Notification

×

Iklan

Iklan

Kewarganegaraan dalam Perspektif Zamudio dan Relevansinya terhadap Revisi UU Kewarganegaraan Indonesia

Jumat, 25 April 2025 | April 25, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-04-25T02:03:31Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Foto/ILUSTRASI

Oleh: Aldifia Putri (Mahasiswi Fakultas Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Anwar Sarang, email : fiaa40171@gmail.com)


Abstrak


Revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan menandai momentum penting dalam perbaikan tata kelola kebangsaan Indonesia. 


Dalam konteks tersebut, pemikiran sosiologis dari Zamudio mengenai kewarganegaraan sebagai konstruksi sosial dan politik menawarkan sudut pandang kritis terhadap wacana eksklusi dan inklusi dalam kebijakan kewarganegaraan. 


Artikel ini bertujuan untuk mengkaji relevansi gagasan Zamudio dalam mendorong arah kebijakan yang lebih inklusif, demokratis, dan sesuai dengan tantangan global masa kini.


Pendahuluan


Kewarganegaraan bukan hanya status hukum, tetapi juga identitas sosial yang menentukan hubungan timbal balik antara individu dan negara.  Dalam konteks globalisasi, batas-batas kewarganegaraan menjadi semakin cair, mengharuskan negara untuk menyesuaikan pendekatannya terhadap hak dan keterlibatan warganya.


Revisi atas UU Kewarganegaraan Indonesia muncul sebagai respons terhadap dinamika tersebut, terutama dalam isu kewarganegaraan ganda, hak diaspora, serta perlindungan hak-hak sipil. 


Dalam diskursus ini, pandangan Zamudio tentang kewarganegaraan sebagai entitas sosial-politik menjadi sangat relevan untuk dipertimbangkan.


Kewarganegaraan sebagai Konstruksi Sosial dan Politik


Zamudio menegaskan bahwa kewarganegaraan bukan sekadar pemberian status formal, tetapi terbentuk melalui relasi kuasa, pengalaman sosial, dan pengakuan institusional. Dalam hal ini, negara memiliki tanggung jawab untuk membangun sistem yang tidak mendiskriminasi serta memberikan akses yang setara terhadap hak-hak dasar semua warga.


Di Indonesia, masih terdapat kelompok yang mengalami keterbatasan dalam pengakuan kewarganegaraan secara substantif, meskipun telah memenuhi syarat secara legal. Misalnya, sebagian masyarakat adat, penghayat kepercayaan, atau anak hasil perkawinan campuran menghadapi kendala administratif dan sosial dalam mendapatkan layanan dasar atau pengakuan identitas.


Kewarganegaraan Ganda dan Dinamika Diaspora


Salah satu topik utama dalam revisi UU Kewarganegaraan adalah wacana pengakuan kewarganegaraan ganda. Dalam aturan saat ini, anak hasil perkawinan campuran hanya dapat memiliki dua kewarganegaraan hingga usia 18 tahun, kemudian diwajibkan untuk memilih salah satu. 


Kebijakan ini sering kali memicu hilangnya keterikatan warga diaspora dengan tanah air. Melalui perspektif Zamudio, kewarganegaraan seharusnya mencerminkan fleksibilitas dan penghormatan terhadap identitas ganda sebagai realitas sosiologis. Negara dapat mempertimbangkan pengakuan kewarganegaraan ganda secara terbatas dan selektif sebagai bentuk adaptasi terhadap mobilitas warga negara di era global.


Partisipasi dan Perlindungan Hak dalam Konteks Revisi UU


Revisi UU Kewarganegaraan juga menyentuh isu perlindungan dan pencabutan kewarganegaraan. Dalam hal ini, perlindungan hak asasi harus menjadi prinsip utama. 

Pencabutan kewarganegaraan tidak boleh dilakukan tanpa proses hukum yang adil dan transparan.


Zamudio mengingatkan bahwa kewarganegaraan adalah medium pelaksanaan hak sipil dan politik. Negara tidak boleh menyalahgunakan kewenangan untuk mencabut kewarganegaraan sebagai bentuk represi terhadap perbedaan pandangan politik atau ekspresi sosial yang sah.


Menuju Identitas Kewarganegaraan yang Inklusif


Identitas kewarganegaraan Indonesia dibentuk oleh keberagaman budaya, agama, dan latar belakang sosial. 


Karena itu, peraturan hukum harus berpihak pada semangat inklusi. Konsep kewarganegaraan ala Zamudio menekankan pentingnya pengakuan identitas sosial sebagai bagian dari kebijakan negara.


Dengan demikian, revisi UU harus mengakomodasi prinsip keadilan sosial dan pengakuan terhadap kelompok rentan tanpa mengorbankan integritas nasional. Kewarganegaraan harus menjadi jembatan, bukan batas.


Penutup


Pemikiran Zamudio memberikan fondasi teoretis untuk mengembangkan model kewarganegaraan yang lebih adaptif, manusiawi, dan partisipatif. Revisi UU Kewarganegaraan sebaiknya tidak hanya mempertimbangkan aspek legal-formal, tetapi juga dimensi sosial-politik yang membentuk pengalaman menjadi warga negara. Dalam masyarakat demokratis, kewarganegaraan adalah hak sekaligus ekspresi keberadaan yang tidak boleh dikebiri oleh kebijakan yang tidak inklusif.[] 


Referensi


1. Zamudio, M. M. & Rios, F. A. (2006). Critical Race Theory Matters: Education and Ideology. Routledge.

2. Marshall, T. H. (1950). Citizenship and Social Class. Cambridge University Press.

3. Isin, E. F. & Turner, B. S. (2002). Handbook of Citizenship Studies. SAGE Publications.

4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

5. Naskah Akademik RUU Perubahan atas UU No. 12 Tahun 2006, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), 2023.

×
Berita Terbaru Update