Marissya Ardianita Putri (Foto/IST) |
Saat ini, rasa takut ketinggalan atau FOMO terhadap proses penyembuhan diri semakin populer, terutama di kalangan generasi muda. Proses penyembuhan sering kali dikaitkan dengan liburan, santai, atau bahkan mencari pengalaman baru yang berbeda dari rutinitas sehari-hari. Tetapi, apa yang sebenarnya menjadi penyebab orang banyak merasa takut ketinggalan dalam hal proses penyembuhan ini? Apakah benar-benar setiap orang memerlukan liburan untuk merasa "sembuh"?
Media sosial memiliki pengaruh yang kuat dalam membentuk persepsi terhadap proses penyembuhan, menjadi salah satu faktor utama dari FOMO terhadap healing. Di tengah kehidupan yang sibuk dan modern, banyak remaja mulai mencari metode baru untuk menyembuhkan diri. Mereka kembali ke alam, mengeksplorasi pegunungan, berkemah di hutan, atau sekadar berjalan di tengah pepohonan. Dari gambar dan video yang mereka posting di platform media sosial, terlihat jelas bagaimana alam memberikan mereka kesempatan untuk bernafas dan mengosongkan pikiran. Mereka ingin menyampaikan bahwa alam bukan hanya tempat untuk berbagi momen indah, tetapi juga sebagai tempat yang bisa menenangkan, memberikan ketenangan, dan mengingatkan kita akan pentingnya keseimbangan dalam hidup. Beginilah bagaimana generasi muda menunjukkan bahwa pada beberapa kesempatan, untuk menemukan kedamaian, kita harus kembali ke akar kita — ke alam yang selalu siap menyambut kita dengan ketenangannya.
Situasi semakin memburuk dengan adanya hustle culture, yang mendorong orang untuk terus bekerja tanpa henti dan mencari cara untuk keluar dari tekanan rutinitas. Berlibur atau melakukan kegiatan penyembuhan dianggap efektif untuk mereset pikiran dan tubuh. Meskipun demikian, apakah benar semua orang memerlukan liburan atau perjalanan fisik untuk sembuh?
Menyembuhkan diri adalah suatu proses yang sangat individual dan tidak selalu membutuhkan waktu liburan. Menurut psikolog dan ahli kesehatan mental, penyembuhan dapat bervariasi tergantung pada kebutuhan individu. Sebagai contoh, untuk beberapa individu, mereka dapat menemukan waktu untuk refleksi dan mencapai ketenangan melalui aktivitas sederhana seperti meditasi, membaca, atau berjalan santai di lingkungan yang damai. Berolahraga atau berkumpul dengan teman akrab juga dapat menjadi cara yang efektif untuk mengurangi rasa tegang dan kegelisahan. Banyak individu merasa lebih baik setelah menikmati aktivitas favorit atau berbicara tentang perasaan mereka. Hal ini menunjukkan bahwa kesembuhan tidak selalu tergantung pada liburan mewah atau kegiatan yang mahal, melainkan pada cara seseorang mengatasi emosi dan stres dalam kehidupan sehari-hari.
Meskipun tidak semua individu memerlukan liburan untuk penyembuhan, bagi beberapa orang, berlibur dapat memberikan manfaat yang penting. Menghabiskan waktu di alam atau pergi liburan jauh dari rutinitas bisa mengurangi stres, memperbaiki mood, dan mengembalikan energi. Liburan bisa menjadi momen untuk melepaskan diri dari stres kerja dan rutinitas harian, yang pada akhirnya dapat mendukung kesembuhan mental seseorang (Kaplan, 2020).
liburan bukanlah satu-satunya metode untuk menyembuhkan diri. Banyak orang merasa tertekan ketika harus merencanakan liburan ideal atau mengeluarkan biaya besar untuk bepergian ke tempat yang jauh. Bagi mereka, penyembuhan dapat diperoleh dengan menemukan cara untuk bersantai di rumah, misalnya menonton film kesukaan, bermeditasi, atau menikmati waktu tanpa menggunakan gadget.
Healing lebih tentang bagaimana seseorang mengelola stres, kelelahan, atau emosi negatif dalam hidupnya. Tidak ada satu cara yang benar untuk "sembuh," dan FOMO terhadap healing bisa menjadi tanda bahwa kita lebih memperhatikan apa yang dianggap penting oleh orang lain ketimbang mendengarkan kebutuhan diri sendiri. Setiap orang berhak menemukan cara mereka sendiri dalam merawat kesehatan mental dan emosional, tanpa harus merasa tertekan oleh standar atau ekspektasi orang lain.[]
Penulis :
Marissya Ardianita Putri, Mahasiswa Prodi Pendidikan Kimia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta