Nadia Dewi Astaria/IST |
Penghapusan sistem ranking sudah menjadi pilihan yang bijak dalam konteks pendidikan anak-anak. Di usia SD, anak-anak seharusnya tidak untuk saling berkompetisi melainkan diajarkan untuk saling bekerja sama. Tidak ada yang salah dengan adanya sistem ranking, karena siswa dapat lebih giat lagi untuk belajar dan lebih memperhatikan guru ketika dijelaskan. Sistem ranking juga dapat memicu semangat belajar siswa untuk mencapai suatu goals mereka. Tetapi, mungkin untuk pendidikan SD lebih baik terlebih dahulu untuk dibekali pendidikan karakter dan keterampilan.
Dihapusnya sistem ranking ini juga bertujuan untuk mengurangi stres berlebihan pada siswa. Kenapa? karena biasanya anak akan dituntut oleh orang tuanya agar menjadi yang terbaik di kelasnya sehingga membuat anak menjadi merasa tertekan dan merasa harus bersaing dengan teman sekelasnya. Anak yang mendapatkan ranking bawah juga terkadang merasa minder dan tidak percaya diri dengan kemampuan yang dia punya.
Setiap anak pastinya memiliki kemampuan yang berbeda beda. Oleh karena itu, sistem ranking tidak bisa dijadikan standar kemampuan suatu anak. Jelas kita ketahui bahwa tidak semua anak menyukai angka dan tidak semua anak juga yang berbakat di dalam seni maupun olahraga. Mereka semua sudah memiliki porsi dan kemampuan masing masing sehingga seharusnya anak didukung dan difasilitasi agar bisa lebih berkembang.
Tidak jarang juga kita temukan sekolah yang menerapkan sistem pembagian kelas berdasarkan ranking. Anak yang ranking atas akan mendapatkan kelas terbaik dan ranking bawah mendapatkan kelas sisa. Padahal, seharusnya setiap anak berhak mendapatkan fasilitas yang sama dan kualitas pembelajaran yang sama pula. Pembagian kelas seperti ini terkadang membuat rasa iri karena kelas unggul mendapatkan perlakuan spesial dari guru.
Indonesia bukanlah negara satu-satunya yang menghapus sistem ranking di sekolah. Singapura, pada 2018 telah resmi menghapus sistem ranking. Menurut menteri pendidikan Ong Ye Kung, sekolah bukanlah ajang untuk kompetisi. Penghapusan sistem ranking tersebut berlaku mulai awal tahun 2019 pada sekitar 1.700 sekolah disana.
Menteri pendidikan Nadiem Makarim juga mendukung langkah untuk menghapus sistem ranking di sekolah. Menurutnya, ranking seringkali menyebabkan tekanan yang tidak sehat bagi siswa dan memfokuskan perhatian pada kompetisi akademis semata, bukan pada perkembangan holistik siswa. Ia berpendapat bahwa penilaian seharusnya lebih mengutamakan perkembangan individu, kemampuan berpikir kritis, dan kreativitas, dibandingkan hanya mengejar angka-angka akademis.
Prof. Etty Indriati Ph.D. (Direktur Internalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional) juga menyatakan bahwa anak-anak semestinya tidak di ranking. Alasannya, ranking dapat memberikan stigma dan menimbulkan dampak negatif secara psikologis, terutama bagi mereka yang mendapat peringkat rendah.
Dihapusnya sistem ranking juga diharapkan mampu membuat siswa memperoleh pendidikan yang terkait dengan, spiritual, moralitas, mampu bersosialisasi, peka terhadap kepentingan orang lain dan rasional, jadi bukan hanya pengetahuan saja. Apalagi untuk anak SD pendidikan karakter dan latihan kerja sama lebih penting untuk membentuk kepribadian mereka menjadi lebih baik dan saling menghargai.
Dengan tidak adanya rasa bersaing maka belajar juga akan lebih seru karena anak-anak bisa lebih kolaboratif. Tanpa tekanan untuk "jadi nomor satu", mereka bisa saling bantu dan lebih fokus untuk memahami pelajaran. Mereka juga akan lebih menikmati dan enjoy ketika bersama. Di sisi lain, guru juga bisa lebih menilai anak secara keseluruhan, bukan hanya dari angka di ujian. Jadi, penilaian bisa lebih adil dan lebih menyentuh aspek lain seperti keterampilan sosial dan emosional anak.
Intinya, penghapusan sistem ranking ini sudah bijak karena bertujuan agar sekolah menjadi tempat belajar yang lebih ramah, nyaman dan tidak ada rasa saling menjatuhkan. Walaupun dengan dihapusnya ranking ini tidak bisa kita pungkiri bahwa masih ada sebagian anak yang mungkin dituntut menjadi lebih oleh orang tuanya. Harapan ditiadakan sistem ranking ini adalah orang tua bisa lebih melihat potensi anak dan mendukung untuk lebih berkembang. Sehingga anak tidak akan merasa tertekan dan stress sejak dini.[]
Penulis :
Nadia Dewi Astaria, mahasiswa Prodi Pendidikan Kimia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta