Priska Amelia (Foto : IST) |
Hukum agraria adalah sekelompok cabang hukum yang berbeda, yang masing-masing mengatur hak penguasaan atas sumber daya alam tertentu. Berbagai bidang hukum ini meliputi hukum pertanahan, hukum air, hukum pertambangan, dan lain-lainnya. Namun kenyataannya masih banyak oknum yang diuntungkan dengan kondisi ini lemahnya penegakan hukum sehingga menyebabkan meningkatnya sengketa pertanahan.
Sengketa pertanahan tidak bisa dihindari pada saat ini, selain karena lemahnya kepolisian, dan juga hal ini disebabkan oleh tingginya kebutuhan akan tanah pada saat ini, di saat jumlah bidang tanah yang sedikit atau terbatas. Tanah memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia sehingga diatur dalam konstitusi Indonesia. Dari sudut pandang kehidupan manusia atau masyarakat, bumi memegang peranan yang sangat penting, karena pada hakikatnya terdapat hubungan abadi antara manusia dengan bumi.
Dalam hal ini dapat digambarkan bahwa hubungan manusia dengan bumi sangatlah begitu erat, karena bumi merupakan ibu kota kehidupan bagi manusia. Secara singkat tanah sengketa yaitu tanah yang kepemilikannya diperebutkan oleh kedua bela pihak yang saling memperebutkan kepemilikan atas tanah tersebut. Perencanaan dan pemanfaatan lahan harus meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan terutama kepastian hukumnya.
Sehingga faktor-faktor ini sangat dominan ke dalam semua sengketa pertanahan, di karenakan peraturan tidak sempurna, tidak patuh dan kurangnya respon dari otoritas pertanahan serta integritas dan kuantitas lahan yang ada. Dengan informasi yang tidak akurat, Informasi pertanahan yang tidak lengkap dan tidak jelas, keterbatasan sumber daya untuk menyelesaikan sengketa pertanahan, ketidak akuratan transaksi pertanahan, tindakan hukum yang dilakukan oleh pemohon dan perbandingan dengan pihak berwenang lainnya.
Sengketa pertanahan di Indonesia biasanya berkaitan dengan perjanjian kepemilikan tanah, peralihan hak, peralihan hak dan penguasaan atas tanah yang sebelumnya merupakan milik pribadi. Mediasi merupakan alternatif penyelesaian sengketa pertanahan di luar pengadilan yang mengutamakan proses musyawarah untuk mencapai mufakat atau kesepakatan, waktu penyelesaian sengketa, cara yang terstruktur, orientasi tugas dan partisipasi aktif.
Proses atau rencana para pihak untuk mengadakan perjanjian dan melaksanakan kontrak mengacu pada tindakan yang dilakukan para pihak untuk melaksanakan perjanjian dan mengakhiri perselisihan. Sebab pada hakikatnya suatu bentuk kontrak antar para pihak – pihak adalah suatu perjanjian antara para pihak yang sah dan sah bagi yang menandatanganinya.
Terlepas dari apakah mediasi tersebut merupakan hasil akhir dari mediasi, Badan Pertanahan menganggap penyelesaian sengketa dan sengketa pertanahan terkait dengan pelaksanaan ini telah selesai, dan perkara tersebut dikeluarkan dari daftar pengaduan. Jika sengketa tersebut menyangkut wilayah pedesaan tidak sah maka menurut Undang-Undang Larangan Penggunaan Tanah No. 51 (1960).
Tanpa adanya kewenangan yang sah, kontrak atau wakil-wakilnya diajukan ke pengadilan perdata atau pidana umum sehingga melalui pengadilan tata usaha negara. Dari segi hukumnya, permasalahan pertanahan tidaklah mudah untuk diselesaikan dan dalam beberapa kasus tidak jarang, banyak pihak yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam permasalahan atau sengketa tersebut di muka pengadilan.
Pemahaman terhadap konsep ini diperlukan untuk membentuk kesamaan pemahaman yang berujung pada pengambilan keputusan yang wajar dan adil bagi para pihak pencari keadilan. Penyelesaian sengketa pertanahan melalui pengadilan dapat memakan banyak biaya untuk menyelesaikan sengketa pertanahan. Faktanya, biaya hukum bisa lebih besar dibandingkan harta benda yang disengketakan. Akibatnya, banyak yang menghindari litigasi. Pilihan lainnya adalah mengajukan pengaduan kepada kepala dewan daerah.[]
Pengirim :
Priska Amelia, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung, email : ameliapriska84@gmail.com