Foto/ILUSTRASI
Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) adalah denyut nadi ekonomi Indonesia. Dari warung di sudut kampung, bengkel kecil di pinggir jalan, hingga pengrajin lokal yang menjual produknya lewat media sosial,semuanya memberi kontribusi nyata bagi ekonomi rakyat. Namun ironisnya, sebagian besar dari mereka masih berjalan di atas pijakan hukum yang rapuh.
Banyak pelaku UMKM tidak memiliki izin usaha, tidak mengenal Nomor Induk Berusaha (NIB), dan menjalankan transaksi tanpa kontrak tertulis. Ketika bisnis berjalan lancar, ini bukan masalah. Tapi saat muncul sengketa dengan mitra, konsumen, bahkan aparat,ketiadaan dasar hukum bisa menjadi bumerang yang menyakitkan.
Mayoritas pelaku UMKM tidak lahir dari rencana bisnis yang rapi. Mereka tumbuh dari kebutuhan untuk bertahan hidup atau keinginan mandiri secara ekonomi. Maka tak mengherankan jika aspek legalitas tidak menjadi prioritas awal. Namun, dalam dunia usaha yang kian kompleks, ketidakhadiran legalitas membuat posisi UMKM sangat rentan.
Sengketa soal nama usaha, pembatalan sepihak kerja sama, hingga pelanggaran hak atas merek sering kali terjadi. Dan karena tidak memiliki perlindungan hukum memadai, banyak UMKM akhirnya terpaksa mengalah bukan karena salah, tetapi karena tak punya dasar pembelaan. Di sisi lain, meskipun banyak pelaku UMKM berusaha memperluas jangkauan usaha mereka, mereka juga sering kali menghindari perubahan status usaha ke bentuk badan hukum, seperti PT atau CV, dengan alasan birokrasi yang dianggap rumit. Padahal, memiliki badan hukum bisa memberikan perlindungan yang lebih kuat dan kredibilitas lebih di mata mitra bisnis atau konsumen.
Di sisi lain, hukum yang seharusnya menjadi pelindung justru terasa sulit dijangkau. Bahasa hukum yang teknis, birokrasi yang rumit, dan proses yang melelahkan sering kali membuat pelaku UMKM memilih untuk “tidak mengurus”. Bahkan sistem digital perizinan pun belum sepenuhnya ramah bagi mereka yang tidak terbiasa dengan perangkat atau teknologi.
Alih-alih menjadi jembatan, hukum kadang justru menjadi tembok. Terlebih ketika pelaku UMKM mempertimbangkan untuk mengembangkan usaha mereka dengan mendirikan perusahaan berbadan hukum. Proses pendirian PT atau CV, meskipun tidak lagi sekompleks dulu, tetap memerlukan pemahaman yang cukup mengenai hukum perusahaan yang pada akhirnya menjadi hambatan.
Memperbaiki situasi ini bukan sekadar soal memperbanyak sosialisasi hukum. Kita butuh pendekatan baru yang lebih membumi dan partisipatif. Negara perlu hadir melalui pendampingan hukum langsung di pusat-pusat UMKM, menyediakan template kontrak sederhana, dan membangun kanal penyelesaian sengketa yang mudah, cepat, dan terjangkau. Khusus untuk mereka yang tertarik mendirikan badan hukum, sistem yang lebih sederhana dan transparan dalam mengurus pendirian perusahaan perlu dikembangkan, termasuk di dalamnya pemahaman yang lebih baik tentang hukum perusahaan dan manfaatnya.
Pemerintah daerah, perguruan tinggi, hingga organisasi masyarakat bisa menjadi mitra strategis. Dengan penyuluhan, layanan konsultasi hukum gratis, atau bahkan program magang hukum bagi mahasiswa di sektor UMKM, kesenjangan ini perlahan bisa dijembatani.
Membangun ekonomi yang kuat tak bisa hanya dengan mendorong pertumbuhan semata. Ia harus ditopang oleh struktur hukum yang adil dan inklusif. UMKM berhak mendapatkan perlindungan hukum yang setara dengan pelaku usaha besar. Hukum bukan untuk menakuti, tetapi untuk memberi rasa aman.
Ketika UMKM dan hukum saling memahami, di sanalah letak kekuatan ekonomi Indonesia yang sebenarnya. Dan untuk itu, keberadaan badan hukum yang jelas, seperti PT atau CV, adalah langkah penting bagi mereka yang ingin memperluas skala usaha dan mendapatkan perlindungan yang lebih kuat. Sebab, di balik legalitas, tersimpan keadilan ekonomi yang sesungguhnya.[]
Penulis :
Ferlanda, Mahasiswa Jurusan Hukum Universitas Bangka Belitung, email: ferlandaubb2023@gmail.com