Muhamad Raihan Naja/IST |
Teknologi adalah salah satu fondasi penting dalam kemajuan bangsa. Dengan penguasaan teknologi yang merata, generasi muda Indonesia dapat tumbuh menjadi individu yang lebih kreatif, inovatif, dan siap bersaing di tingkat global. Namun, apakah pemerataan akses teknologi di Indonesia sudah benar-benar tercapai? Pengalaman pribadi saya menunjukkan bahwa jawabannya masih jauh dari kata "ya".
Saya lahir dan besar di Jakarta, sebuah kota yang dikenal dengan kemajuan teknologinya. Sejak duduk di bangku sekolah dasar (SD), saya telah mendapatkan akses pembelajaran komputer melalui fasilitas sekolah swasta. Berbagai materi mulai dari penggunaan Paint, Microsoft Word, hingga Corel Draw telah diperkenalkan sejak dini. Tak hanya itu, sekolah juga menyediakan perangkat komputer yang memadai sehingga setiap siswa memiliki kesempatan untuk belajar secara mandiri.
Namun, pengalaman saya berubah saat melanjutkan pendidikan ke tingkat sekolah menengah pertama (SMP) di daerah yang fasilitas teknologinya jauh tertinggal dibandingkan dengan Jakarta. Di sekolah tersebut, hanya ada satu laboratorium komputer dengan jumlah perangkat yang sangat terbatas. Kami harus bergantian menggunakan komputer, sehingga waktu pembelajaran menjadi tidak efektif. Lebih parahnya lagi, materi yang diajarkan hanyalah dasar-dasar komputer, padahal saya sudah mempelajarinya sejak SD.
Kondisi ini memunculkan rasa bosan dan kurangnya motivasi belajar. Harapan untuk mendapatkan ilmu baru tentang teknologi sirna karena harus mengulang materi yang seharusnya sudah dikuasai. Pengalaman ini membuka mata saya bahwa akses teknologi di Indonesia belum merata. Di satu sisi, siswa di kota besar seperti Jakarta bisa belajar dengan fasilitas yang canggih dan materi yang bervariasi. Di sisi lain, siswa di daerah dengan fasilitas terbatas justru tertinggal dan hanya mendapatkan materi dasar yang sama dari tahun ke tahun.
Masalah pemerataan teknologi ini tentu berdampak besar terhadap masa depan bangsa. Visi besar "Indonesia Emas 2045" mengharapkan generasi muda yang unggul dan siap bersaing di tingkat global. Namun, bagaimana hal ini bisa terwujud jika anak-anak di berbagai daerah tidak memiliki kesempatan belajar yang setara? Ketimpangan ini akan melahirkan kesenjangan kompetensi yang pada akhirnya berdampak pada kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Untuk mewujudkan pemerataan akses teknologi, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan. Pertama, pemerintah perlu meningkatkan distribusi fasilitas komputer dan akses internet di sekolah-sekolah yang berada di daerah terpencil. Kedua, penguatan pelatihan bagi guru di daerah agar mereka mampu mengajarkan materi teknologi yang lebih relevan dan up-to-date. Ketiga, adanya dukungan dari pihak swasta dan lembaga non-pemerintah melalui program CSR (Corporate Social Responsibility) untuk menyuplai perangkat dan meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah-sekolah daerah.
Kesimpulannya, pengalaman pribadi saya mengungkapkan adanya kesenjangan dalam akses dan pemerataan pendidikan teknologi di Indonesia. Di kota besar seperti Jakarta, pembelajaran teknologi telah diperkenalkan sejak usia dini, sedangkan di daerah dengan fasilitas terbatas, materi pembelajaran cenderung tertinggal. Ketimpangan ini perlu segera diatasi agar visi "Indonesia Emas 2045" dapat terwujud. Dengan memberikan akses teknologi yang merata bagi seluruh anak bangsa, kita tidak hanya menciptakan generasi yang melek teknologi, tetapi juga mewujudkan masyarakat yang berdaya saing global. Oleh karena itu, sudah saatnya semua pihak, baik pemerintah, lembaga pendidikan, maupun swasta, bergotong royong mewujudkan pemerataan akses teknologi demi masa depan Indonesia yang lebih cerah dan berkeadilan.[]
Pengirim :
Muhamad Raihan Naja, Mahasiswa Jurusan Informatika Universitas Muhammadiyah Malang