Bagas Ferdinan (Foto : IST) |
Pulau Bangka-Belitung (Babel) adalah salah satu daerah di Indonesia yang kaya akan sumber daya alam, terutama biji timah. Penambangan laut di Babel telah menjadi kegiatan ekonomi utama selama berabad-abad. Dengan pertumbuhan industri global, permintaan akan logam seperti timah terus meningkat, mendorong eksplorasi dan eksploitasi tambang di lepas pantai. Namun, aktivitas penambangan laut ini telah menimbulkan banyak masalah lingkungan seperti kerusakan terumbu karang, degradasi habitat laut, dan dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat pesisir yang bergantung pada sumber daya laut untuk keberlangsungan hidup mereka.
Meskipun penambangan laut di Babel memberikan manfaat ekonomi bagi daerah tersebut, perlu dilakukan penilaian menyeluruh terhadap dampak lingkungan dan sosialnya. Pengelolaan yang berkelanjutan dan berbasis pada ilmu pengetahuan serta partisipasi masyarakat lokal sangat diperlukan untuk meminimalkan dampak negatifnya dan menjaga keberlanjutan ekosistem laut di sekitar Pulau Bangka-Belitung.
Namun dalam hal ini terjadi permasalahan antara masyarakat dengan perusahaan pertambangan yang menimbulkan konflik. Pada kasus penolakan keras masyarakat berkaitan dengan dampak kerusakan lingkungan yang mengancam mata pencaharian nelayan maupun masyarakat setempat seperti keruhnya air laut yang mempenngaruhi visualisasi dari nelayan dan berkurangnya minat wisatawan pengunjung yang menyebabkan berkurangnya pendapatan dari pada masyarakat pesisir saat tambang beroperasi dan yang akan datang. Ini akibat dari tidak adanya reklamasi laut yang tersistematik.
Untuk para pekerja penambang tersebut juga memilki keluhan, jika mereka tidak melakukan pekerjaan tersebut berdampak pada hilangnya pendapatan yang mereka miliki, hal ini menyebabkan dilema antara masyarakat pesisir yang menolak keras aktivitas pertambangan dan para pekerja dari perusahaan pertambangan tersebut.
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2023 Tentang Wilayah Pertambangan telah mengatur mengenai izin pertambangan bagi rakyat dan perjanjian antara pemerintah dengan perusahaan berbadan hukum Indonesia untuk melakukan kegiatan penambangan di laut kemudian telah diatur wilayah pertambangan rakyat serta wilayah KK dan PKP2B yang disebut sebagai wilayah tempat berlangsung nya kegiatan usaha pertambangan oleh pemerintah dengan perusahaan berbadan hukum.
Menurut opini saya, guna menengahi konflik, perusahaan tambang seharusnya melibatkan masyarakat dalam siklus pertambangan, diantaranya dengan memperkerjakan warga lokal hingga memberikan bantuan sukarela berupa uang tunai.
Untuk itu pemilik IUP khusus nya perusahaan yang terlibat dan Pemerintah sebagai pemberi izin diharapkan dapat berperan dalam meredam dan ikut serta dalam penyelesaian konflik yang terjadi,untuk pemerintah juga agar lebih dapat memberikan solusi tentang akibat yang ditimbulkan pertambangan laut dan masyarakat diharapkan dapat ikut serta berdialog bersama pemerintah dan perusahaan agar aktivitas pertambangan laut yang ideal dapat terealisasikan.[]
Pengirim :
Bagas Ferdinan, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung, email : bagasferdinand030@gmail.com