Foto/Ilustrasi
INTERRELIGIOUS MARRIAGES AND THE EFFECTS OF INTERRELIGIOUS MARRIAGES IN ISLAMIC LAW
IQBAL RIFAI
iqbalbantal14@gmail.com
Mahasiswa Program Studi Ekonomi Syari’ah (S1) Universitas Pamulang
Abstract
This research aims to examine interfaith marriage and its impact on Islamic law. The method used is qualitative. Interfaith marriage is an issue that never ends being debated. Some say they agree, there are also those who strongly oppose it, but both base their arguments by relying on the holy book, namely the Al-Qur‟an. In the study of Islamic law, interfaith marriages are classified into three categories: marriage of Muslim men with polytheistic women; Muslim wedding man with woman Ahlulkitab, and Muslim women‟s marriages with non-Muslim men. Regulatively, interfaith marriages in Indonesia do not have legal force, because Law No. 1 of 1974 concerning Marriage and Compilation of Islamic Law as positive law prohibits interfaith marriages. Therefore, the KUA and the Civil Registry will not carry out administrative records of interfaith marriages.
Keyword: Interfaith marriages, Impact of Interfaith marriages, Islamic law.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji tentang pernikahan beda agama dan dampaknya dalam hukum Islam. Metode yang digunakan adalah kualitatif. Pernikahan beda agama merupakan persoalan yang tidak kunjung usai diperdebatkan. Ada yang mengatakan setuju, adapula yang keras menentangnya, tetapi keduanya mendasarkan argumennya dengan bersandar pada kitab suci yaitu Al-Qur‟an. Dalam kajian hukum Islam, pernikahan beda agama diklasifikasikan pada tiga kategori: pernikahan pria muslim dengan wanita musyrik; pernikahan pria muslim dengan wanita ahlulkitab; dan pernikahan wanita muslimah dengan pria non muslim. Secara regulatif, pernikahan beda agama di Indonesia tidak memiliki kekuatan hukum, sebab Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum positif telah melarang nikah beda agama. Karena itu, Kantor Urusan Agama maupun Catatan Sipil tidak akan melakukan pencatatan administratif atas peristiwa nikah beda agama.
Kata Kunci: Pernikahan beda agama, Dampak Nikah Beda Agama, Hukum Islam.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Penelitian
Secara sederhana, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) perkawinan/ pernikahan diartikan berdasarkan kata dasarnya menjadi melangsungkan pembentukan keluarga dengan lawan jenis. Secara etimologis, kata nikah berasal dari nakaḥa-yankiḥu nikāḥan, yang berarti: “al-ḍammu (berhimpun), al-jam„u (berkumpul), al-waṭ„u (hubungan kelamin), al„aqdu (perjanjian)”. Islam menganjurkan kepada setiap manusia untuk melaksanakan (perkawinan), mencari pasangan hidup dan memperbanyak keturunan.
Perkawinan merupakan ikatan cinta antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia, kebahagiaan yang dipenuhi dengan kasih sayang dan didasari oleh nilai-nilai ajaran Islam. Indonesia sendiri memiliki lima agama yang diakui sehingga menimbulkan adanya hubungan sosial antar individu beda agama dan salah satunya adalah pernikahan beda agama.
Penyebaran penduduk yang semakin meluas, menyebabkan interaksi dengan kelompok yang berlatarbelakang berbeda, dan memperbesar kemungkinan untuk menikah dengan orang dari kelompok yang berbeda pula (Duvall & Miller, 1985: 86). Perkawinan dan agama memiliki hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan karena agama adalah prinsip vital yang menentukan hasil kehidupan keluarga. Keharmonisan keluarga akan terwujud secara sempurna apabila suami-isteri berpegang teguh pada ajaran yang sama (QS al- Baqarah/2:187; QS al-Nisā‟/4:21; QS al-Rūm/30:21).
Dalam pernikahan umumnya timbul masalah atau konflik yang terjadi pada pasangan itu sendiri, termasuk pernikahan beda agama. Dampak dari pernikahan beda agama seringkali menimbulkan berbagai kesulitan di lingkungan keluarga dalam pelaksanaan ibadah, pendidikan anak, pengaturan makanan, serta pengamalan yang menyangkut tradisi keagamaan, seperti: perayaan „idul fitri, natalan, nyepi, dan lain-lain.
Pernikahan beda agama dalam surah Al-Baqarah:221 menerangkan larangan menikahi orang musyrik sampai mereka beriman. Rasulullah Saw menekankan agar kualitas agama menjadi prioritas pilihan di dalam menentukan pasangan ke jenjang pernikahan. Dijelaskan dalam sebuah hadis: “Wanita dinikahi didasarkan pada empat hal karena hartanya, kecantikannya, keturunannya, dan agamanya. Utamakanlah kualitas agamanya, agar kamu tidak celaka” (Riwayat Bukhari-Muslim). Pesan hadis ini menegaskan supaya memilih pasangan dalam pernikahan dengan yang seagama. Namun realitanya, pernikahan beda agama tetap berjalan di tengah masyarakat Indonesia.
Dikatakan Ahmad Nurcholis, salah satu pelaku pernikahan beda agama dan penulis buku “Menjawab 101 Masalah Nikah Beda Agama”, sejak tahun 2004 hingga 2012 tercatat ada 1.109 pasangan yang melakukan pernikahan beda agama, dengan jumlah terbesar adalah pasangan antara Islam dan Kristen, lalu Islam dan Katolik, kemudian Islam dan Hindu, selanjutnya Islam dan Budha. Yang paling sedikit yaitu pasangan Kristen dan Budha (https://www.hidayatullah.com).
Rumusan Masalah
1. Apakah pernikahan beda agama diperbolehkan dalam Islam?
2. Apa dampak dari pernikahan beda agama dalam Islam?
3. Bagaiman hukum Islam mengenai pernikahan beda agama?
Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui apakah pernikahan beda agama diperbolehkan dalam Islam.
2. Untuk mengetahui apa dampak dari pernikahan beda agama dalam Islam.
3. Untuk mengetahui bagaimana hukum Islam mengenai pernikahan beda agama.
Landasan Teori
Teori yang digunakan berdasarkan pada dalil-dalil AlQur‟an: QS. Al-Baqarah:221 “Dan janganlah kamu menikahi wanitawanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sungguh budak laki-laki yang mukmin lebih baik dari laki-laki musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.”
QS. Al-Maidah:5 “(Dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak maksud berzina dan tidak pula menjadikannya gundik-gundik…”
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif untuk melihat pandangan agama islam terkait pernikahan beda agama dan dampak pernikahan beda agama terhadap kelangsungan hidup pasangan dan seorang anak.
PEMBAHASAN
1. Pengertian dan Hukum Pernikahan dalam Islam
Nikah dalam bahasa Arab bermakna (al-wath‟u) yakni bersetubuh/berhubungan intim atau juga bisa bermakna penyambungan atau penghubungan. Sementara menurut kamus munawwir, arti lafaz nikah ialah berkumpul atau menindas, setubuh dan senggama. Pada dasarnya pernikahan adalah akad yang diatur oleh agama untuk memberikan laki-laki hak memiliki penggunaan faraj (kemaluan) wanita dan seluruh tubuhnya untuk berhubungan badan atau merupakan sesuatu yang hanya berurusan dengan duniawi saja, akan tetapi perkawinan dalam Islam memiliki pandangan bahwa pernikahan tidak hanya pengaturan aspek biologis semata, melainkan persoalan psikologis, sosiologis, dan teologis. Karena didalam pernikahan, terdapat pertanggungjawaban kepada istri dan anak, masyarakat bahkan kepada Allah.
Hukum pernikahan menurut jumhur ulama‟ adalah sunnah, sementara menurut pendapat sebagian besar pengikut Maliki menyatakan bahwa hukum pernikahan sunnah, sementara sebagian yang lain menyatakan wajib dan sebagian lain menyatakan mubah. Perbedaan pendapat tersebut dikarenakan adanya shighat amr (tanda perintah) dalam firman Allah swt, QS an-Nisa:4 yang berbunyi:
“…fankihuu maa thoobalakum mina annisaa…”. Selain itu juga ada hadist nabi Muhammad SAW yang mengatakan:“ tanaakahuu fa inni mukatsirun bikumul umam” Tanda perintah dua dasar hukum dalam Islam inilah yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat dalam hukum pernikahan menurut penganut mazhab Maliki.
2. Dampak dari Pernikahan Beda Agama
Pernikahan beda agama secara umum berpotensi menimbulkan permasalahan hukum tersendiri. mengalami berbagai kesulitan di lingkungan keluarga baik dalam pelaksanaan ibadah, pendidikan anak, pengaturan makanan, serta pengamalan yang menyangkut tradisi keagamaan, seperti: perayaan „idul fitri, natalan, nyepi, dan lain-lain. Akibat menikah beda agama, antara suami istri dan anaknya tidak bisa saling waris mewarisi karena beda agama dan tentunya berbeda nasabnya (Pasal 171 huruf C Instruksi Presiden no.1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam).
Masalah waris dari perspektif keadilan, terlihat bahwa pelarangan perkawinan beda agama sudah jelas melindungi hak waris bersama. Karena agama adalah masalah kepercayaan, anak tidak bisa menjadi saudara kembar agama. Akibatnya, anak-anak mungkin hanya mengikuti agama yang sama dengan orang tuanya, atau mungkin mengikuti agama yang berbeda yang samasama dimiliki oleh kedua orang tuanya.
Dalam pendidikan anak pernikahan beda agama sangat berpengaruh bagi perkembangannya. Segala tingkah laku dan cara bicara baik maupun buruk akan mudah ditiru oleh anak. Karenanya orang tua harus bijaksana terhadap perkembangan anak. Jadi jelas pentingnya peranan orang tua untuk menanamkan pandangan hidup keagamaan terhadap anak. Agama anak yang akan dianutnya sematamata bergantung pada pengaruh orang tua dan lingkungan sekitarnya. sering dikatakan orang bahwa membesarkan dan mendidik anak merupkan tugas yang berat dan sulit, namun itu juga dapat menjadi menyenangkan dan sangat bermanfaat.
3. Hukum Pernikahan Beda Agama dalam Islam
Pembahasan pernikahan beda agama ini akan dibedakan menjadi dua bagian, yaitu: pernikahan dengan non muslim/kafir yaitu orang-orang yang mengingkari Tuhan dan pernikahan dengan ahli kitab yaitu orang yang menganut salah satu agama Samawi yang mempunyai kitab suci seperti Taurat, Injil , dan Zabur. Definisi kafir dan muslim merupakan definisi yang sangat luas, para ulama berpendapat bahwa istilah non muslim atau kafir disimpulkan oleh pakar Al-Qur‟an, Syeikh Muhammad Abduh, segala aktifitas yang bertentangan dengan ajaran tujuan agama. Tentu saja maksudnya tidak mengarah pada suatu kelompok agama saja, akan tetapi mencakup sejumlah agama dengan segala bentuk kepercayaan dan variasi ritualnya.
Al Qur‟an menyebutkan kelompok non muslim ini secara umum seperti terdapat dalam QS. surat Al-Hajj: 17 “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orangorang Yahudi, orang-orang Shaabiiin, orang-orang Nasrani, orangorang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi Keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu”.
Orang mukmin, yaitu orang yang mengimani Allah. Dalam surat Al-Mumtahanah menjelaskan bahwa adanya pelarangan untuk tetap meneruskan hubungan pernikahan dengan wanita kafir, sampai mereka beriman kepada Allah. Larangan pernikahan beda agama dengan non muslim/kafir secara global telah disepakati oleh para ulama. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa larangan pernikahan dengan non muslim atau kafir juga didasarkan pada surat AlBaqoroh: 221. Beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan musyrik dalam ayat tersebut adalah penyembah berhala. Larangan pernikahan beda agama ini kemudian di rumuskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia. KHI yang diberlakukan dengan Instruksi Persiden (Inpres) Nomor 1 tahun 1991, melarang seorang muslim melakukan perkawinan beda agama. Larangan ini diatur dalam pasal 40 huruf c KHI. Sementara larangan pernikahan beda agama bagi wanita diatur dalam pasal 44 KHI. Secara Normatif larangan menikah beda agama ini tidak menjadi masalah, karena hal tersebut sejalan dengan ketentuan al-Qur‟an yang disepakati oleh para fuqaha‟.
Pernikahan dengan ahli kitab, Imam Syafi‟i berpendapat bahwa ahlul kitab adalah orang Yahudi dan orang Nasrani keturunan orang-orang Israel, tidak termasuk bangsa-bangsa lain yang menganut agama yahudi dan nasrani. Alasan yang dikemukakan oleh imam Syafi‟i adalah bahwa Nabi Musa dan Nabi Isa hanya diutus kepada bangsa mereka, bukan bangsa lain. Pendapat ini berbeda dengan Imam Hambali dan mayoritas pakar hukum Islam yang menyatakan bahwa siapapun yang mempercayai salah seorang nabi atau kitab yang pernah diturunkan oleh Allah, maka dia adalah ahlul kitab. Sementara sebagian Ulama‟ berpendapat bahwa ahli kitab adalah setiap umat yang memiliki kitab dan dapat diduga sebagai kitab suci.
Pendapat terakhir ini kemudian diperluas lagi oleh para ulama‟ kontemporer, sehingga mencakup para agama-agama yang ada di Indonesia seperti Hindu dan
Budha. Sementara menurut Ulama‟ Muhammad Rasyid Ridho dalam tafsir al manaar , setelah beliau memahami dan mepelajari segala yang berkaitan dengan hukum pernikahan beda agama, beliau menyimpulkan bahwa wanita musyrik yang tidak diperbolehkan dinikahi yang disebutkan dalam Al Qur‟an QS Al-Baqoroh: 221 adalah wanita musyrik arab.
Pendapat mengenai kebolehan menikahi wanita ahli kitab juga didukung oleh pendapat jumhur ulama‟ yang mengatakan bahwa QS Al-Maidah: 5 merupakan bentuk pengkhususan dari QS Al-Baqoroh: 221, sehingga pernikahan dengan ahli kitab menjadi diperbolehkan. Pendapat ini juga mendapat dukungan dari Syafi‟iyyah yang menolak bahwa QS Al-Maidah: 5 yang bersifat khusus dihapus oleh surat Al-Baqoroh:221, akan tetapi mereka mensyaratkan bahwa ahli kitab tersebut harus memenuhi kriteria tertentu.
Pendapat mengenai larangan menikahi wanita ahli kita dirumuskan oleh sebagian ulama‟ yang menyatakan bahwa QS AlMaidah: 5 merupakan bentuk khusus dari bentuk umumnya yaitu QS Albaqoroh: 221 yang kemudian bentuk umum tersebut menghapus bentuk khusus. Senada dengan pendapat tersebut, sahabat nabi, Ibnu Umar, menyatakan bahwa pada zaman beliau, ajaran trinitas tidak lagi wajar dinamai dengan ahlul kitab, karena keyakinan tersebut merupakan bentuk penyekutuan terhadap Allah. Dari dua pendapat diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya para ulama‟ Islam berbeda pendapat dalam memandang hukum pernikahan beda agama terkait dengan seorang laki-laki muslim yang menikahi wanita non muslim yang ahli kitab. Perbedaan ini pada dasarnya berimplikasi terhadap hukum pernikahan beda agama tersebut, yaitu halal dan haram.
PENUTUP
Kesimpulan
Pernikahan beda agama pada dasarnya dilarang. Akan tetapi terdapat pengecualian apabila pasangan laki-laki adalah seorang mukmin dan pasangan perempuan adalah ahli, pada pasangan semacam inilah para ulama berbeda pendapat dalam menghukumi. Kaidah ushul fiqh “ idza ijtama‟a baina al halal wal haram ghuliba al haram” bisa dijadikan solusi dalam pengambilan hukum sebagai bentuk ihtiyaat atau kehati-hatian dalam pelaksanaan syariah Islam.
Larangan tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa pernikahan beda agama dampak negatifnya lebih besar, yang akan berpengaruh terhadap kelangsungan rumah tangga, anak-anak, masalah ekonomi dan lain-lain. Multi keyakinan dalam sebuah keluarga dapat menyebabkan banyak gesekan, apalagi jika sudah menyangkut praktik ibadah yang tidak dapat dicampur adukan.
Penegasan Al-Quran surat al- Baqarah ayat 221 telah melarang pernikahan antara seorang yang beragama Islam dengan seorang yang tidak beragama Islam dalam katagori musyrik/musyrikah. Seorang pria muslim dibolehkan menikah dengan seorang wanita ahlulkitab (Yahudi dan Kristen) berdasarkan QS al-Mā‟idah ayat 5, disertai syarat jika kualitas keimanan dan keislaman pria muslim tersebut baik, sebab pernikahan semacam ini mengandung risiko yang tinggi:
“pindah agama atau bercerai”. Pernikahan pria muslim dengan wanita ahlulkitab hanyalah suatu perbuatan yang dihukumi “mubah” (boleh dilakukan), tetapi bukan anjuran, apalagi perintah.
Sahabat Umar bin Khattab juga menunjukkan sikap tidak setuju kepada sahabat Hudzaifah bin al- Yaman dan Thalhah yang menikahi wanita Yahudi dan Kristen, karena khawatir diikuti kaum muslimin lainnya, sehingga mereka akan menjauhi wanita-wanita muslimah. Didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan, yaitu tindakan preventif untuk mencegah terjadinya kemurtadan dan kehancuran rumah tangga akibat pernikahan beda agama, maka dapat ditegaskan bahwa pernikahan yang paling ideal sesuai petunjuk QS al-Rūm ayat 21, dan yang dapat membawa kepada keselamatan di dunia maupun akhirat serta keluarga yang bahagia: sakinah, mawaddah dan rahmah adalah pernikahan dengan orang yang seagama.
Saran
Hukum pernikahan beda agama haruslah berorientasi terhadap maqosid syari‟ah dan memperhatikan dampak terhadap status anak dan hak anak dalam waris serta nikah. Dengan adanya kaidah ushul yang digunakan dalam pengambilan hukum dalam perbedaan ini, kaidah “idza ijtama‟a baina al halal wal haram ghuliba al haram”. Kaidah ini mungkin bisa menjadi penengah dari berkumpulnya hukum yang menghalalkan sesuatu dan mengharamkan sesuatu sebagai sebuah tindakan berhati-hati dalam menentukan sebuah hukum, sehingga kita sebagai umat Islam tetap terjaga dalam segala aturan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur‟an dan Terjemahanya.
A. W. Munawwir, 2002, Kamus al- MunawwirArab-Indonesi Terlengkap, Pustaka Progressif Surabaya.
Ali, Muhammad, 1993, Qur‟an Suci Terjemah dan Tafsir, Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, Cet. ke-6.
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1999, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Cet. ke-10.
Dimasyqiy, „Imad al-Din Abi al-Fida‟ Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurasyiy al, 1421 H/2000 M, Al-Mishbah alMunir fi Tahdzib Tafsir Ibn Katsir, Riyadh: Daral-Salam li al-Nasyr wa al-Tauzi, Cet. ke-2.
Fakta Empiris Nikah Beda Agama di ttp://blog.umy.ac.id/retnoeno/2 012/01/07/fakta-empirisnikah-beda-agama/, diakses pada tanggal 23 Januari 2012
Imam al-Qodhi, 2008, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid (Juz II), Daral Fikr, Beirut.
Karsayuda, 2006, Perkawinan Beda Agama, Total Media Yogyakarta, Yogyakarta.
M. Quraish Shihab,2008, M.Quraish Shihab Menjawab – 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, Lentera Hati, Jakarta.
Ratnaningsih, Erna, 2016, “Perkawinan Beda Agama Di Indonesia”, business-law. Binus.ac.id/2.
Undang-Undang R.I Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, 2010, Kesindo Utama, Surabaya.