(Foto/Ilustrasi)
Indonesia dikenal sebagai “Negara Megabiodiversitas” karena kekayaan keanekaragaman yang dimilikinya. Negara dengan jumlah penduduk lebih dari 280 juta jiwa, tentu saja menyebabkan Indonesia memiliki banyak perbedaan di dalamnya, perbedaan di Negara tersebut meliputi banyak hal dari segi Suku, Ras, Agama, dan Antargolongan (SARA). Perbedaan Agama ini dapat menyebabkan banyak dampak negatif salah-satunya itu fanatisme. Fanatisme merupakan sikap seseorang yang berlebihan terhadap keyakinannya dan memandang rendah keyakinan orang lain. Oleh karena itu, untuk melampaui hal tersebut dibutuhkan prinsip Moderasi Beragama yang bertujuan untuk saling menghargai hak setiap orang untuk memilih keyakinan serta cara hidup yg mereka ikuti agar terciptanya keharmonisan antar umat beragama.
Mengapa harus moderasi beragama?
Moderasi Beragama berasal dari 2 suku kata yaitu moderasi dan beragama, kata “moderasi” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki 2 makna, yang pertama adalah penyusutan kekerasan dan yang kedua yaitu pencegahan keekstreman, sedangkan kata “beragama” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan kata turunan dari “agama” yang berarti ajaran/sistem yang mengelola tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berkaitan dengan pergaulan manusia dan manusia, serta manusia dan lingkungannya. Sedangkan menurut istilah moderasi beragama adalah sudut pandang seseorang yang memiliki agama tetapi tidak ekstrem atau sedang-sedang saja dalam menjalani ketentuan agama tersebut, dan orang yang memiliki sudut pandang tersebut disebut moderat.
Sangat penting saat ini untuk memperkuat moderasi beragama di Indonesia, karena Indonesia adalah negara yang sangat beragam suku, budaya, bahasa dan agama yang berbeda-beda. Indonesia juga merupakan negara yang religius, meski bukan negara yang menganut kepercayaan tertentu. Hal ini juga dapat dirasakan dan dilihat dari kehidupan sehari-hari bahwa dalam kehidupan masyarakat Indonesia sangat sedikit aktivitas yang lepas dari nilai-nilai agama. Keberadaan agama begitu penting di Indonesia sampai tidak dapat dipisahkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu, moderasi beragama juga sangat penting untuk mendukung dalam konteks menyeluruh dimana keyakinan menjadi bagian penting dalam mencapai peradaban dunia yang bermartabat. Moderasi beragama juga mengajarkan nilai wasathiyah yang artinya itu seimbang tidak berat ke kenan atau ke kiri maksudnya itu ialah kondisi seseorang berdiri pada satu sisi/aspek tidak melampaui aspek yang lain sehingga tidak ada yg berlebihan tidak ada pula yang di tinggalkan.
Pada 17 Juli 2015 terjadi konflik antara agama Islam dan Nasrani, konflik tersebut berawal ketika jemaat gereja injil membakar masjid ketika umat muslim akan melaksanakan ibadah salat idul fitri. Resikonya, 2 orang tewas serta 96 rumah umat Muslim hangus terbakar. Konflik tersebut dapat diselesaikan setelah pemerintah melakukan perdamaian. Ada juga kekerasan di ranah agama yang sama, contohnya antara 2 organisasi Islam terbanyak pengikutnya di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Keberadaan 2 organisasi tersebut berperan penting dalam sejarah perjalanan Indonesia.
NU dan Muhammadiyah sama-sama memiliki tujuan yang sama yaitu membawa kebaikan bagi kehidupan dunia dan akhirat. Namun nyatanya 2 organisasi tersebut pernah terjadi konflik, Pada 3 Maret 2021 terjadi kericuhan di Banyuwangi, kericuhan tersebut di sebabkan oleh massa yang mendatangi kantor Desa Sraten untuk penolak pembangunan masjid Muhammadiyah. Penolakan tersebut di karenakan warga sekitar Masjid tersebut merupakan warga Nahdlatul Ulama (NU). Pada akhirnya kericuhan berakhir di saat pengurus PCNU Banyuwangi dan Ketua PD Muhammadiyah sepakat untuk mengakhiri polemik seputar pembangunan masjid di Desa Sraten, Cluring, Banyuwangi.
Dari 2 kejadian tersebut kita bisa mengambil pelajaran bahwa moderasi beragama itu sangat penting didalam suatu perbedaan agar tidak terjadi hal-hal yang berbau perpecahan antar agama guna membantu pancasila dalam mengupayakan dan menerapkan ideologi yang terkandung didalamnya.
Saat ini moderasi beragama di Indonesia masih terbilang lemah hal itu dibuktikan dengan banyaknya umat beragama yang masih memandang rendah agama lain, apalagi dengan adanya teknologi yang sudah berkembang pesat seperti zaman sekarang, di media sosial saja masih banyak umat beragama yang secara terang-terangan menghina, mencaci, serta menjelekkan kepercayaan orang lain, dan bahkan hal tersebut menjadi ajang debat untuk membuktikan keyakinan siapa yang paling benar. Sudah banyak pertistiwa kekerasan agama yang terjadi di Indonesia.
Dalam kajian Cornelis Lay (2009) ditemukan bahwa Indonesia sebagai suatu daerah yg sangat “produktif” pada hal kekerasan atas nama kepercayaan. karena itu, Lay mengklasifikasikan banyak sekali variasi kekerasan pada Indonesia, antara lain: (1) kekerasan yg berlangsung pada ranah kepercayaan yg sama; (2) kekerasan yg melibatkan antar kepercayaan yg berbeda; dan (3) kekerasan satu grup kepercayaan terhadap grup lain yg melakukan kegiatan yg dinilai bertentangan denan ajaran kepercayaan. Hal ini terjadi mungkin saja dikarenakan masih banyak penduduk indonesia yang masih belum memahami betapa pentingnya moderasi beragama.
Menurut penulis, Dengan adanya perbedaan tersebut seharusnya tidak menimbulkan perlakuan diskriminasi antar umat beragama karena dengan adanya diskriminasi tersebut bisa menyebabkan adanya pelanggaran HAM. Bahkan seharusnya perbedaan tersebut bisa dimanfaatkan dengan baik agar terciptanya inovatif antar umat beragama, contohnya saja ketika kedatangan Paus Fransiskus dari kedatangan tersebut mencerminkan nilai banyakmya perbedaan di indonesia khususnya perbedaan agama menjadikan seseorang tertarik untuk meneliti atau mengunjungi indonesia. Kedatangan Paus Fransiscus juga di anggap sebagai momentum penting untuk menguatkan hubungan antara bilateral Indonesia-Vatikan
Perbedaan Sebagai Kekayaan Negara
Bapak presiden Indonesia Prabowo Subianto menyatakan “Bagi kita perbedaan tidak boleh jadi penghalang, perbedaan merupakan kekayaan kita, perbedaan memberi tenaga kekuatan, perbedaan tidak boleh menjadi sebab perpecahan” dari pernyataan beliau bisa kita ambil pelajaran bahwasanya dangan adanya perbedaan, justru hal tersebut menjadikan nilai value Negara kita menjadi lebih tinggi dan dengan perbedaan harusnya menjadikan kita lebih menghargai khususnya perbedaan antar umat beragama, bisa kita lihat di turki disana banyak umat beragama yang hidup rukun, hal tersebut dibuktikan dengan berdirinya Hagia Sophia, Hagia Sophia di sebut sebagai simbol toleransi karena bangunan tersebut merupakan titik pertemuan agama-agama dunia. Hagia Sophia pernah menjadi Gereja kristen pada abad ke-6 di masa Kekaisaran Bizantium, menjadi masjid pada 1 Juni 1453 di masa pemerintahan Mehmed II, dan berubah menjadi museum pada tahun 1935 oleh presiden turki Ataturk, dan saat ini Hagia Sophia kembali menjadi Masjid.
Walaupun sering di alih fungsikan tetapi bangunan tersebut tidak di ubah bentuknya dan masih banyak peninggalan-peninggalan umat kristiani di dalamnya. Dapat disimpulkan masyarakat Indonesia bisa belajar dari orang Turki dengan adanya perbedaan tidak harus menjadi sebab permusuhan justru dengan perbedaan bisa digunakan sebagai ajang kolaboratif antar umat beragama, contohnya saling tolong menolong menjaga keamanan saat perayaan agama, misalnya saat orang Islam sedang menjalani ibadah solat Idul Fitri umat kristiani membantu mengamankan tempat ibadah supaya tidak terjadi kekacauwan dan juga sebaliknya saat umat Kristiani sedang Natal umat Islam membantu menjaga keamanan di Gereja.
Tantangan Moderasi Beragama di Indonesia
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin (2014-2019) menyatakan, setidaknya ada tiga tantangan yang perlu diatasi untuk memperkuat Moderasi Beragama. Pertama, berkembangnya pemahaman dan pengamalan keagamaan menjadi berlebihan, tidak terbatas, ekstrem, dan tidak sesuai dengan hakikat ajaran agama. Tantangan kedua, lanjut pria yang biasa disapa LHS ini, adalah lahirnya klaim kebenaran mengenai penafsiran agama. Tantangan ketiga adalah pemahaman yang justru menggerogoti atau mengancam, bahkan merusak ikatan kebangsaaan.
Terkait ketiga tantangan tersebut, Lukman menilai bahwa program penguatan Moderasi Beragama bertujuan untuk membangun sumber daya manusia Indonesia yang taat pada nilai dan hakikat ajaran agama, berniat untuk mewujudkan kebaikan bersama, dan menjunjung tinggi komitmen berbangsa.
Menurut penulis, beragama memang sangat penting karna agama berperan sebagai tiang dalam berprilaku, tanpa adanya agama seseorang tidak akan bisa berprilaku baik, dan beragama juga sangat penting untuk bekal saat nanti di akhirat. Tetapi dalam konteks berbangsa tidak semua hal yang ada di masyarakat harus di kaitkan dengan agama, beragama tidak harus fanatik karna pada dasarnya Indonesia ini terdapat beberapa agama yang di dalam agama tersebut tentunya juga telah menjelaskan untuk saling bertoleransi terhadap agama orang lain. Agama dan negara adalah 2 hal yang bentuknya berbeda, punya garapan masing-masing, sehingga 2 hal tersebut harus bisa dipisahkan, walaupun tidak bisa dipungkiri kehidupan masyarakat Indonesia rata-rata memang selalu berkaitan dengan Agama.
Solusi untuk menjawab tantangan moderasi beragama di indonesia
Menurut Sekjen kemenag Nizar Ali (2022) ketiga tantangan tersebut penting di carikan solusinya agar terciptanya harmonisasi di tengah-tengah masyarakat. Salah satu solusinya adalah penguatan moderasi beragama. “Jika secara konseptual moderasi beragama sudah difahami dan diterapkan di dalam masyarakat, insya Allah damai” kata Nizar Ali.
Nizar Ali menegaskan, penguatan moderasi beragama pada kenyataannya bertujuan untuk menanamkan pemahaman akan pentingnya menghadirkan negara sebagai rumah bersama yang adil dan ramah terhadap seluruh elemen masyarakat. Dengan demikian, setiap orang dapat menjalani kehidupan beragama yang rukun, damai, dan makmur. Dia juga mengakatan ada 4 cara untuk menyeimbangkan agama dan negara. Pertama, agama dan politik. Artinya, menjadikan nilai agama sebagai fatsoen politik, bukan menjadikan agama untuk kepentingan politik. Kedua, Agama dan layanan publik.
Maksudnya, memperjuangkan pelayanan publik secara adil pada memenuhi hak-hak sipil, tanpa diskriminasi. Ketiga, Agama dan aturan .Yaitu, menekankan tujuan penerapan aturan untuk memenuhi hajat hayati orang banyak dan kemaslahatan tanpa memaksakan formalisasi aturan kepercayaan . dan yang terakhir Agama & aktualisasi diri publik. , Artinya menaruh kebebasan beragama pada ruang publik sesuai ketentuan hukum. “Jangan kemudian hukum dijadikan alat untuk melegitimasi kekerasan,” pesannya.
Penulis menambahkan untuk menguatkan moderasi beragama di indonesia di butuhkan dialog dan diskusi terbuka hal tersebut bertujuan untuk menciptakan ruang kepada publik agar dapat membahas tentang menjalankan agama secara proporsional sesuai dengan kemampuan dan kondisi. Dan juga dibutuhkan peran serta pendamping dari pemimpin agama untuk membimbing dan mencegah para umat beragama terjebak dalam prakrik atau pemahaman yang berlebihan untuk menghindari keburukan seperti fanatisme.
Kesimpulan
moderasi beragama sangat penting untuk mewujudkan keharmonisan masyarakat di Indonesia yang memiliki keragaman suku, agama, dan budaya. Moderasi beragama bertujuan untuk menghindari ekstremisme dan fanatisme, yang sering memicu konflik. Tantangan dalam menerapkan moderasi beragama meliputi pemahaman agama yang berlebihan, klaim kebenaran sepihak, dan pandangan yang merongrong nasionalisme. Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan penguatan moderasi melalui pendidikan, dialog, dan peran pemimpin agama agar tercipta harmoni, toleransi, dan kedamaian dalam masyarakat. Dengan adanya moderasi beragama diharapkan bisa membentuk masyarakat yang saling menghormati, saling memahami, dan hidup pada kerukunan.[]
Penulis :
Ahmad Zaky Siroj Jamiel, mahasiswa Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta