Notification

×

Iklan

Iklan

PPN Naik 12%, Siapa Yang Terpengaruh?

Kamis, 26 Desember 2024 | Desember 26, 2024 WIB | 0 Views Last Updated 2024-12-26T05:28:52Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Foto/Ilustrasi (cnbc)

Pemerintah dipastikan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari semula 11% menjadi 12% pada 1 Januari 2025. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HPP.


Kebijakan ini menuai perhatian sekaligus reaksi negatif dari masyarakat, pelaku ekonomi, dan ahli ekonomi. Sebagian besar menilai bahwa kenaikan PPN akan semakin menggerus daya beli dan melemahkan pertumbuhan ekonomi nasional. 


Kenapa PPN Dinaikkan?


Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan alasan yang mendasari kenaikan tarif Pajak Pertambangan Nilai (PPN) menjadi 12 persen, yakni untuk mendukung program unggulan Presiden Prabowo Subianto.


Kebijakan yang berlaku mulai 1 Januari 2025 tersebut merupakan amanah UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Airlangga mengatakan, hal ini penting untuk meningkatkan pendapatan negara.


"Peningkatan pendapatan negara di sektor pajak itu penting untuk mendorong program dan prioritas Bapak Presiden, baik untuk kedaulatan dan resiliensi di bidang pangan dan kedaulatan energi," jelasnya saat konferensi pers, Senin (16/12).


Program unggulan Prabowo yang disebutkan Airlangga yakni salah satunya adalah program Makan Bergizi Gratis (MBG). Program itu ditengarai perlu pendanaan jumbo, untuk tahun depan saja alokasinya Rp 71 triliun dalam APBN 2025.


"Di samping itu penting juga untuk berbagai program infrastruktur pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial, dan juga program terkait dengan makan bergizi," imbuh Airlangga.


Pro Kontra Masyarakat


Jelang pemberlakuannya pada 1 Januari 2025, pro dan kontra terhadap rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai atau PPN kembali terjadi. Desakan penangguhan dari masyarakat dan dunia usaha menguat.


Kondisi mengkhawatirkan ekonomi ini ditunjukkan oleh tren penurunan daya beli masyarakat dan banyaknya kelas menengah yang turun kasta menjadi miskin akibat dampak kenaikan harga barang kebutuhan pokok yang tidak diimbangi dengan kenaikan pendapatan.


Bagi sebagian masyarakat, penangguhan PPN akan memberi sedikit ruang bernapas. Keberatan terhadap kenaikan PPN paling kencang disuarakan kelas menengah, yang terancam akan kian tergerus daya belinya akibat kebijakan ini. Sejumlah asosiasi usaha juga meminta kenaikan PPN ditunda 1-2 tahun ke depan. Alasannya, karena semakin terpukulnya daya beli masyarakat juga akan berdampak pada dunia usaha.


Siapa Saja Yang Terpengaruh?


Barang dan jasa mewah yang akan dikenai PPN 12 persen mulai 1 Januari 2025 adalah: Rumah Sakit kelas VIP atau pelayanan kesehatan premium lainnya, Pendidikan standar internasional berbayar mahal atau pelayanan pendidikan premium lainnya, Listrik pelanggan rumah tangga dengan daya 3600-6600 VA, Beras premium, Buah-buahan premium, Ikan premium, seperti salmon dan tuna, Udang dan crustasea premium, seperti king crab dan Daging premium, seperti wagyu atau kobe yang harganya jutaan.


Di sisi lain, Sri Mulyani menyebutkan, terdapat barang-barang yang sebenarnya terkena PPN 12 persen, tetapi pemerintah hanya menerapkan PPN 11 persen. "Barang terkena PPN tapi kita masih menganggap barang ini dibutuhkan masyarakat, kami memutuskan (barang-barang tersebut) PPN-nya tetap 11 persen," jelas dia. Barang yang masuk kategori ini adalah tepung terigu dan gula untuk industri, serta minyak goreng curah merek Minyakita.


Pemerintah juga memberikan kebebasan PPN 12 persen untuk barang kebutuhan pokok, sembako, dan barang penting.


Sementara itu, ada beberapa jasa yang bersifat strategis juga mendapatkan fasilitas pembebasan PPN 12 persen. Jasa yang bebas PPN 12 persen antara lain pendidikan, layanan kesehatan medis, pelayanan sosial, angkutan umum, jasa keuangan, serta persewaan rumah susun umum dan rumah umum.


Dampak PPN Naik 12%


Kebijakan ini menuai reaksi keras dari masyarakat, khususnya kelas menengah, yang khawatir akan pelemahan daya beli akibat kenaikan harga barang dan jasa. Dunia usaha juga turut menyuarakan keberatan, dengan alasan bahwa penurunan daya beli akan memengaruhi keberlanjutan bisnis. Kondisi ini dapat memperburuk ekonomi, terutama di tengah tren melemahnya daya beli masyarakat.


Meski begitu, pemerintah tetap memberikan pengecualian dan keringanan untuk barang-barang kebutuhan pokok, seperti sembako, serta beberapa jasa strategis seperti layanan kesehatan medis dan pendidikan. Sementara itu, barang dan jasa premium akan dikenakan tarif PPN 12%, yang menegaskan fokus kebijakan ini untuk mengutamakan kebutuhan masyarakat umum.[]


Pengirim:

Agung Fadilah Ramadhan, mahasiswa Prodi Akuntansi Universitas Jambi

×
Berita Terbaru Update