(Adhitya Ridho Pangestu/IST) |
Dalam era digital ini, hampir segala aspek kehidupan bisa menjadi konten di media sosial. Mulai dari hal sederhana seperti menu makan siang hingga momen-momen besar seperti pernikahan. Namun, ada satu tren yang kian marak dan menjadi sorotan: aksi bantuan sosial yang dijadikan konten. Dari membagikan sembako hingga memberikan uang tunai, semuanya direkam dan diunggah lengkap dengan efek dramatis dan musik latar yang menyentuh.
Pertanyaannya, apakah esensi bantuan tersebut benar-benar murni untuk membantu, atau justru demi mencari perhatian dan popularitas?
Tidak dapat dipungkiri bahwa niat membantu adalah hal yang mulia. Banyak orang berpendapat, selama bantuan tersebut benar-benar sampai kepada yang membutuhkan, apa salahnya jika didokumentasikan? Namun, bagaimana dengan perasaan penerima bantuan?
Dalam banyak video yang beredar, penerima bantuan sering kali terlihat malu atau bingung ketika kamera diarahkan ke wajah mereka. Kondisi ini menjadi semakin kompleks jika kita mempertimbangkan bahwa mereka sedang berada dalam situasi yang paling rentan. Bayangkan jika kita berada di posisi mereka—sudah menghadapi kesulitan hidup, kemudian dijadikan "tontonan" untuk konsumsi publik. Hal ini seolah-olah mengerdilkan kemanusiaan mereka demi mengangkat citra si pemberi.
Di balik layar, konten bantuan sosial kerap kali menghasilkan keuntungan besar. Dengan jutaan penonton, video-video semacam itu bisa mendatangkan penghasilan melalui iklan atau sponsor. Fenomena ini menunjukkan bagaimana niat membantu bisa bergeser menjadi ajang monetisasi kebaikan.
Memang tidak semua orang yang membuat konten seperti ini bermaksud buruk. Namun, muncul pertanyaan penting: jika bantuan hanya diberikan saat ada kamera, apakah itu benar-benar tindakan yang tulus? Di sinilah garis tipis antara niat baik dan pencitraan menjadi kabur.
Empati sejati berarti memahami perasaan orang lain tanpa mempermalukan mereka. Jika niat membantu benar-benar tulus, apakah perlu melibatkan kamera? Banyak individu dan organisasi yang membantu tanpa sorotan publik. Mereka fokus pada dampak nyata, bukan jumlah likes atau views.
Sayangnya, bantuan sosial yang terekspos justru sering kali mengundang komentar kurang pantas. Sebuah video viral, misalnya, menunjukkan seorang ibu menangis saat menerima bantuan sembako. Di satu sisi, si pemberi menuai pujian. Namun, di sisi lain, komentar-komentar yang tidak menghormati penerima bantuan turut muncul, membahas ekspresi si ibu seolah-olah kemiskinannya adalah hiburan.
Alih-alih menumbuhkan solidaritas, eksposur semacam ini justru sering kali menciptakan jarak dan mereduksi empati. Kemiskinan atau kesusahan tidak seharusnya dijadikan bahan tontonan yang memperkuat narasi "si pemberi baik hati" di atas penderitaan orang lain.
Sebagai manusia, kita semua memiliki harga diri. Penerima bantuan tentu ingin tetap dihormati, meskipun dalam keadaan sulit. Publikasi besar-besaran atas bantuan sosial sering kali melupakan aspek privasi ini.
Ada banyak cara untuk membantu tanpa mengorbankan martabat penerima. Misalnya, dengan bekerja sama melalui lembaga sosial terpercaya atau memberikan bantuan secara langsung tanpa harus merekamnya. Ini adalah pendekatan yang lebih manusiawi dan menghormati perasaan orang yang kita bantu.
Di zaman di mana segalanya mudah dibagikan, kita sering lupa bahwa tidak semua hal perlu diunggah ke media sosial. Memang, publikasi bantuan sosial bisa menginspirasi orang lain untuk turut membantu. Namun, penting untuk berhati-hati agar niat baik tidak berubah menjadi alat pencitraan atau hiburan.
Kebaikan sejati tidak membutuhkan tepuk tangan. Bantuan yang tulus dilakukan karena rasa kemanusiaan, bukan demi engagement atau keuntungan materi. Sebelum memutuskan untuk merekam aksi sosial, ada baiknya kita bertanya kepada diri sendiri: apakah ini benar-benar untuk membantu mereka, atau untuk kepentingan kita sendiri?
Bantuan sosial seharusnya menjadi wujud empati dan solidaritas, bukan hiburan atau sarana pencitraan. Sebagai masyarakat yang hidup di era digital, kita punya tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa bantuan yang kita berikan tetap menjaga martabat penerima.
Mari kita kembalikan esensi membantu kepada tujuan utamanya: berbagi kebaikan dengan hati yang tulus, tanpa embel-embel kamera. Pada akhirnya, yang dibutuhkan oleh mereka yang sedang kesulitan bukanlah eksposur, tetapi bantuan nyata yang benar-benar meringankan beban hidup mereka.[]
Penulis :
Adhitya Ridho Pangestu, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Pamulang