Oleh: Aqsha Fallaqbe Nindar Kusworo
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Kimia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Selama 10 tahun terakhir, jejaring sosial telah menjadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari bahkan milyaran orang di seluruh dunia. Dampaknya meluas ke berbagai bidang, termasuk ekonomi, sosial, budaya, dan tentu saja politik. Media sosial telah sepenuhnya mengubah cara kita berinteraksi dengan politik dan cara pelaksanaan politik, mulai dari kampanye pemilu hingga partisipasi masyarakat dalam debat politik, media sosial telah menciptakan kemajuan dan kecanggihan zaman yang lebih cepat, lebih langsung, dan sering kali lebih terpolarisasi.
Dalam esai ini, kita akan membahas pengaruh media sosial terhadap dinamika politik, termasuk dampaknya terhadap partisipasi politik, penyebaran informasi, dan perubahan strategi politik. Partisipasi politik yang lebih luas Salah satu dampak terbesar media sosial terhadap politik adalah meningkatnya partisipasi masyarakat dalam debat politik, sebelum era digital, partisipasi politik seringkali terbatas pada interaksi tatap muka atau melalui media tradisional seperti surat kabar, radio, atau televisi.
Namun, dengan munculnya media sosial, siapa pun yang memiliki akses internet dapat mengekspresikan diri, berdebat, atau mengorganisir gerakan politik. Media sosial memungkinkan penggunanya mengekspresikan pandangan politiknya secara langsung kepada khalayak luas, meski tidak ada platform resmi atau otoritas tertentu. Hal ini memberikan ruang bagi masyarakat untuk, kelompok marjinal atau suara-suara yang seringkali terpinggirkan di media arus utama untuk berpartisipasi aktif dalam diskusi politik.
Fenomena protes besar-besaran menuntut demokrasi dan otonomi lebih bagi Hong Kong. Fenomena ini contoh penting bagaimana media sosial dapat menjadi alat mobilisasi massa, karena masyarakat menggunakan platform seperti WhatsApp dan Telegram digunakan untuk koordinasi aksi dan memberikan informasi secara real-time.
Penggunaan media sosial ini berperan penting salah satunya koordinasi aksi demonstran menggunakan platform seperti telegram untuk mengorganisir dan merencanakan aksi. Meskipun media sosial membuka ruang bagi partisipasi yang lebih besar dampak yang terjadi protes Hong Kong menarik perhatian dunia dan menimbulkan debat luas tentang hak asasi manusia dan kebebasan di Tiongkok. Meskipun banyak demonstrasi yang dihadapi dengan tindakan keras oleh polisi, gerakan ini menunjukkan ketahanan warga Hong Kong dalam memperjuangkan hak- hak mereka.
Algoritma media sosial yang mendorong keterlibatan dengan menampilkan konten yang disesuaikan dengan minat pengguna seringkali memperkuat “ruang gema” di mana pengguna hanya dihadapkan pada informasi yang mendukung opini mereka sendiri, sehingga memperkuat kebijakan beberapa pihak yang berkuasa.
Penyebaran informasi politik media sosial telah merevolusi cara penyebaran informasi politik di satu sisi, hal ini memungkinkan penyebaran informasi lebih cepat dan luas. Informasi mengenai keputusan politik, peristiwa penting, atau komentar pejabat publik dapat disiarkan dalam hitungan detik dan menjangkau jutaan orang tanpa disaring oleh sistem media. Hal ini meningkatkan partisipasi masyarakat dalam isu-isu politik karena masyarakat lebih mudah memperoleh informasi langsung dari sumber. Namun, kecepatan penyebaran informasi di media sosial bagaikan pedang bermata dua yang artinya secara kiasan memiliki 2 dampak sisi konsekuensi baik dan buruk.
Selain memberikan informasi yang valid dan bermanfaat, media sosial juga menjadi lahan subur penyebaran disinformasi dan misinformasi. Hal ini sangat berbahaya dalam konteks politik, karena penyebaran misinformasi yang cepat dapat mempengaruhi opini publik, menimbulkan kebingungan, dan bahkan menimbulkan perpecahan dalam masyarakat.
Dalam beberapa kasus, di informasi ini digunakan oleh aktor politik tertentu untuk memanipulasi hasil pemilu atau mempengaruhi kebijakan public misalnya saja, penyebaran berita palsu pada pemilu presiden AS tahun 2016 dan Brexit menunjukkan betapa kuat dan berbahayanya pengaruh disinformasi di media social, mengubah strategi politik politisi dan partai politik tidak ketinggalan dalam memanfaatkan media sosial untuk keuntungan mereka.
Kampanye politik saat ini sangat bergantung pada platform seperti Twitter, Facebook, dan Instagram untuk menjangkau pemilih, menyampaikan pesan politik, dan membangun citra public. Media sosial telah memberikan akses langsung ke masyarakat, melewati media tradisional yang sering bertindak sebagai penjaga informasi misalnya, pada pemilihan presiden AS tahun 2008, tim kampanye Barack Obama secara efektif menggunakan media sosial untuk mendapatkan dukungan, menggalang dana, dan memobilisasi pemilih muda.
Hal ini menjadi preseden bagi kampanye politik modern, di mana setiap kandidat yang serius kini memiliki kehadiran media sosial yang kuat. Media sosial banyak digunakan dalam pemilihan presiden dan kepala daerah di Indonesia, menjadikannya alat yang penting untuk menjangkau pemilih muda dan daerah yang sulit dijangkau dengan kampanye tradisional. Namun penggunaan media sosial oleh politisi juga dapat menimbulkan masalah etika dan transparansi, Kampanye media sosial sering kali menggunakan data pribadi pengguna untuk menayangkan iklan politik yang ditargetkan, terkadang melibatkan pelanggaran privasi dan manipulasi informasi.
Skandal Cambridge Analytica, yang mana data pribadi jutaan pengguna Facebook digunakan secara ilegal untuk tujuan kampanye politik, adalah contoh utama bagaimana penyalahgunaan media sosial dalam politik dapat merusak kepercayaan public. Media Sosial dan Polarisasi Politik Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, media sosial dapat meningkatkan polarisasi politik.
Algoritma yang digunakan oleh platform media sosial dirancang untuk meningkatkan keterlibatan pengguna, yang sering kali berarti menyajikan konten yang memperkuat bias dan keyakinan yang ada. Akibatnya, pengguna lebih cenderung berinteraksi dengan konten yang mendukung pandangan politik mereka, sementara pandangan yang berlawanan diabaikan atau, dalam kasus ekstrim, dikritik.
Polarisasi ini dapat menimbulkan perpecahan yang lebih dalam di masyarakat, sehingga semakin sulit menemukan dialog yang sehat dan pengembangan atau kemajuan lebih lanjut mengenai politik di Indonesia. Selain itu, penggunaan "troll" dan "bot" oleh aktor politik untuk menimbulkan kontroversi dan mempublikasikan pernyataan provokatif merugikan hal ini dapat merusak tatanan demokrasi yang membutuhkan diskusi terbuka dan pertukaran gagasan yang sehat antar sesama pendapat.[]