Notification

×

Iklan

Iklan

Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam dan Status Hukum Perkawinan Beda Agama setelah adanya UU Perkawinan

Sabtu, 01 Juni 2024 | Juni 01, 2024 WIB | 0 Views Last Updated 2024-06-01T13:26:12Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Handika Pratama (Foto : IST)

Perkawinan merupakan ikatan suci, yang kuat dan juga kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang perempuan dengan laki-laki untuk membentuk keluarga yang kekal, saling mengasihi, saling menghargai, tentram serta bahagia.(Mohd. Idris Ramulyo, 1996) Menurut Kompilasi Hukum Islam yang dimaksud dengan pernikahan adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Secara bahasa pernikahan artinya berkumpul dan bercampur. Menurut istilah syara’ diartikan sebagai ijab dan qabul (‘aqad) yang menghalalkan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan dengan perkataan atau ‘aqad yang mengarah kepernikahan sesuai dengan ketentuan syariat islam. Makna nikah (zawaj) biasa diartikan dengan aqdu al-tazwij yang bermakna akad nikah, atau bisa diartikan dengan kata (wath’u al zaujah) yang maknanya menyetubuhi isteri.


Permasalahan Agama yang menyangkut perkawinan, dapat kita lihat bahwa dalam setiap Agama tentunya mempunyai ketentuan-ketentuan yang mengatur masalah perkawinan, sehingga pada prinsipnya diatur dan tunduk pada ketentuan-ketentuan dari Agama yang dianut oleh pasangan yang akan melangsungkan perkawinan. Permasalahan sosial yang berkaitan dengan perkawinan merupakan cara pandang masyarakat pada umumnya mengenai pelaksanaan perkawinan, yang akan membawa dampak tertentu pada pasangan yang akan melangsungkan perkawinan dalam lingkungan masyarakatnya.


Kecenderungan perkawinan beda agama di kalangan umat Islam Indonesia terus berlanjut sejalan dengan kemajuan dunia media elektronik yang lambat laun mengalami penurunan nilai-nilai moral akibat maksiat dan rapuhnya akidah Islam. Meskipun larangan seorang Muslim menikah dengan non-Muslim sebenarnya telah dinyatakan oleh para ulama dan tokoh Islam, namun praktik pernikahan beda agama terus berlanjut.


Menurut Hukum Islam:


Dalam Al-qur’an tentang pernikahan beda agama diatur dalam Surah Al-Baqarah ayat 221 sebagai berikut: 

Yang Artinya: “Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.”(Departemen Agama RI, 2009)


Adapun menurut Tafsir Ali Sayis mengenai surah Al-Baqarah ayat 221 dijelaskan sebagai berikut: “Mereka itu orang orang yang diharamkan atas kamu untuk menikahi mereka dari laki laki orang-orang musyrik juga wanita-wanita musyrik karena mereka mengajak kamu untuk beramal ke neraka, sedangkan allah mengajak kamu beramal untuk masuk kedalam surga dan mempengaruhi kamu berbuat dosa dengan mengajarimu dan menjauhkan kamu dari jalan yang benar. Menurut pendapat beberapa ulama, Mereka berbeda pendapat tentang pengertian lafadz musyrik. pada umumnya mereka menyebutkan seluruh orang musyrik baik penyembah berhala, atau yahudi, atau nasrani dan tidak dikhususkan dari mereka sehingga semua orang musyrik haram dinikahi. 


Dan sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud orang musyrik adalah yng tidak ada kitabnya seperti majusi, dan musyrikin arab yang tidak punya kitab. dan sebagian ulama mengatakan orang musyrik itu adalah semua orang musyrik sehingga ayat itu menasakhkan (menghapuskan) berlakunya ayat al maidah 5. Ibn umar ra menyebut larangan menikahi yahudi dan nasrani, berkata ia adakah musyrik yang lebih besar dari orang yang mengatakan bahwa allah itu ada anaknya? Yang terkenal memang musyrik itu yang tidak punya kitab dari golongan penyembah berhala dan majusi. Juga berkata ia (ibn umar) bahwa orang musyrik itu termasuk golongan ahli kitab sebagaimana disebut al maidah :1, maka ia mengharamkan semua musyrik walaupun ia ahli kitab. “Dan wanita yang baik baik dari orang orang yang diberi kitab sebelum kamu” terkait dengan satu kaitan, yaitu “apabila dia beriman”.(Sayis, 1990) 


Dari penjelasan diatas terlihat bahwa seorang muslim dilarang untuk menikahi wanita ataupun laki-laki non-Muslim, karena yang demikian itu akan membawa pengaruh dan dampak negatif bagi si pelaku, serta hal itu menjauhkan diri sipelaku dari Allah SWT, bahkan bisa membuatnya terjerumus ke dalam neraka karena pindah agama atau melakukan praktik pernikahan beda agama yang tentunya menentang ketentuan syariat Islam.


Menurut KHI bahwa perkawinan beda agama adalah tidak sah untuk dilakukan, karena perkawinan yang dilakukan oleh seorang muslim harus dengan Muslimah, tidak boleh dengan wanita non-muslim. Apalagi dalam praktik yang dilakukan dalam penetapan tersebut mereka menikah menggunakan ketentuan agama Kristen yang sangat bertentangan dalam Islam.


Status Hukum Perkawinan Beda Agama dalam UU Perkawinan


Perkawinan Beda Agama menurut pemahaman para ahli dan praktisi hukum dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 secara garis besar dapat dijumpai tiga pandangan. Pertama, perkawinan beda agama tidak dapat dibenarkan dan merupakan pelanggaran terhadap UUP Pasal 2 ayat (1): 

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan Pasal 8 huruf (f): bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yan berlaku, dilarang kawin. Maka dengan pasal ini, perkawinan beda agama dianggap tidak sah dan batal demi hukum oleh pejabat pelaksana perkawinan. Padahal dalam pasal ini menyatakan sah menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu, sedangkan dalam Islam ada pendapat yang membolehkan pernikahan beda agama. 


Kedua, perkawinan beda agama adalah diperbolehkan, sah dan dapat dilangsungkan karena telah tercakup dalam perkawinan campuran, sebagaiman tertulis dalam Pasal 57 UUP, yaitu dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Menurut pandangan kedua ini, pasal tersebut tidak saja mengatur perkawinan antara dua orang yang memiliki kewarganegaran yang berbeda, akan tetapi juga mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda agama. Menurutnya, pelaksanaannya dilakukan menurut tata cara yang diatur oleh Pasal 6 PPC: (1) Perkawinan campur dilangsungkan menurut hukum yang berlaku untuk suami, kecuali izin dari kedua belah pihak bakal mempelai, yang seharusnya ada, dengan merujuk pada Pasal 66 UUP. 


Ketiga, UUP tidak mengatur masalah perkawinan antaragama. Oleh karena itu, apabila merujuk Pasal 66 UUP yang menekankan bahwa peraturanperaturan lain yang mengatur tentang perkawinan, sejauh telah diatur dalam unadang-undang ini, maka dinyatakan tidak berlaku lagi. Namun karena UUP belum mengaturnya, maka peraturan-peraturan lama dapat diberlakukan kembali, sehingga masalah perkawinan beda agama harus berpedoman kepada peraturan pekawinan campur (PPC). 


Penulis menyimpulkan bahwa dari penjelasan dan perbandingan antara hukum islam dengan undang-undang perkawinan di atas bahwa perkawinan beda agama tidak di perbolehkan di Indonesia dengan alasan apapun, islam telah melarang dengan keras pernikahan beda agama sehingga apabila dilanggar oleh umat islam maka haram hukumnya dan berdosalah dia.[]


Pengirim :

Handika Pratama, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung, Hp/WA : 0895-3523-24894

×
Berita Terbaru Update