Oleh: Asep Saepur Rohman
Mahasiswa Prodi Pendidikan Kimia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Mengajari anak tanggung jawab, disiplin, dan sopan santun, merupakan bagian penting dari tugas seorang guru. Teguran, bukan untuk menghukum, tapi mengingatkan anak bahwa ada batasan yang perlu dijaga dan menuntun mereka agar tahu mana yang benar dan salah. Dulu, teguran mungkin dianggap biasa saja, sebagai bagian dari proses belajar. Tapi sekarang, sudah beda cerita. Yang dulunya dianggap wajar, sekarang bisa jadi dianggap melanggar hak anak, bahkan kekerasan.
Bayangkan, seorang guru yang ingin membimbing siswanya dengan tulus, menegur perilaku yang kurang baik, malah berujung dilaporkan ke polisi. Ini bukan cerita khayalan, tapi ironi pahit yang makin sering terjadi di sekolah-sekolah kita. Guru, yang seharusnya dihormati sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, kini bisa jadi terdakwa. Di kelas, tempat mereka berjuang mendidik generasi penerus bangsa, teguran biasa bisa memicu masalah besar, bahkan sampai ke pengadilan.
Sebagai contoh, kasus Ibu Supriyani, seorang guru SD, hidupnya kini dibayangi bayang-bayang penjara. Semua berawal dari teguran kepada seorang murid yang melanggar aturan sekolah. Teguran yang mungkin bagi sebagian orang dianggap biasa, namun bagi keluarga murid yang kebetulan anggota polisi dianggap kekerasan. Laporan polisi pun dibuat, dan Ibu Supriyani harus menanggung konsekuensi atas tindakannya. Ironisnya, hukuman justru datang dari pihak yang seharusnya memahami dan mendukung peran guru dalam mendisiplinkan siswa.
Kasus lain terjadi kepada Pak Sambudi seorang guru agama dari sebuah sekolah menengah di Jawa Timur, kini menanggung beban berat. Ia dilaporkan ke polisi dan dijatuhi hukuman tiga bulan penjara karena mencubit seorang murid yang menolak ikut sholat berjamaah. Niatnya memang mendisiplinkan, tapi cubitan ringan itu malah berbuntut panjang. Orang tua siswa tak terima dan melaporkan beliau. Kedua kasus ini menjadi contoh nyata betapa rapuhnya posisi guru saat ini dalam menjalankan tugas mereka di tengah pengawasan ketat masyarakat.
Di Indonesia, garis antara mendidik dan melakukan kekerasan terhadap anak di sekolah seringkali menjadi abu-abu di mata hukum. Pasal 170 dan 351 KUHP tentang penganiayaan, misalnya, bisa menjadi jebakan bagi guru. Teguran keras, baik lisan maupun fisik, meski niatnya mendidik, bisa diinterpretasikan sebagai kekerasan dan berujung pada tuntutan hukum. Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014, yang bertujuan mulia melindungi anak dari kekerasan, sayangnya juga seringkali menjadi senjata makan tuan. Pasal 9 ayat (1) yang menjamin perlindungan anak dari segala bentuk kekerasan, termasuk di sekolah, bisa disalahgunakan untuk melaporkan guru, bahkan jika tindakannya masih dalam batas wajar. Situasi ini menciptakan dilema: bagaimana guru bisa menegakkan disiplin tanpa harus takut terjerat hukum?
Namun, perlu diingat bahwa ada payung hukum yang melindungi guru dalam menjalankan tugasnya. Mendikbudristek, Mu'ti, menegaskan bahwa perlindungan hukum bagi guru telah tertuang jelas dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. "Kalau secara aturan, secara undang-undang, sebenarnya sudah ada pasal di dalam undang-undang guru dan dosen yang mengatur tentang perlindungan guru. Bahkan juga sudah ada turunannya di dalam Peraturan Menteri yang waktu itu diterbitkan oleh Pak Muhadjir Effendy," katanya pada Jumat (1/11/2024). Sayangnya, perlindungan ini seringkali tidak berjalan semestinya, sehingga guru masih merasa rentan dan takut.
Bukan hanya soal hukum, ada perubahan nilai di masyarakat juga. Dulu, orang tua berharap guru tegas mendisiplinkan anak-anak mereka. Teguran guru dianggap hal biasa, bahkan penting untuk membentuk karakter. Tapi sekarang, dengan semakin kuatnya kesadaran akan hak asasi manusia, cara mendisiplinkan anak yang dulu dianggap wajar, sekarang bisa dianggap otoriter dan ketinggalan zaman. Hal ini menandakan bahwa ada pergeseran nilai yang cukup signifikan.
Masalahnya ini menjadi semakin rumit karena banyak orang tua sekarang cenderung memanjakan anak. Mereka merasa anak mereka tidak boleh ditegur keras, walaupun itu demi kebaikannya sendiri. Kemudian, komunikasi antara guru dan orang tua juga seringkali kurang lancar. Terkadang, masalah kecil bisa langsung dibawa ke ranah hukum, tanpa ada upaya diskusi atau mencari solusi bersama. Ini bukan hanya menyulitkan guru, tapi juga merusak hubungan baik antara sekolah dan keluarga.
Sebuah video yang beredar di media sosial memperlihatkan betapa cemasnya para guru saat ini. Video tersebut menampilkan seorang siswa SMP Negeri 1 Ngimbang, Lamongan, Jawa Timur, yang tidur pulas di kelas dengan kaki di atas kursi. Yang menyedihkan, guru dalam video tersebut hanya bisa pasrah dan tak berani menegur siswanya. "Mau negur takut dilaporkan polisi," tulis guru tersebut dalam video, Kamis (31/10/2024). Video ini menjadi cerminan nyata betapa rapuhnya posisi guru saat ini, dihantui rasa takut akan laporan polisi jika menegur siswanya, meski hanya untuk kebaikan.
Akibatnya, guru jadi ragu-ragu menegur anak didiknya. Wibawa guru di mata anak-anak jadi turun, dan ini jelas berpengaruh buruk terhadap kualitas pendidikan. Bayangkan, jika guru tidak berani tegas, bagaimana mau menciptakan lingkungan belajar yang baik dan efektif? Ini masalah serius yang harus segera dicari solusinya.
Ketika guru merasa tidak terlindungi, semangat mengajarnya bisa luntur. Padahal, pendidikan yang bagus itu membutuhkan kerjasama tiga serangkai: guru, murid, dan orang tua. Jika salah satu pihak merasa terancam atau kehilangan kepercayaan, maka pendidikan tidak bisa berjalan dengan baik. Semua butuh merasa aman dan nyaman agar proses belajar mengajar bisa optimal.
Solusi untuk masalah ini membutuhkan pendekatan yang menyeluruh. Yang pertama, semua pihak guru, orang tua, dan murid harus sama-sama paham hak dan kewajibannya. Guru perlu tahu batasan hukum dalam mendisiplinkan murid, sedangkan orang tua perlu mengerti bahwa teguran yang sewajarnya itu bagian dari pendidikan, bukan kekerasan.
Kedua, Pemerintah juga punya peran penting. Mereka harus memastikan perlindungan hukum bagi guru benar-benar berjalan di lapangan. Undang-Undang Guru dan Dosen harusnya jadi tameng yang melindungi guru dari tuntutan hukum yang nggak beralasan, sekaligus menjaga profesionalisme mereka.
Terakhir, komunikasi antara sekolah dan keluarga harus diperbaiki. Jika ada masalah, harus diselesaikan dulu lewat diskusi, sebelum ke jalur hukum. Dengan begitu, konflik bisa dihindari dan guru tidak terus-terusan merasa terancam.
Fenomena guru dilaporkan karena menegur murid ini sungguh memprihatinkan. Ini masalah besar yang butuh solusi bijak dan adil dari semua pihak. Guru perlu merasa aman dan didukung dalam menjalankan tugasnya, sementara orang tua dan masyarakat harus menyadari bahwa pendidikan itu tanggung jawab kita bersama. Jangan sampai masalah kecil ini membesar dan merusak masa depan anak bangsa. Kita semua harus berusaha agar api konflik ini padam sebelum terlambat.[]