Notification

×

Iklan

Iklan

Peran Hukum Acara Peradilan Agama dalam Perlindungan Hak-hak Perempuan dan Anak di Peradilan Agama

Minggu, 02 Juni 2024 | Juni 02, 2024 WIB | 0 Views Last Updated 2024-06-02T04:40:55Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Siti Balqis Alayya (Foto : IST)

Hukum acara peradilan agama merupakan suatu kumpulan atau deretan peraturan-peraturan yang berisi tentang bagaimana cara yang harus dilakukan atau bertindak di depan pengadilan agama sesuai dengan aturan yang berlaku. Kompetensi relatif Pengadilan Agama dalam artian sederhananya adalah kewenangan Pengadilan Agama yang satu tingkat atau satu jenis berdasarkan wilayah, dasar kompetensi relatif Pengadilan Agama adalah Pasal 118 Ayat 1 HIR atau Pasal 142 R.Bg jo Pasal 73 Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Hukum acara peradilan agama merupakan suatu kumpulan atau deretan peraturan yang berisi tentang bagaimana cara yang harus dilakukan atau bertindak di depan pengadilan agama sesuai dengan aturan yang berlaku.


Perkara di bidang perkawinan sendiri, dalam penjelasan angka 37 Pasal 49 mencakup setidaknya 22 bidang hukum, di antaranya mengenai izin poligami, dispensasi kawin, pencegahan perkawinan, pembatalan perkawinan, gugatan nafkah (istri, nafkah lampau, nafkah anak), gugatan cerai, permohonan cerai talak, penyelesaian harta bersama, pengasuhan anak, perwalian, pengesahan anak, asal usul anak, pengangkatan anak, dan pengesahan nikah. Kewenangan untuk menyelesaikan perkara-perkara di bidang perkawinan tersebut menunjukkan bahwa kewenangan absolut Peradilan Agama banyak bersentuhan langsung dengan kepentingan perempuan dan anak. Sebab, implikasi atau dampak langsung dari putusan terhadap kasus-kasus tersebut umumnya dirasakan oleh perempuan dan anak. Laki-laki juga merasakan dampak keputusan terhadap kasus-kasus ini, namun prevalensi dan tingkat dampak yang dirasakan antara laki-laki dan perempuan sangat berbeda.


Perceraian (baik cerai talak maupun cerai gugat), hanyalah satu dari sejumlah perkara yang ditangani di Peradilan Agama yang menunjukkan adanya upaya serius dalam memerhatikan perlindungan terhadap kepentingan perempuan dan anak. Isu yang sering kali muncul dalam dua jenis perkara di atas adalah gugatan mengenai nafkah baik nafkah madliyah, nafkah anak, nafkah iddah, dan nafkah lainnya. Selain isu mengenai pemenuhan kebutuhan dasar, putusan atas gugatan-gugatan tersebut juga berkaitan langsung dengan upaya melindungi kepentingan-kepentingan, harkat, dan martabat perempuan dan anak.


Menjawab hal itu, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum (Perma). Perma ini dilatarbelakangi oleh keinginan Mahkamah Agung menghilangkan hambatan-hambatan bagi kaum perempuan dalam memeroleh akses keadilan serta membebaskan perempuan dari segala bentuk diskriminasi dalam sistem peradilan.


Peradilan Agama sebagai salah satu lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung dituntut untuk mengejawantahkan ekspektasi dan pembaruan yang telah dicanangkan Mahkamah Agung melalui Perma tersebut di atas. Dengan eskalasi perkara yang sarat bersentuhan langsung dengan kepentingan perempuan dan anak, keberadaan Peradilan Agama secara institusional dan fungsional sangat relevan dalam mewujudkan ekspektasi dimaksud.


Peradilan Agama memiliki perhatian khusus pada upaya pemberdayaan kaum perempuan yang dalam keluarga sering kali dipersepsi sebagai pihak yang inferior dan berada di bawah dominasi kaum laki-laki. Budaya yang berpusat pada laki-laki ini muncul dalam berbagai sudut pandang dan rentang kehidupan individu, seperti aspek keuangan, pendidikan, permasalahan perundang-undangan, bahkan peraturan. Dampak dari budaya tersebut adalah berkembangnya berbagai permasalahan sosial yang membelenggu kesempatan perempuan dan mengabaikan keistimewaan yang seharusnya dimiliki perempuan. Meski Indonesia adalah negara hukum, namun payung hukumnya sendiri tidak mampu menampung berbagai permasalahan sosial tersebut. Penyebabnya masih klasik, karena ranah perempuan masih dianggap terlalu domestik. Sehingga penegakan hukum pun masih cukup lemah dan tidak adil gender. Oleh karena itu, peran pekerja sosial sangat dibutuhkan dalam kondisi sekarang ini agar pemikiran kritis dapat segera terwujud.


Salah satu isu yang mengemuka dalam konteks putusan Peradilan Agama dan perlindungan terhadap hak-hak perempuan dan anak adalah mengenai kekuatan eksekutorial putusan yang berlandaskan prinsip sederhana, cepat, dan biaya ringan. Memang, dalam kurun waktu terakhir terdapat sejumlah permasalahan dalam eksekusi biaya-biaya nafkah yang dibebankan kepada suami yang menalak istrinya dikarenakan jumlah nafkah yang dibebankan dengan biaya eksekusi tidak jauh berbeda, sehingga pelaksanaan eksekusi tidak terlalu efektif dan bermanfaat bagi para perempuan yang ditalak.


Ada kecenderungan dalam beberapa praktik pelaksanaan ikrar talak jika tidak ingin mengatakan banyak yang putusannya disertai dengan pembebanan, belum menunjukkan keberpihakan terhadap perempuan dan anak. Sebagai misal, pengucapan ikrar talak didahulukan pelaksanaannya dan pembayaran beban nafkah-nafkah dilaksanakan kemudian dalam kurun waktu beberapa hari, minggu, maupun bulan, baik secara sukarela maupun melalui mekanisme eksekusi. Cara pemenuhan hak-hak perempuan atas nafkah seperti ini tidak selaras dengan kehendak untuk melindungi dan menjamin pemenuhan hak-hak mereka secara tepat dan cepat. 


Pelaksanaan putusan berupa akibat cerai pasca-perceraian sering tidak dapat terealisasi dengan baik disebabkan faktor kurangnya kesadaran suami untuk memberikan jaminan kepada istri dan anaknya sehingga diperlukan adanya campur tangan instansi lain agar ada daya paksa yang lebih sebagai solusinya. Bahkan, tidak sedikit fakta yang menunjukkan bahwa setelah pengucapan ikrar talak, pihak laki-laki abai terhadap tanggung jawabnya dan berkelit dengan berbagai alasan. Ada sejumlah putusan cerai talak yang di dalamnya mengandung penghukuman kepada pihak laki-laki membayar sejumlah beban tertentu kepada pihak isteri namun tidak dapat terlaksana hingga lewat waktu enam bulan sejak ditetapkan hari siding ikrar talak. Hal-hal demikian tentunya tidak diinginkan, karenanya instrumen hukum acara perlu diperbarui dengan penciptaan kaidah-kaidah hukum acara baru yang mengakomodir upaya melindungi hak-hak perempuan dan anak.[]


Pengirim :

Siti Balqis Alayya, Mahasiswi Jurusan Hukum Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung, Hp/WA : 0821-7666-9488 

×
Berita Terbaru Update