Foto/Ilustrasi |
Bangka Belitung dikenal sebagai salah satu penghasil timah terbesar di dunia, sebuah kebanggaan sekaligus tantangan besar. Di satu sisi, pertambangan memberikan kontribusi ekonomi yang signifikan bagi masyarakat dan pemerintah daerah. Namun di sisi lain, eksploitasi tambang yang tidak terkontrol telah menimbulkan dampak lingkungan dan sosial yang mengkhawatirkan. Dalam konteks ini, gagasan pertambangan beretika menjadi sangat relevan untuk diperjuangkan demi memastikan keberlanjutan Bangka Belitung.
Pertambangan beretika mengacu pada praktik pertambangan yang tidak hanya mengutamakan keuntungan ekonomi, tetapi juga memprioritaskan perlindungan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Sayangnya, implementasi konsep ini masih jauh dari harapan di Bangka Belitung. Aktivitas tambang ilegal yang marak, kerusakan ekosistem laut dan darat, serta konflik sosial akibat ketimpangan distribusi manfaat pertambangan menjadi bukti nyata bahwa banyak pelaku industri belum memahami pentingnya etika dalam operasional mereka.
Dampak Kerusakan Tambang
Dari sudut pandang lingkungan, aktivitas tambang di Bangka Belitung telah menyebabkan degradasi yang parah. Hutan-hutan yang dulu menjadi penyangga ekosistem kini berubah menjadi lubang-lubang tambang terbuka. Selain itu, sedimentasi dari aktivitas tambang telah mencemari sungai dan laut, mengancam keberlanjutan sumber daya perikanan yang menjadi mata pencaharian sebagian besar masyarakat pesisir. Kerusakan seperti ini mencerminkan kurangnya kesadaran akan tanggung jawab lingkungan oleh para pelaku tambang, baik skala besar maupun kecil.
Dampak sosialnya juga tidak kalah serius. Ketimpangan distribusi keuntungan sering kali menjadi sumber konflik antara perusahaan tambang, pemerintah daerah, dan masyarakat lokal. Banyak masyarakat yang merasa bahwa keberadaan tambang tidak memberikan dampak positif yang signifikan bagi mereka, sementara mereka harus menanggung dampak buruk berupa hilangnya lahan pertanian, ancaman kesehatan, dan kerusakan lingkungan tempat tinggal. Hal ini menunjukkan adanya pelanggaran prinsip keadilan sosial dalam praktik pertambangan di Bangka Belitung.
Dasar Hukum Pertambangan Beretika
Dalam konteks Indonesia, berbagai regulasi sudah mengatur kewajiban praktik pertambangan yang bertanggung jawab. Beberapa dasar hukum yang relevan adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba)
UU ini mengatur tata kelola pertambangan yang berkelanjutan, termasuk kewajiban reklamasi dan pascatambang untuk menjaga kelestarian lingkungan. Pasal 99 dan 100 menekankan pentingnya pengelolaan lingkungan hidup dan reklamasi sebagai bagian dari kewajiban perusahaan tambang.
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH)
UU ini menegaskan bahwa setiap aktivitas yang berdampak pada lingkungan harus memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan mematuhi prinsip pembangunan berkelanjutan. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan sanksi administratif hingga pidana.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang
Peraturan ini mengatur kewajiban pemegang izin usaha pertambangan untuk melakukan reklamasi lahan bekas tambang guna memulihkan ekosistem. Reklamasi wajib direncanakan sejak awal operasional tambang dan diawasi oleh pemerintah.
4. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Reklamasi dan Pascatambang pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Peraturan ini memberikan panduan teknis tentang cara melaksanakan reklamasi dan pascatambang, termasuk pelibatan masyarakat dalam proses tersebut.
Gagasan dan Implementasi
Untuk menggagas pertambangan beretika, perlu ada komitmen bersama dari berbagai pihak. Pemerintah harus memperkuat penegakan hukum untuk mencegah tambang ilegal dan memastikan semua pelaku industri mematuhi aturan yang ada. Perusahaan tambang wajib mengintegrasikan prinsip-prinsip keberlanjutan dalam operasional mereka, termasuk reklamasi lahan dan pelibatan masyarakat lokal.
Masyarakat juga harus diberdayakan melalui edukasi tentang dampak tambang dan hak-hak mereka. Dengan pengetahuan yang memadai, masyarakat dapat menjadi pengawas yang kritis dan aktif terhadap aktivitas pertambangan di sekitarnya.
Sebagai mahasiswa, kita dapat berperan dengan menyuarakan pentingnya etika dalam pertambangan melalui kajian akademik, advokasi, dan diskusi publik. Selain itu, kita juga harus mendorong pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan pertambangan dan memastikan pelaksanaannya sesuai dengan nilai keadilan sosial dan lingkungan.
Penutup
Bangka Belitung adalah rumah bagi kekayaan alam yang luar biasa. Namun, tanpa pengelolaan yang beretika, kekayaan ini bisa menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup masyarakat dan ekosistem. Dengan menerapkan pertambangan beretika yang berlandaskan hukum, kita dapat menjaga keberlanjutan alam Bangka Belitung demi manfaat generasi sekarang dan mendatang.[]
Penulis :
Rofi Waly Wardhany, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung