Industri pertambangan merupakan tulang punggung bagi banyak sektor ekonomi, menyediakan bahan baku penting untuk berbagai kebutuhan, seperti pembangunan infrastruktur, energi, dan teknologi. Namun, keberadaan pertambangan sering kali menjadi sumber persoalan lingkungan dan sosial yang serius.
Mulai dari kerusakan ekosistem, pencemaran lingkungan, hingga konflik dengan masyarakat sekitar, semua menjadi tantangan yang membutuhkan solusi berbasis etika. Di sinilah pentingnya penerapan prinsip etika dalam dunia tambang, yang mengutamakan keseimbangan antara profitabilitas, keberlanjutan lingkungan, dan kemanusiaan.
Dari perspektif lingkungan, industri pertambangan memiliki dampak yang sangat signifikan. Aktivitas seperti penebangan hutan, degradasi lahan, dan pencemaran air kerap terjadi di sekitar lokasi tambang. Jika tidak dikelola dengan baik, kerusakan ini bisa menjadi ancaman serius terhadap ekosistem lokal dan global. Oleh karena itu, etika pertambangan menuntut perusahaan untuk bertindak secara bertanggung jawab, sebagaimana diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).
UU ini menekankan bahwa setiap kegiatan usaha wajib memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagai bentuk pencegahan kerusakan lingkungan. Selain itu, Pasal 96 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) mengatur kewajiban perusahaan tambang untuk melakukan reklamasi dan pasca-tambang guna memulihkan lingkungan yang terdampak.
Selain itu, hubungan antara perusahaan tambang dan masyarakat sekitar sering kali menjadi isu sensitif. Dalam banyak kasus, kehadiran perusahaan tambang justru memicu konflik sosial, seperti sengketa lahan, penggusuran, atau ketimpangan ekonomi.
Masyarakat lokal sering merasa diabaikan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan mereka. Oleh karena itu, etika dalam pertambangan menuntut adanya pendekatan yang lebih inklusif dan manusiawi. Dasar hukum untuk melindungi masyarakat lokal dapat ditemukan dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjamin hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Selain itu, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Prinsip ini menjadi landasan penting untuk memastikan perusahaan tambang memprioritaskan kesejahteraan masyarakat.
Penerapan etika di dunia tambang sejatinya memberikan manfaat jangka panjang, tidak hanya bagi lingkungan dan masyarakat tetapi juga bagi perusahaan itu sendiri. Perusahaan yang bertindak secara etis akan lebih dipercaya oleh masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya. Selain itu, mereka dapat membangun reputasi yang baik di pasar global, terutama di tengah meningkatnya kesadaran akan pentingnya keberlanjutan.
Dengan mengutamakan etika, dunia tambang dapat menjadi sektor yang tidak hanya menggali kekayaan alam, tetapi juga menjaga kelestarian lingkungan dan kualitas hidup manusia.
Dengan landasan hukum yang jelas dan penerapan tanggung jawab moral, pertambangan dapat berkontribusi pada pembangunan yang adil, berkelanjutan, dan bertanggung jawab.[]
Penulis :
Aditya Prasetya, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung