Notification

×

Iklan

Iklan

Generasi Z dan Kesehatan Mental

Selasa, 18 Juni 2024 | Juni 18, 2024 WIB | 0 Views Last Updated 2024-06-18T02:15:12Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Ilham Tri Pangestu (foto/Ist)

Generasi Z merupakan tumpuan masa depan dan digadang-gadang bakal memimpin Indonesia Emas 1945. Namun, banyak anak kelahiran tahun 2000-2010 ini mengalami masalah kesehatan mental, yang bisa berdampak sosial dan ekonomi berkepanjangan serta merugikan kehidupan mereka di masa depan jika tidak ditangani dengan baik sejak dini.


Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) oleh Kementerian Kesehatan tahun 2018 menunjukkan prevalensi rumah tangga dengan anggota menderita gangguan jiwa skizofrenia meningkat dari 1,7 permil pada 2013 menjadi 7 permil di tahun 2018.


Gangguan mental emosional pada penduduk usia di bawah 15 tahun, juga naik dari 6,1 persen atau sekitar 12 juta penduduk (Riskesdas 2013) menjadi 9,8 persen atau sekitar 20 juta penduduk. Kondisi ini diperburuk dengan adanya Covid-19. Sejumlah laporan menunjukkan adanya tren peningkatan masalah gangguan kesehatan jiwa sebagai dampak dari pandemi.


Survei terbaru I-NAMHS (Indonesia National Adolescent Mental Health Survey) tahun 2022 menemukan, sekitar 1 dari 20 atau 5,5 persen remaja usia 10-17 tahun didiagnosis memiliki gangguan mental dalam 12 bulan terakhir, biasa disebut orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Sementara, sekitar sepertiga atau 34,9 persen memiliki setidaknya satu masalah kesehatan mental atau tergolong orang dengan masalah kejiwaan (ODMK).


Mengacu pada data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), jumlah penduduk Indonesia per 31 Desember 2022 mencapai 277,75 juta jiwa dan didominasi remaja. Paling banyak adalah penduduk berusia 10-14 tahun, yakni 24,5 juta jiwa, sedangkan penduduk di rentang usia 15-19 tahun sebanyak 21,7 juta jiwa.


Jika ditotal, jumlah remaja berusia 10-19 tahun mencapai 46,2 juta jiwa. Maka, dengan persentase survei di atas jumlah remaja yang tergolong ODGJ sebanyak 2,54 juta orang dan 16,1 juta remaja tergolong ODMK. Angka ini tergolong sangat besar.


Amirah Ellyza Wahdi, peneliti dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (FKKMK-UGM) yang terlibat dalam I-NAMHS mengatakan, ”Survei ini pertama kali dilakukan, sebagai bagian dari penelitian internasional.”


Survei ini merupakan kerja sama para peneliti FKKMK-UGM dengan The University of Queensland, Australia, dan Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health, Amerika Serikat. Para peneliti dari Indonesia, Australia, dan Amerika Serikat (AS).


Hasil survei menemukan, gangguan cemas merupakan gangguan mental yang paling banyak dialami oleh remaja, mencapai 26,7 persen. Berikutnya, masalah terkait pemusatan perhatian dan/atau hiperaktivitas mencapai 10,6 persen, depresi 5,3 persen, masalah perilaku 2,4 persen, dan stres pascatrauma 1,8 persen.


Beberapa remaja juga melaporkan kecenderungan perilaku bunuh diri dalam 12 bulan terakhir. Di antara keseluruhan sampel, 1,4 persen melaporkan bahwa mereka memiliki ide bunuh diri, 0,5 persen telah membuat rencana untuk bunuh diri, dan 0,2 persen melaporkan bahwa mereka telah mencoba melakukan percobaan bunuh diri dalam 12 bulan terakhir 


Sebanyak 0,4 persen remaja melaporkan bahwa mereka pernah mencoba bunuh diri selama hidupnya. Masyarakat global terus mengalami perubahan dan kerap kali menghasilkan fenomena-fenomena sosial baru. Salah satu hal baru yang tampak menonjol adalah kesadaran dari Generasi Z atau Gen Z mengenai kesehatan mental. Hal ini dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan oleh American Psychological Association (APA) pada tahun 2019. Pertama, penelitian tersebut menemukan bahwa Gen Z di Amerika Serikat, secara signifikan, memiliki kemungkinan lebih tinggi dalam melaporkan permasalahan pada kondisi mental mereka, dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya. 


Kedua, penelitian tersebut juga menemukan bahwa lebih banyak dari Gen Z, dibandingkan generasi-generasi sebelumnya, yang melaporkan bahwa mereka telah atau sedang menerima pertolongan profesional untuk kesehatan mental mereka. Kesadaran Gen Z mengenai kesehatan mental ini dapat ditemukan dalam percakapan sehari-hari mereka, baik dalam kehidupan nyata maupun di media sosial. Dalam kaitannya dengan media sosial, hal ini bukanlah sesuatu yang mengherankan sebab Gen Z lahir dan dibesarkan dengan kehadiran internet.


Penulis menyepakati tulisan Garnham (2022) yang menekankan bahwa kesadaran Gen Z mengenai kesehatan mental bukanlah sekadar tren melainkan karakter dari generasi tersebut. Tulisan ini memuat dua hal kunci terkait peran Gen Z dalam mentransformasi masa depan masyarakat global. Pertama, posisi Gen Z sebagai generasi muda kedua setelah Gen Alpha (Garnham, 2022). Kedua, kemahiran Gen Z sebagai native digital dalam menggunakan media sosial. Kedua hal ini memiliki potensi pengaruh dalam membentuk kesadaran masyarakat global mengenai kesehatan mental. 


Bahwa Gen z cenderung lebih merasa tertekan akan suatu hal ketika di dorong atau ditekan dengan suatu dorongan perkataan mereka sangat tidak menyukainya, terlebih lagi dengan comparing atau perbandingan dimana Gen z sangat tidak menyukai jika mereka di banding-bandingkan.


Di akhir dialog juga mengingatkan kepada teman-teman Pro 2 terkait antisipasi sedini mungkin, ketika anda lagi punya masalah tidak usah malu untuk langsung berkonsultasi dengan pakar kesehatan yang berkompeten dibidangnya seperti Psikolog.


Ia juga mengingatkan bahwa tetap menjadi diri sendiri saja dalam artian berdamai dengan diri sendiri baik dari segi latar belakang keluarga maupun penampilan fisik dan lain-lain. Sebenarnya, anak-anak, remaja, dan orang dewasa Gen Z menghadapi banyak penyebab stres yang sama seperti generasi sebelumnya. Namun, mereka mungkin mengalami versi yang lebih intens, terutama mengingat banyaknya berita dan media sosial.


Tantangan kesehatan mental di kalangan generasi ini sangat memprihatinkan. Seperti mengapa Gen Z lebih terpengaruh oleh stres dan depresi selama pandemi? Tentu saja, mereka mengalami masa dewasa pada saat masa depan tampak tidak pasti bagi mereka. Sementara generasi yang lebih tua mungkin memiliki lebih banyak perspektif dan pengalaman yang memungkinkan mereka untuk mengatasi perubahan. 


Alasan lain Gen Z dianggap memiliki mental yang lebih lemah adalah karena kebutuhan sosial yang tidak terpenuhi, termasuk pendapatan, pendidikan tinggi, pekerjaan, makanan yang lebih baik, perumahan mewah, transportasi yang nyaman, dukungan sosial, keamanan, dan lain-lain. 


Gen Z tumbuh dewasa di era media sosial. Di satu sisi, hal ini memudahkan komunikasi dengan banyak orang, dan mendekatkan yang jauh. Namun, di sisi lain, dampak negatifnya cukup signifikan bagi kesehatan mental mereka. Saking bergantungnya pada media sosial, Gen Z sering terpaku pada pembaruan konstan ini di Instagram, Facebook, dan platform lain. Mereka melihat betapa indahnya kehidupan orang lain melalui postingan foto atau video. Ini adalah sumber depresi, kecemasan, kebencian diri bagi banyak orang akhir-akhir ini. 


Media sosial juga membuat Gen Z mengalami overstimulasi. Di dunia nyata, mereka telah sibuk dengan pekerjaan, tugas dan PR, tapi fokus mereka juga terbagi pada media sosial. Hal ini dapat menghabiskan sebagian besar sumber daya kognitif mereka, tidak menyisakan sedikit pun untuk fokus pada orang lain dan bahkan diri sendiri.[] 


Pengirim :

Ilham Tri Pangestu, alamat domisili Jln. Musyawarah (Ki hajar Dewantara) Ciputat Sawah Lama Kec. Ciputat Tangerang Selatan RT03/RW04 No 82, Email : ilhampangestu145@gmail.com

×
Berita Terbaru Update