![]() |
Foto/Ilustrasi |
Belakangan ini, tagar #KaburAjaDulu ramai menghiasi lini masa media sosial, mencerminkan keinginan kuat generasi muda Indonesia untuk mencari peluang yang lebih baik di luar negeri, baik dalam ranah akademik maupun profesional. Fenomena ini memicu perdebatan: apakah ini hanya tren sesaat yang akan mereda, atau justru sinyal dari permasalahan struktural yang lebih dalam dalam sistem pendidikan, ekonomi, dan ketenagakerjaan di Indonesia?
Tagar yang Lebih dari Sekadar Tren
Dilansir dari Kompas, fenomena #KaburAjaDulu awalnya muncul dan merebak di platform media sosial X (sebelumnya Twitter). Banyak pengguna yang menyertakan tagar ini dalam unggahan mereka sebagai bentuk ekspresi keinginan untuk melanjutkan studi, bekerja, atau bahkan menetap di luar negeri. Namun, lebih dari sekadar tren media sosial, tagar ini kini berfungsi sebagai wadah berbagi informasi terkait beasiswa, peluang kerja internasional, hingga pengalaman hidup di negeri orang.
Beberapa faktor utama yang melatarbelakangi popularitas tagar ini antara lain tingginya biaya pendidikan di dalam negeri, keterbatasan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi lulusan, serta rendahnya tingkat upah dibandingkan dengan beban kerja yang harus ditanggung. Tak heran jika semakin banyak generasi muda yang mulai berpikir ulang: Haruskah bertahan di negeri sendiri ketika ada kesempatan lebih baik di luar sana?
"Kabur" Sebagai Pilihan Rasional di Era Globalisasi
Globalisasi telah membuka akses yang lebih luas terhadap peluang studi dan pekerjaan di berbagai negara. Kemudahan informasi digital, ketersediaan beasiswa, serta tingginya permintaan tenaga kerja di beberapa sektor di luar negeri semakin memudahkan langkah generasi muda untuk mencoba peruntungan di luar negeri.
Negara-negara maju sering kali menawarkan sistem pendidikan yang lebih unggul, lingkungan kerja yang lebih profesional, serta jenjang karier yang lebih menjanjikan. Selain itu, lingkungan kerja di luar negeri umumnya lebih mengutamakan meritokrasi, di mana kinerja dan kompetensi lebih dihargai dibanding faktor non-profesional seperti koneksi atau senioritas. Hal ini semakin memperkuat alasan bagi anak muda untuk memilih "kabur" dibandingkan bertahan dalam sistem yang mereka anggap stagnan.
Cerminan Masalah Struktural di Dalam Negeri
Fenomena keinginan anak muda Indonesia untuk mencari peluang di luar negeri bukan sekadar tren sesaat, melainkan refleksi dari berbagai permasalahan struktural yang hingga kini belum terselesaikan. Salah satu faktor utama yang menjadi pemicu adalah tingginya biaya pendidikan, yang masih menjadi kendala besar bagi banyak kalangan, terutama di perguruan tinggi swasta yang menawarkan kualitas dan fasilitas lebih baik. Akses terhadap pendidikan yang terjangkau dan berkualitas masih menjadi tantangan, membuat banyak anak muda mempertimbangkan opsi studi di luar negeri yang terkadang lebih kompetitif dari segi biaya dan prospek karier. Selain itu, keterbatasan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan bidang keahlian juga menjadi faktor yang mendorong banyak lulusan perguruan tinggi untuk mencari peluang di luar negeri. Ketidakseimbangan antara jumlah lulusan dan ketersediaan pekerjaan yang relevan menciptakan persaingan ketat, sehingga tidak sedikit dari mereka yang akhirnya bekerja di bidang yang tidak sesuai dengan kompetensi akademik mereka.
Di sisi lain, rendahnya tingkat upah di dalam negeri menjadi persoalan yang tak kalah penting. Banyak profesional merasa bahwa kompensasi yang diterima tidak sebanding dengan beban kerja dan tingginya biaya hidup, sehingga bekerja di luar negeri dengan gaji yang lebih kompetitif menjadi pilihan yang lebih menarik. Hal ini semakin diperparah dengan minimnya dukungan terhadap inovasi dan pengembangan riset di Indonesia. Banyak gagasan kreatif dan inovatif yang sulit berkembang akibat kurangnya fasilitas, investasi, dan perhatian dari pemerintah maupun industri. Ketidakmampuan sistem domestik dalam mengakomodasi dan mengembangkan potensi anak muda ini pada akhirnya mendorong mereka untuk mencari tempat yang lebih menghargai dan memberikan ruang bagi perkembangan karier serta ide-ide mereka. Jika kondisi ini terus berlanjut tanpa adanya solusi konkret, bukan tidak mungkin Indonesia akan mengalami brain drain yang semakin parah, di mana talenta-talenta terbaik lebih memilih berkarya di luar negeri ketimbang berkontribusi bagi pembangunan nasional.
Ancaman Brain Drain bagi Indonesia
Jika fenomena #KaburAjaDulu terus berlangsung tanpa adanya solusi konkret, Indonesia dapat menghadapi ancaman brain drain yang serius. Brain drain adalah kondisi di mana sumber daya manusia unggul lebih memilih bekerja dan berkarya di luar negeri dibandingkan di tanah air, menyebabkan negara kehilangan potensi besar untuk pembangunan ekonomi dan inovasi.
Beberapa negara seperti India dan Tiongkok sebelumnya menghadapi tantangan serupa. Namun, mereka berhasil menarik kembali para profesionalnya dengan kebijakan yang mendukung, seperti peningkatan kesejahteraan tenaga kerja, investasi besar dalam riset dan inovasi, serta penciptaan ekosistem kerja yang kompetitif. Jika Indonesia tidak segera mengambil langkah yang tepat, bukan tidak mungkin kita akan terus kehilangan generasi terbaik ke negara lain.
Tren Sesaat atau Krisis yang Harus Dihadapi?
Pada akhirnya, #KaburAjaDulu bukan sekadar tren media sosial yang akan hilang begitu saja. Ini adalah refleksi nyata dari keresahan anak muda terhadap kondisi ekonomi, pendidikan, dan dunia kerja di Indonesia. Jika akar permasalahan tidak segera diatasi, keinginan untuk "kabur" hanya akan semakin meluas dan berpotensi menghambat pembangunan nasional.
Sebagai mahasiswa yang turut menyaksikan fenomena ini, saya melihat semakin banyak anak muda kehilangan harapan untuk membangun karier dan masa depan di dalam negeri. Minimnya dukungan terhadap riset dan hilirisasi inovasi semakin memperburuk keadaan, karena banyak gagasan kreatif yang akhirnya tidak dapat berkembang secara optimal. Akibatnya, potensi besar yang dimiliki generasi muda tidak tersalurkan dengan baik, menghambat pertumbuhan sektor industri serta perkembangan sumber daya manusia di dalam negeri.
Lantas, apakah #KaburAjaDulu hanya sekadar tren sementara, atau justru pertanda dari krisis yang harus segera diatasi? Jawabannya tergantung pada bagaimana pemerintah, dunia industri, dan masyarakat secara keseluruhan bersinergi dalam menciptakan ekosistem yang lebih mendukung bagi generasi muda. Jika Indonesia ingin maju dan bersaing di kancah global, menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi anak muda untuk berkembang bukan lagi sebuah pilihan, melainkan keharusan yang tak bisa ditunda lagi.[]
Penulis :
Muhammad Husen, Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Tanjungpura Pontianak, email: huseinm022@gmail.com