![]() |
Foto/Ilustrasi |
Di era modern ini, kerja keras dipuja-puja seperti agama. Sejak kecil, kita diajarkan bahwa satu-satunya cara untuk sukses adalah bekerja tanpa henti. "Kalau mau sukses, jangan malas!" "Kalau ingin kaya, kerja lebih keras dari orang lain!" Kalimat-kalimat ini begitu akrab di telinga kita, seolah-olah kebahagiaan dan kesuksesan hanya bisa didapatkan dengan terus berlari, tanpa boleh berhenti.
Budaya ini dikenal sebagai hustle culture—sebuah gaya hidup yang mengagungkan kerja keras hingga batas maksimal. Tidak ada waktu untuk istirahat, tidak ada ruang untuk kehidupan pribadi. Semua yang tidak produktif dianggap sia-sia. Tapi, apakah kita benar-benar hidup, atau hanya menjadi budak dari ambisi yang tak pernah selesai?
Ketika Kerja Keras Tidak Lagi Bermakna
Dulu, kerja keras adalah tentang mencapai sesuatu yang lebih baik. Tapi kini, kerja keras sering kali tidak lagi punya tujuan yang jelas. Banyak orang terjebak dalam rutinitas sibuk tanpa tahu apa yang sebenarnya mereka kejar. Mereka bekerja 12-15 jam sehari, membawa pekerjaan ke rumah, bahkan merasa bersalah saat mengambil libur.
Hasilnya? Kita menjadi generasi yang kelelahan, penuh kecemasan, dan kehilangan makna hidup. Banyak yang merasa bahwa meskipun sudah bekerja mati-matian, mereka tetap tidak bahagia. Ironis, bukan?
Menurut survei dari Harvard Business Review, lebih dari 50% pekerja di dunia mengalami burnout akibat tekanan kerja yang berlebihan. Bahkan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) secara resmi mengklasifikasikan burnout sebagai fenomena kesehatan mental akibat stres kerja yang tidak terkelola dengan baik.
Ketakutan untuk Berhenti: Takut Dicap Pemalas, Takut Tertinggal
Salah satu alasan kita terus terjebak dalam hustle culture adalah karena ketakutan. Kita takut terlihat tidak produktif. Takut dianggap malas. Takut tertinggal dari orang lain. Media sosial semakin memperparah hal ini. Setiap hari, kita melihat orang-orang yang sepertinya sudah sukses di usia muda—membeli rumah pertama di usia 25, membangun bisnis sendiri di usia 22, atau traveling keliling dunia sambil bekerja. Semua ini membuat kita merasa tidak cukup.
Banyak yang akhirnya memaksa diri untuk terus bekerja, bahkan saat tubuh dan pikiran sudah minta istirahat. Ada yang menolak cuti karena takut terlihat tidak berdedikasi. Ada yang membawa laptop saat liburan karena tidak ingin kehilangan momentum kerja. Padahal, kesuksesan yang terlihat di media sosial sering kali hanya bagian dari cerita yang ingin ditampilkan. Kita tidak tahu perjuangan di baliknya. Bisa jadi, orang yang terlihat sukses di usia muda sebenarnya merasa sangat lelah dan kehilangan kehidupan pribadinya.
Bekerja Keras Itu Penting, Tapi Beristirahat Juga Penting
Jangan salah, kerja keras itu penting. Tidak ada kesuksesan yang datang dengan sendirinya. Tapi yang sering kita lupakan adalah: istirahat juga bagian dari produktivitas. Otak dan tubuh kita bukan mesin. Kita butuh waktu untuk berhenti, bernapas, dan menikmati hidup. Ada perbedaan besar antara kerja keras dengan tujuan, dan kerja keras yang hanya membuat kita kelelahan tanpa arah.
Beberapa negara telah mulai menyadari bahaya hustle culture dan mengambil langkah konkret. Di Jepang, pemerintah menerapkan kebijakan "Premium Friday", di mana pekerja diizinkan pulang lebih awal setiap Jumat untuk mengurangi stres kerja. Di Prancis, ada aturan yang melarang perusahaan menghubungi karyawan di luar jam kerja. Ini menunjukkan bahwa dunia mulai sadar bahwa manusia bukanlah robot. Kita butuh keseimbangan antara kerja dan hidup.
Kesuksesan Sejati Bukan Tentang Seberapa Sibuk Kita, Tapi Seberapa Bahagia Kita
Pada akhirnya, hidup bukan tentang seberapa keras kita bekerja, tetapi tentang bagaimana kita menikmati perjalanan ini. Apa gunanya sukses jika kita tidak punya waktu untuk diri sendiri? Apa gunanya uang banyak jika kita tidak bisa menikmatinya karena terlalu sibuk bekerja?
Sebuah studi dari Harvard Study of Adult Development, penelitian yang berlangsung selama lebih dari 80 tahun, menunjukkan bahwa faktor terbesar yang menentukan kebahagiaan seseorang bukanlah uang atau jabatan, tetapi hubungan sosial yang sehat dan keseimbangan hidup. Mungkin inilah saatnya untuk mendefinisikan ulang kesuksesan. Bukan tentang siapa yang paling sibuk, tapi siapa yang paling bahagia. Jika kita harus bekerja keras, pastikan itu adalah untuk sesuatu yang benar-benar kita inginkan, bukan hanya karena takut tertinggal dari orang lain.
Jadi, sebelum kita kembali tenggelam dalam hustle culture, tanyakan pada diri sendiri:
"Apakah aku bekerja untuk hidup, atau hanya hidup untuk bekerja?"
Jika jawabannya yang kedua, mungkin sudah saatnya kita berhenti sejenak dan mengingat bahwa hidup ini lebih dari sekadar mengejar kesuksesan. Kita berhak untuk bahagia, bukan hanya sekadar sibuk.[]
Penulis :
Ghina Fauziah Nasution, mahasiswi Fakultas Agama Islam Program Studi Ekonomi Syariah Universitas Pamulang