Eta Jois Neda (Foto : IST) |
Perbincangan masalah harta gono-gini sering menjadi perbincangan public, terutama media massa dalam kasus penceraian. Perkara penceraian yang menjadi pokok perkara justru akan semakin rumit dan berbelit-belit bahkan sering memanas dalam sidang-sidang penceraian di pengadilan bila dikaitkan dengan tuntutan pembagian harta gono-gini atau harta bersama.
Pada umumnya bahwa perkara harta gono-gini ditunjukan untuk membuktikan bahwa sejumlah harta benda yang digugat benar-benar berstatus sebagai harta bersama, sehingga pembagiannya dapat dikenai porsi masing-masing. Pembuktian atas status harta gono-gini merupakan konsekwensi yuridis dari pasal 35 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatakan bahwa , “ Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”.
Ketentuan tentang gono-gini sudah jelas dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia, bahwa harta yang boleh dibagi secara bersama bagi pasangan suami istri yang bercerai adalah hanya terbatas pada harta gono-gini atau harta bersama sepanjang tidak ditemukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Pengaturan harta gono-gini diakui secara hukum, termasuk dalam pengurusan, penggunaan, dan pembagiannya. Ketentuan mengenai harta gono-gini juga diatur dalam hukum islam meskipun hanya bersifat umum dan tidak diakuinya pencampuran harta kekayaan suami istri.
Dalam pasal 37 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tidak menegaskan berapa bagian masing-masing antara suami dan istri, baik cerai mati maupun cerai hidup, tetapi dalam kompilasi hukum islam pasal 96 dan 97 mengatur tentang pembagian syirkah baik cerai hidup maupun cerai mati, yaitu masing-masing mendapatkan separo dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan dalam perjanjian kawin.
Dalam proses persidangan dan pelaksanaan pembagian harta bersama diawali dengan proses persidangan yang dapat memberikan suatu gambaran yang jelas terhadap suatu peristiwa yang terjadi di persidangan sehingga hakim dapat menemukan bukti-bukti untuk dijadikan pertimbangan dalam menjatuhkan putusan dalam pelaksanaan pembagian harta bersama.
Proses pemeriksaan perkara penceraian dalam pembagian harta bersama dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut: Mediasi, Pembacaan gugatan, Jawaban gugatan, Replik penggugat, Duplik tergugat, Pembuktian, Kesimpulan dan Putusan hakim.
Semua perkara yang diterima di Pengadilan Agama terjadi karena adanya suatu sengketa antara para pihak yang satu dengan pihak yang lainnya, hal ini terjadi karena pihak satu dengan pihak lainnya merasa adanya suatu hak yang di langar oleh pihak lainnya sehingga salah satu pihak mengajukan gugatan di Pengadilan Agama, maka Pengadilan Agama sesuai dengan ketentuan Undang-undang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 jo Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 Pengadilan Agama mempunyai kedudukan untuk memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara yang masuk di Pengadilan Agama termasuk pembagian harta bersama.[]
Pengirim :
Eta Jois Neda, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung, email : etajoisneda037@gmail.com