Menurut Undang- Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja memuat perubahan peraturan pertambangan untuk meningkatkan investasi dengan tetap memperhatikan aspek lingkungan dan sosial.
Pertambangan di Babel telah menimbulkan banyak masalah lingkungan, seperti kerusakan hutan, hilangnya keanekaragaman hayati, dan kerusakan lahan akibat aktivitas penambangan liar dan ilegal.
Data dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) mencatat seluas 167.065 hektar lahan kritis yang ada di Babel, baik di Pulau Bangka maupun Pulau Belitung. Besaran lahan kritis ini diakibatkan berbagai macam aktivitas manusia yang mencakup 70 persen akibat kegiatan tambang timah, sementara selebihnya aktivitas perkebunan, perambahan, permukiman dan lain sebagainya.
Sementara pada Laporan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bangka Belitung pada Mei 2024 juga menyebutkan masih ada 12.607 “kolong” atau lahan bekas tambang yang belum direklamasi dengan luas total mencapai 15.579,747 hektare.
Melihat dari sisi masyarakat adat dan lokal sering kali terpinggirkan oleh eksploitasi tambang besar-besaran. Banyak penambang skala kecil atau masyarakat lokal yang terlibat dalam tambang liar tanpa perlindungan hukum dan standar keselamatan yang memadai, sehingga mereka rentan terhadap risiko kesehatan dan keselamatan kerja.
Selain itu, konflik antara perusahaan tambang dengan masyarakat juga sering terjadi, terutama terkait dengan perampasan lahan dan pencemaran lingkungan yang berdampak langsung pada mata pencaharian warga sekitar, seperti nelayan dan petani.
Dari segi etika, pertambangan di Bangka Belitung menghadapi dilema antara kebutuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan serta hak masyarakat lokal. Pemerintah daerah dan perusahaan tambang harus mulai mengadopsi konsep pertambangan berkelanjutan dan etis. Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang mengatur tentang kewajiban membangun kembali wilayah bekas pertambangan untuk mengembalikan fungsi lingkungannya.
Hal ini melibatkan langkah-langkah seperti reklamasi lahan pascatambang, pengawasan ketat terhadap izin pertambangan, serta pelibatan aktif masyarakat lokal dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan. Sayangnya, implementasi kebijakan tersebut masih sering diabaikan atau tidak konsisten yang menjadi penyebab dilema antara kebutuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan serta hak masyarakat lokal.
Keberhasilan Babel dalam menciptakan pertambangan yang etis sangat bergantung pada penguatan regulasi dan penegakan hukum. Berdasarkan data dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Bangka Belitung, pada tahun 2020, hanya sekitar 30 persen dari area yang rusak akibat tambang telah direklamasi. Ini menunjukkan kurangnya komitmen dari para pemangku kepentingan untuk melakukan pemulihan lingkungan. Pemerintah harus lebih proaktif dalam mengawasi praktik tambang dan memberikan sanksi tegas terhadap perusahaan yang melanggar standar lingkungan.
Dengan demikian, untuk mewujudkan pertambangan etis di Bangka Belitung, perlu ada sinergi antara kepentingan ekonomi, perlindungan lingkungan, dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat lokal. Jika tidak, kerusakan yang ditimbulkan akan semakin memperburuk kondisi lingkungan dan sosial, sementara manfaat ekonominya hanya dirasakan segelintir pihak. Pertambangan etis di Babel bukan hanya tanggung jawab perusahaan, tetapi juga pemerintah dan masyarakat yang harus bekerja sama menciptakan keseimbangan yang lebih adil dan berkelanjutan.[]
Penulis :
Ilham, Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Bangka Belitung, Hp/WA : 083180858287