Bangka Belitung, sebuah wilayah yang dikenal sebagai salah satu penghasil timah terbesar di dunia, telah menjadi sorotan terkait kegiatan pertambangan yang masif. Sebagai salah satu pusat ekonomi lokal, sektor tambang memang memberikan kontribusi besar bagi pendapatan daerah dan nasional. Namun, di balik itu, terdapat persoalan serius yang menyangkut kerusakan lingkungan dan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat. Dalam konteks ini, etika pertambangan menjadi isu yang mendesak untuk dibahas, terutama terkait bagaimana melindungi lingkungan di tengah ekspansi tambang yang terus meluas.
Kerusakan Lingkungan sebagai Dampak Tambang
Kegiatan pertambangan di Bangka Belitung telah meninggalkan jejak kerusakan lingkungan yang signifikan. Lahan-lahan yang sebelumnya subur berubah menjadi lubang-lubang tambang yang terlantar. Hutan-hutan yang menjadi penopang ekosistem terdegradasi, sementara perairan, seperti sungai dan laut, tercemar oleh limbah tambang. Fenomena ini tidak hanya mengancam flora dan fauna, tetapi juga memengaruhi kehidupan masyarakat lokal yang bergantung pada hasil alam, seperti petani dan nelayan.
Dalam perspektif etika lingkungan, eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan tanpa mempertimbangkan keberlanjutan adalah bentuk pelanggaran moral. Pertambangan yang tidak bertanggung jawab mencerminkan sikap yang hanya mementingkan keuntungan jangka pendek tanpa memikirkan dampak jangka panjang bagi generasi mendatang.
Tanggung Jawab Perusahaan Tambang
Salah satu tantangan terbesar dalam mengimplementasikan etika pertambangan adalah memastikan tanggung jawab sosial dan lingkungan dari perusahaan tambang. Prinsip-prinsip seperti tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR) sering kali hanya menjadi formalitas tanpa realisasi yang nyata. Banyak perusahaan tambang di Bangka Belitung yang tidak melaksanakan kewajiban reklamasi lahan bekas tambang, meskipun hal tersebut sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Berdasarkan pasal 98 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, setiap pemegang izin usaha pertambangan diwajibkan untuk melakukan reklamasi dan rehabilitasi lingkungan setelah kegiatan pertambangan selesai. Pasal ini mengandung prinsip bahwa kegiatan pertambangan harus memperhatikan kelestarian lingkungan, bukan hanya untuk keuntungan ekonomi jangka pendek. Selain itu, terdapat juga aturan yang mengatur kewajiban perusahaan untuk mengelola dan membuang limbah tambang secara benar, salah satunya melalui Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang.
Namun, meskipun ada dasar hukum yang jelas, implementasi di lapangan sering kali terkendala oleh lemahnya pengawasan dan rendahnya sanksi bagi pelanggaran. Ini menjadi tugas besar bagi pemerintah untuk memperketat pengawasan dan memastikan bahwa setiap perusahaan tambang menjalankan kewajibannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Peran Pemerintah dan Masyarakat
Selain perusahaan, pemerintah juga memiliki peran penting dalam memastikan etika pertambangan diterapkan. Pemerintah perlu memperketat pengawasan terhadap izin tambang dan memastikan pelaksanaan reklamasi sesuai dengan aturan yang berlaku. Pemerintah juga harus memperkuat kapasitas lembaga pengawas, seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Badan Lingkungan Hidup, untuk melakukan evaluasi yang lebih ketat terhadap perusahaan-perusahaan tambang.
Di sisi lain, masyarakat juga memiliki peran strategis dalam mengawal etika pertambangan. Partisipasi aktif masyarakat dalam mengadvokasi isu lingkungan dapat menjadi tekanan bagi pemerintah dan perusahaan untuk lebih bertanggung jawab. Misalnya, komunitas-komunitas lokal dapat melakukan pengawasan terhadap aktivitas tambang di wilayah mereka atau bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam mengadvokasi kerusakan lingkungan.
Menuju Pertambangan Beretika
Pertanyaan mendasar yang harus dijawab adalah bagaimana kita dapat menciptakan keseimbangan antara eksploitasi sumber daya alam dan pelestarian lingkungan. Pertambangan beretika bukanlah hal yang mustahil, tetapi membutuhkan komitmen dari semua pihak. Prinsip-prinsip keberlanjutan harus menjadi landasan utama dalam setiap aktivitas tambang, mulai dari perencanaan hingga pascatambang.
Langkah awal yang dapat dilakukan adalah mendorong transparansi dalam pengelolaan tambang. Pemerintah, perusahaan, dan masyarakat harus duduk bersama untuk merumuskan kebijakan yang adil dan berkelanjutan. Edukasi tentang pentingnya menjaga lingkungan juga perlu digencarkan, baik kepada pelaku usaha maupun masyarakat umum.
Dalam hal ini, dasar hukum yang dapat menjadi pedoman adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menekankan pentingnya kelestarian lingkungan dalam setiap kegiatan pembangunan, termasuk pertambangan. Pasal 2 Undang-Undang ini menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berkewajiban untuk menjaga dan melestarikannya. Oleh karena itu, kegiatan pertambangan harus dilaksanakan dengan memperhatikan dampaknya terhadap kualitas lingkungan.
Kesimpulannya, etika pertambangan di Bangka Belitung adalah persoalan yang kompleks, tetapi bukan tanpa solusi. Dengan kolaborasi antara perusahaan, pemerintah, dan masyarakat, pertambangan yang beretika dan ramah lingkungan dapat diwujudkan. Ini bukan hanya soal melindungi alam, tetapi juga soal memastikan bahwa sumber daya yang ada dapat dinikmati oleh generasi mendatang.[]
Penulis :
Muhamad Aksal Subandi, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung