkan suara-suara kecil dalam rapat umum pemegang saham. Ketimpangan ini bukan sekadar persoalan bisnis, melainkan juga soal keadilan hukum.


Di Indonesia, regulasi terkait perseroan terbatas memang telah memberikan pengakuan terhadap keberadaan pemegang saham minoritas. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, misalnya, mengatur hak-hak tertentu seperti hak untuk mengajukan gugatan terhadap direksi atau komisaris dan hak untuk meminta pembubaran perseroan melalui pengadilan. Namun, dalam praktiknya, pelaksanaan hak-hak tersebut sangat terbatas karena berbagai kendala administratif, biaya, hingga tekanan internal dalam perusahaan. Tak jarang, pemegang saham minoritas dianggap sebagai pengganggu stabilitas perusahaan hanya karena mempertanyakan kebijakan direksi.


Fenomena ini diperparah oleh budaya korporasi yang tidak inklusif. Banyak keputusan penting yang diambil tanpa mempertimbangkan keberatan pemegang saham minoritas. Padahal, transparansi dalam proses pengambilan keputusan bukan hanya hak semua pemegang saham, tetapi juga merupakan bagian dari prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). Ketika suara minoritas diabaikan, bukan hanya keadilan yang dikorbankan, tetapi juga potensi lahirnya konflik internal yang merugikan kelangsungan bisnis itu sendiri.


Salah satu isu yang paling krusial adalah dalam praktik merger dan akuisisi. Banyak kasus di mana pemegang saham mayoritas mendorong akuisisi dengan skema yang merugikan nilai kepemilikan saham minoritas. Tanpa adanya ketentuan perlindungan yang kuat, saham minoritas bisa terdilusi, bahkan lenyap nilainya. Ini menunjukkan bahwa hukum perusahaan kita masih belum cukup memberi mekanisme pencegahan atas penyalahgunaan kekuasaan korporasi. Sistem yang ada masih terlalu memberi ruang pada dominasi mayoritas.


Negara-negara dengan sistem hukum korporasi yang lebih maju seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Singapura sudah lama mengembangkan prinsip "minority protection" dalam berbagai instrumen hukum dan kebijakan internal korporasi. Salah satunya adalah penguatan peran dewan komisaris independen yang benar-benar berfungsi sebagai pengawas atas tindakan direksi dan mayoritas pemegang saham. Selain itu, konsep class action dan derivative suit juga menjadi saluran yang efektif bagi pemegang saham minoritas untuk memperjuangkan haknya secara kolektif.


Sayangnya, Indonesia belum memiliki skema gugatan kolektif yang terstruktur untuk pemegang saham minoritas. Upaya perlindungan masih bersifat individual dan berbiaya tinggi, sehingga menyulitkan akses keadilan bagi pemegang saham dengan kepemilikan kecil. Hal ini mencerminkan bahwa aspek procedural justice dalam hukum korporasi Indonesia masih jauh dari ideal. Padahal, keadilan tidak boleh tergantung pada besaran saham yang dimiliki, melainkan pada prinsip persamaan hak.


Reformasi hukum perusahaan perlu diarahkan pada penguatan prinsip perlindungan pemegang saham minoritas, bukan hanya dari sisi regulasi, tetapi juga dari sisi kelembagaan. Misalnya, perlu dibentuk satuan pengawas independen di bawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang memiliki mandat khusus untuk menerima laporan dari pemegang saham minoritas. Lembaga ini dapat bertindak sebagai mediasi awal sebelum perkara dilanjutkan ke ranah litigasi. Dengan begitu, mekanisme penyelesaian sengketa menjadi lebih murah dan efektif.


Pendidikan hukum korporasi juga penting untuk diperluas, khususnya bagi para pemegang saham individu yang selama ini kurang memahami hak-haknya dalam struktur perseroan terbatas. Edukasi publik tentang corporate governance harus menjadi bagian dari program literasi keuangan nasional. Jika publik paham akan hak dan kewajiban mereka sebagai investor, maka ruang untuk terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dalam korporasi akan semakin sempit. Transparansi lahir dari pengetahuan.


Selain itu, ketentuan mengenai keterbukaan informasi dalam perseroan harus diperketat dan diawasi pelaksanaannya. Saat ini banyak perusahaan yang hanya menyampaikan informasi secara formal tanpa keterbukaan substansial. Informasi yang terlambat atau disembunyikan menjadi senjata untuk mematikan reaksi dari pemegang saham minoritas. Dalam dunia digital seperti sekarang, tidak ada alasan untuk tidak memberikan akses informasi secara real-time kepada seluruh pemegang saham, termasuk yang kecil.


Kehadiran teknologi finansial (fintech) dan digitalisasi seharusnya menjadi alat untuk memperkuat suara pemegang saham minoritas. Misalnya, platform digital bisa dikembangkan untuk memfasilitasi forum diskusi pemegang saham, pemungutan suara daring (e-voting), hingga pelaporan dugaan pelanggaran secara anonim. Dengan pemanfaatan teknologi, partisipasi pemegang saham minoritas bisa meningkat dan proses tata kelola perusahaan menjadi lebih demokratis.


Kita juga perlu mendorong perusahaan-perusahaan untuk menerapkan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) secara menyeluruh. Salah satu pilar ESG adalah inklusivitas dalam pengambilan keputusan, termasuk memberikan ruang bagi pemegang saham minoritas untuk menyuarakan concern mereka dalam kebijakan sosial dan lingkungan perusahaan. Dengan mengintegrasikan ESG ke dalam sistem manajemen perusahaan, perlindungan minoritas akan menjadi bagian dari etika bisnis yang menyatu dalam budaya perusahaan.


Tentu saja, reformasi hukum perusahaan tidak akan berhasil jika hanya dilakukan dari atas ke bawah. Diperlukan kemauan politik, tekanan publik, dan kolaborasi antara regulator, akademisi, pelaku usaha, serta investor itu sendiri. Forum-forum dialog seperti rapat umum pemegang saham tahunan (RUPS) harus difungsikan secara substansial, bukan hanya seremonial. Jangan sampai rapat menjadi ajang formalitas yang hanya mengesahkan keputusan mayoritas tanpa diskusi kritis.


Urgensi perlindungan pemegang saham minoritas bukan hanya soal keadilan internal perusahaan, tetapi juga menyangkut daya saing investasi nasional. Investor global akan lebih tertarik menanamkan modalnya di negara yang menjamin keamanan dan keadilan bagi seluruh pemegang saham. Dengan menciptakan sistem hukum perusahaan yang adil, Indonesia bisa meningkatkan iklim investasi yang sehat dan berkelanjutan. Karena dalam dunia usaha, kepercayaan adalah modal utama.


Kini saatnya kita berhenti memandang perlindungan pemegang saham minoritas sebagai beban regulatif. Sebaliknya, ini adalah fondasi penting untuk membangun perusahaan yang modern, demokratis, dan beretika. Hukum perusahaan yang baik bukan hanya melindungi pemilik modal besar, tetapi juga menjamin suara-suara kecil tetap terdengar dan dihargai. Sebab kekuatan perusahaan sejati bukan terletak pada siapa yang paling besar, tetapi pada siapa yang paling adil.[]


Penulis :

Sulistiawati, mahasiswa S1 Hukum di Universitas Bangka Belitung

×
Berita Terbaru Update