Ainin Pratiwi Silviasari (foto/ist) |
Indonesia dikenal dengan keberagaman budaya dan adat istiadat yang kaya. Namun, kekayaan ini sering kali bertabrakan dengan hukum negara yang seragam dan formal. Konflik ini terjadi terutama saat hukum perdata yang bersifat universal bertemu dengan hukum adat yang sangat lokal dan berbasis nilai sosial. Ketegangan semacam ini mengarah pada ketidakadilan bagi masyarakat adat yang merasa nilai-nilai tradisional mereka tak dihargai.
Benturan Dua Sistem Hukum
Hukum perdata di Indonesia, dengan tujuan memberikan kepastian hukum, sering kali mengutamakan prinsip-prinsip individu, seperti dalam masalah perwarisan. Di sisi lain, banyak masyarakat adat yang melihat perwarisan sebagai hak bersama yang lebih mengedepankan kesejahteraan komunitas. Begitu pula dalam sengketa tanah adat, di mana tanah yang dianggap milik bersama bisa diperebutkan secara individu dalam konteks hukum perdata. Benturan ini menciptakan ketidakselarasan antara hukum negara dan budaya lokal.
Keresahan Masyarakat Adat
Bagi banyak masyarakat adat, hukum perdata terasa asing dan tidak adil. Misalnya, pernikahan adat yang sah menurut adat sering kali dianggap tidak sah menurut hukum negara karena tidak terdaftar. Begitu pula dengan hak atas tanah adat yang sudah lama mereka kelola, sering kali diabaikan oleh hukum perdata yang lebih mengutamakan status hukum formal. Ini memunculkan perasaan terpinggirkan dan kesenjangan antara keadilan hukum negara dan hak-hak budaya mereka.
Solusi: Pluralisme Hukum untuk Keadilan yang Seimbang
Untuk mengatasi masalah ini, Indonesia bisa mengadopsi pluralisme hukum, di mana hukum perdata dan hukum adat dapat berjalan berdampingan. Negara perlu memberi ruang lebih besar bagi hukum adat, dengan tetap menjaga prinsip-prinsip dasar hukum negara. Salah satu langkah konkret adalah mengakui hukum adat dalam undang-undang yang lebih spesifik, seperti dalam Undang-Undang Desa yang memberikan ruang bagi otoritas masyarakat adat. Selain itu, penting untuk melibatkan mediasi adat dalam penyelesaian sengketa yang melibatkan masyarakat adat, agar solusi yang dihasilkan lebih mencerminkan nilai-nilai lokal.
Dalam hal ini, Pasal 18B UUD 1945 menjadi dasar hukum penting yang mengakui keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-haknya. Begitu pula dengan Pasal 28I ayat (3) yang menjamin hak-hak masyarakat adat dalam sistem hukum nasional. Ini memberikan landasan untuk menyeimbangkan antara hukum perdata yang mengutamakan hak individu dengan hukum adat yang mengedepankan hak kolektif dan budaya lokal.
Pendidikan Hukum yang Berwawasan Lokal
Penting juga untuk menanamkan kesadaran tentang keberagaman budaya dalam pendidikan hukum. Mahasiswa dan aparat hukum perlu dibekali pengetahuan tentang hukum adat dan dinamika sosial di masyarakat adat. Dengan pemahaman ini, mereka bisa lebih adil dalam mengambil keputusan yang memperhatikan konteks sosial dan budaya yang ada.
Menuju Keadilan yang Menghargai Keberagaman
Indonesia harus melihat hukum sebagai alat untuk menciptakan keadilan substantif, yang tak hanya mengutamakan kepastian hukum dalam bentuk kaku, tetapi juga menghargai keberagaman. Pluralisme hukum bisa menjadi solusi yang mengharmoniskan hukum perdata dan hukum adat, sehingga semua lapisan masyarakat mendapatkan keadilan yang setara, baik secara individu maupun kolektif.
Dengan pendekatan ini, Indonesia bisa mewujudkan sistem hukum yang lebih inklusif dan mencerminkan nilai-nilai budaya yang hidup di masyarakat, tanpa mengorbankan prinsip dasar keadilan.[]
Penulis :
Ainin Pratiwi Silviasari, Mahasiswa Jurusan Hukum Universitas Bangka Belitung