Menjadi Anak Rantau Bukan Berarti Tidak Memiliki Keluarga (Foto : IST) |
Menjadi anak rantau tetntu bukanlah hal yang mudah bagi kami anak muda. Merantau jauh dan meninggalkan keluarga dikampung halaman ternyata sangat berat. Banyak hal yang dikorbankan sebagai anak rantau. Banyak juga hal yang harus dipersiapkan bahkan dipaksakan pada diri sendiri. Contohnya saja, kesiapan mental kita untuk mampu beradaptasi dengan baik di lingkungan baru. Kesiapan untuk mandiri dan hanya mengandalkan diri sendiri. Ternyata menjadi anak rantau pun juga tidak seburuk yang saya pikirkan. Banyak hal-hal positif yang saya dapatkan. Seperti menjadi lebih mandiri, mampu mengontrol diri, menjaga pergaulan, mendapatkan teman baru, dan bertemu teman-teman rantau minang lainnya.
Menempuh pendidikan di IPB University sangat lah berat, bukan berat karena tugasnya. Melainkan berat karena harus mampu menjalani hari-hari jauh dengan keluarga dan harus mandiri. Namun untuk dapat menuntut ilmu dan mendapatkan ilmu saya rela menempuh jalan sebagai anak rantau di Kota Bogor.
Pada pagi hari yang cerah, Bogor, Jumat 8 Februari 2023. Saya Arsy, akan melakukan kegiatan makrab FAMILI. FAMILI merupakan sebuah organisasi mahasiswa minang vokasi IPB University yang dimana beranggotakan seluruh mahasiswa dan mahasiswi yang berasal dari Sumatera Barat. Organisasi Mahasiswa Daerah FAMILI ini menjadi keluarga ke 2 perantau Minang di Bogor. Dimana omda ini menjadi tempat berkeluh kesah kami selama menjadi mahasiswa. Untuk menjalin silaturahmi yang kuat antar sesama anggota FAMILI, omda kami mengadakan kegiatan MAKRAB (Malam Keakraban) di Vila Rumah Gunung, Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Pagi itu, ketika mentari mulai menyapa dengan hangatnya, saya sudah bersiap-siap sejak pukul 6.00 pagi. Langkah saya membawa langkah yang penuh semangat menuju ke PCB kampus Vokasi IPB. PCB menjadi titik kumpul yang sudah ditetapkan untuk keberangkatan makrab kami. Di sanalah kami, para anggota FAMILI, akan memulai petualangan bersama yang penuh makna.
Saat tiba di PCB, saya disambut oleh keramaian dan tawa riang dari teman-teman seperjuangan dan adik tingkat saya. Mereka sudah berkumpul, menunggu dengan penuh antusiasme. Bersama dengan teman baik saya, Zahra, kami berdua bertanggung jawab sebagai panitia keberangkatan makrab. Kami bertugas untuk memastikan semua anggota kelompok sudah berkumpul dengan baik dan siap untuk memulai perjalanan bersama.
Saya dan Zahra langsung mengatur dan melakukan absen pada peserta makrab, kami mendata setiap peserta yang akan menaiki angkot yang sudah ditetapkan. Namu, masih terdapat beberapa peserta yang belum hadir di lokasi. Saya dan Zahra mencoba untuk menghubungi peserta tersebut. Dalam satu angkot terdapat 9-10 peserta. Pada pukul 07.00 WIB angkot yang kami rental sudah sampai di lokasi titik kumpul. Lalu kami mulai mengarahkan para peserta untuk menaiki angkot masing-masing. Sekitar 10 menit kami masih menunggu beberapa peserta yang belum hadir, kami juga kembali mencoba menghubungi peserta tersebut, namun tidak diangkat dan tidak ada konfirmasi sama sekali.
Saya menyarankan kepada Zahra untuk menunggu peserta tersebut hingga pukul 07.30 WIB, dan Zahra menyetujui hal tersebut. Kami berkoordinasi dengan panitia lainnya melalui Wa grub, bahwa keberangkatan peserta akan terlambat, kami juga menjelaskan kronologi yang terjadi di lokasi kumpul, dan kami memberi instruksi kepada panitia yang lain untuk berangkat terlebih dahulu menuju vila. Karena jarak tempuh yang hamper memakan waktu kurang lebih 1 (satu) jam, dan ditambah lagi dengan kemacetan menuju arah puncak.
Sudah 30 menit saya dan Zahra menunggu kedangan peserta tersebut, tetapi ternya mereka tak kunjung muncul, kami mencoba Kembali untuk menghubungi mereka satu per satu. Namun tidak ada jawaban dan konfirmasi sama sekali. Para sopir angkot juga terlihat mulai bosan dan sedikit protes karena keterlambatan keberangkatan. Mereka memberi tahu bahwa akan ada biaya tambahan jika lewat dari pukul 7.35 WIB. Kemudian saya berdiskusi dengan Zahra untuk segera berangkat, dan menjelaskan konsekuensi untuk para peserta yang tidak hadir tanpa konfirmasi sedikit pun. Lalu Zahra menyetujui usulan saya, saya langsung bergegas menuju angkot yang akan saya tumpangi, angkot tersebut hanya berisi 3 orang peserta dan 1 panitia, serta diisi dengan barang-barang keperluan saat di vila.
Saat angkot mulai berjalan, saya mengajak 3 orang peserta ini untuk berkenalan. Didalam angkot tersebut terdapat Dea, Rara, dan Fikri. Mereka berasal dari Payakumbuh dan Solok Selatan, dimana daerah tersebut tidak terlalu jauh dari daerah tempat tinggal saya. Saya bertanya pada Dea, apa yang membuat Dea ingin kuliah di IPB. Dea menjawab “awalnya Dea ga ada keinginan untuk masuk IPB, namun karena melihat seniornya yang kuliah di IPB, Dea memiliki keinginan dan ketertarikan pada prodi MAB. Akhirnya Dea coba untuk mendaftar di IPB lewat jalur SNBP, dan Allhamdulillah Dea lolos. Sempat terjadi perdebatan dengan orang tua untuk merantau ke Bogor, namun Dea bisa meyakinkan orang tua Dea, kalau Dea bisa menjaga diri dan akan baik-baik saja di rantau”, ujar Dea.
Lalu saya juga menanyakan hal yang sama pada Rara, rara menjawab “Rara masuk IPB karena keinginan sendiri dan dapat dukungan penuh dari orang tua, serta di Bogor juga terdapat keluarga Rara, jadi orang tua Rara tidak perlu khawatir”, ujar Rara.
Dan saya juga menanyakan hal yang sama pada Fikri, kata Fikri “Masuk IPB itu plot twist banget, soalnya cuma coba-coba masuk IPB dan pilih-pilih jurusan ehh lolos beneran. Bener-bener hoki setahun sekali kepake ini hahahaha”. Saya pun ikut tertawa, karena cerita saya masuk IPB pun sama seperti Fikri, hanya coba-coba dan ternyata lulus beneran. Karena, kita berpikiran dan merasa tidak mungkin bisa kuliah di IPB University. Lalu kami juga saling bercerita bagaimana kehidupan sebagai anak rantau. Jadi anak rantau ternyata tidak semudah yang kami bayangkan saat SMA, menjadi anak rantau harus mempunyai mental yang kuat, mandiri, mampu menjaga diri, dan bisa bersosialisasi dengan baik. Banyak culture shock yang kami rasakan selama di Bogor, terutama mengenai pergaulannya. Tetapi kami, sebagai anak rantau mampu untuk memilah mana pergaulan yang baik dan buruk.
Tidak terasa, kami telah menempuh setengah perjalanan menuju lokasi makrab, namun situasi di jalan menuju vila begitu padat sehingga terjadi kemacetan di beberapa titik. Keheningan mulai menyelimuti kami, ditambah dengan cuaca yang sangat panas membuat kami memutuskan untuk beristirahat sejenak dalam perjalanan. Saya sendiri pun merasa lelah, karena saya baru tidur jam 2 malam untuk mengurus segala keperluan makrab, jadi saya memutuskan untuk tidur sejenak agar saat sampai di lokasi makrab saya tidak terlalu mengantuk.
Setengah jam kemudian, kami sampai di lokasi makrab, yaitu Vila Gunung. Saya sangat kagum dengan pemandangan vila tersebut, sangat asri dan nyaman. Kami adalah rombongan terakhir yang sampai di lokasi karena terjebak macet. Sesampainya di lokasi, saya dan terman-teman langsung menurunkan barang dari angkot. Saya memastikan tidak ada lagi barang yang tertinggal didalam angkot. Setelah semuanya aman, saya mengucapkan terima kasih kepada supir angkot dan memutuskan untuk masuk kedalam vila, lalu menata barang-barang saya di kamar. Setelah itu saya bergegas untuk latihan MC di aula bersama rekan saya Fajar, karena kami ditunjuk untuk memandu jalannya acara, dari hari pertama makrab hingga hari terakhir.
Sangat menyenangkan bagi saya selama perjalanan menuju vila karena saya memiliki kesempatan untuk berkenalan lebih dekat dengan Dea, Rara, dan Fikri. Kami tidak hanya sekedar berkenalan, tetapi juga saling berbagi cerita dan pengalaman hidup kami. Saya sangat bahagia bisa menghabiskan waktu bersama mereka dan merasa senang bisa memperluas lingkaran pertemanan.
Kami juga sempat bertukar kontak dan saling mengikuti akun media sosial satu sama lain. Hal ini membuat kami tetap terhubung dan dapat mempererat ikatan persahabatan yang baru saja terjalin. Ini adalah salah satu momen berharga yang akan selalu saya kenang dari perjalanan makrab ini.
Ternyata hidup dirantau bukanlah suatu hal yang buruk, disini saya belajar banyak tentang arti kekeluargaan yang sebenarnya. Bagaimana berkenalan dengan orang baru, menjaga keharmonisan hubungan dan saling merangkul satu sama lain. Bagi saya sendiri omda FAMILI merupakan keluarga kedua saya di rantau, mereka mampu saling menguatkan satu sama lain dan saling support. Saya berharap kedepannya omda FAMILI mampu merangkul lebih banyak lagi anak rantau minang berikutnya.[]
Pengirim :
Siti Ainun Arsy, Mahasiswa Program Studi Komunikasi Digital dan Media, Sekolah Vokasi IPB University, email : sitiarsy1206@gmail.com