Foto : ILUSTRASI (joglojateng.com) |
Lingkungan hidup yang sehat adalah tonggak kehidupan yang dapat mempengaruhi kesejahteraan masyarakat. Negara Indonesia secara eksplisit telah menegaskan makna pentingnya lingkungan hidup yang sehat dalam menjunjung kesejahteraan masyarakat seperti yang diamanatkan pada Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal tersebut menegaskan bahwa setiap individu diberikan hak oleh negara untuk menikmati lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Berdasarkan hukum yang telah diberlakukan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik mendefinisikan pelayanan publik sebagai kegiatan atau serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan sesuai dengan hukum yang berlaku bagi seluruh warga negara dan penduduk, baik dalam bentuk barang, jasa, atau pelayanan administratif, yang diberikan oleh penyelenggara pelayanan publik. Jika suatu pelayanan dianggap pelayanan publik, maka pemerintah suatu negara wajib untuk bertanggung jawab dalam mengalokasikan anggaran atau subsidi untuk menyediakan pelayanan tersebut.
Sampah merupakan salah satu isu lingkungan yang sudah diatur dalam UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, mewajibkan bagi pemerintah dan pemerintah daerah untuk memberikan layanan publik dalam pengelolaan sampah yang dibagi menjadi dua kegiatan inti, yaitu mengurangi volume sampah dan mengelola sampah. Akan tetapi, dalam praktiknya, upaya pengelolaan sampah yang dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah di berbagai wilayah Indonesia masih jauh dari yang diamanatkan dan belum bisa dikatakan sebagai pengelolaan sampah yang baik.
Salah satu contoh isu pengelolaan sampah yang belum baik ada di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dimana akhir-akhir ini sedang dihadapkan dengan permasalahan yang serius terkait penumpukan sampah di jalanan sebagai dampah penutupan Tenpat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan. Penutupan TPA ini didasarkan pada kesepakatan bersama antara Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kartamantul karena lokasi zona TPA Piyungan yang digunakan sebagai tempat perjalanan terakhir sampah masyarakat sudah melebihi kapasitas yang dapat ditampung, sehingga tidak memungkinkan untuk melayani pelayanan sampah sebesar 700 ton per hari.
Akibat dari ditutupnya TPA Piyungan bagi masyarakat jogja adalah mereka harus mengelola sampahnya secara mandiri karena tidak memiliki akses untuk membuang sampah mereka. Hal ini menyebabkan sebagian besar masyarakat memilih untuk membuang sampahnya di jalanan, seperti yang sempat viral belakangan ini pada ruas jalan kotabaru karena tiadanya alternatif tempat lain untuk membuang sampah. Hal ini tentunya dapat menyebabkan polusi visual yang tidak sedap dipandang dan pencemaran lingkungan karena air lindi yang dihasilkan oleh sampah dapat merusak kualitas tanah dan mencemari air yang dapat membawa berbagai penyakit . Di sisi lain, banyak masyarakat yang lebih memilih untuk membakar sampah mereka yang justru menimbulkan permasalahan baru ,yaitu pencemaran polusi pada udara yang dapat menurunkan kualitas udara dan menyebabkan gangguan pada pernapasan.
Potret tumpukan sampah yang menggunung di kawasan Kotabaru, Selasa (10/10 – 2023).
Saya memilih topik mengenai pelayanan pengelolaan sampah di Yogyakarta karena pengelolaan sampahnya yang kurang optimal memiliki dampak berbahaya sehingga dapat berpengaruh kepada penurunan kesejahteraan masyarakat. Hal ini terkait dengan pencemaran lingkungan yang disebabkan karena tidak terkelolanya sampah dengan tepat yang pada ujungnya dapat menyebabkan berbagai penyakit dan gangguan lainnya. Permasalahan ini memerlukan perhatian pemerintah dalam mengelola pelayanan terkait pengelolaan sampah untuk mengatasi permasalahan dan mewujudkan amanat undang-undang dasar, yaitu masyarakat berhak mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat.
Permasalahan sampah di Jogja yang terus berlanjut dari tahun ke tahun dan tidak kunjung selesai memerlukan tindakan konkret dari pemerintah khususnya bagi 3 daerah penyumbang volume sampah TPA Piyungan, yaitu Bantul, Sleman dan Kota Yogyakarta untuk dapat diselesaikan. Gubernur Daerah Istimewa istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X menyatakan pandangannya mengenai penutupan sementara TPA Piyungan. Sultan menyatakan bahwa penutupan ini memberikan "dorongan" bagi kabupaten dan kota untuk lebih aktif dalam melayani pengelolaan sampah. Menurutnya, aktivitas di rumah tangga dan pemerintah kabupaten dan kota seharusnya telah berusaha mengurangi beban di TPA Piyungan. Namun, yang sering terjadi adalah mereka lebih suka mengangkut sampah dan mengirimkannya ke Piyungan tanpa pernah benar-benar meningkatkan kesadaran akan hal ini.
Pemerintah serta perangkat daerah khususnya Dinas Lingkungan Hidup sebagai penyelenggara pelayanan pengelolaan sampah sudah harus mulai berbenah dan mencari solusi dalam menyelesaikan permasalahan pengelolaan sampah. Salah satu tindakan yang dapat dilakukan adalah melalui penguatan penerapan konsep Dynamic Governance pada penyelenggaraan pelayanan dalam menghadapi suatu permasalahan. Dynamic Governance merupakan suatu praktik serta mekanisme tata kelola pemerintahan dengan cepat dan mudah beradaptasi dengan keadaan yang sedang terjadi dan berkembang. Dengan Dynamic Governance, diharapkan mampu beradaptasi dengan ketidakmenentuan serta perubahan lingkungan yang cepat, sehingga kebijakan, lembaga, dan kerangka kerja tetap relevan.
Neo dan Chen (2007) mengemukakan bahwa dasar dari dynamic governance adalah budaya kelembagaan dalam sebuah negara yang tercermin melalui tiga aspek kemampuan/kapabilitas dinamis, yaitu berpikir ke depan (thinking ahead), berpikir kembali (thinking again), dan berpikir secara lateral horizontal (thinking across).
1. Thinking Ahead
Thinking Ahead memiliki arti berpikir ke depan merupakan kemampuan untuk merencanakan dan mempertimbangkan implikasi jangka panjang dari tindakan ataupun keputusan saat ini. Menurut pendapat Lewis, Carol W dan Stuart C. Gilman (2005), berpikir ke depan bukan sekadar melakukan prediksi mengenai masa depan yang penuh ketidakpastian dan merencanakannya secara formal, melainkan lebih pada bagaimana cara menginspirasi orang untuk berpikir secara strategis. Hal ini bertujuan agar mereka dapat merencanakan langkah-langkah dalam membangun masa depan yang lebih rasional dan tak sesuai dengan perkiraan biasa.
Dalam merealisasikannya, pemerintah daerah dapat berkolaborasi dan menggaet masyarakat dengan menggalakkan program sosialisasi mengenai pengelolaan sampah. Dengan dimulainya pengelolaan sampah dari tingkatan yang terkecil, yaitu rumah tangga, diharapkan jumlah sampah yang dibuang ke TPA bisa diminimalisir. Di samping itu, kesadaran masyarakat mengenai pentingnya mengelola sampah dapat terbentuk dan secara otomatis tertanam mindset untuk selalu mengelola sampah secara mandiri dan kelak akan mengajarkannya ke anak cucu mereka.
2. Thinking Again
Thinking Again memiliki makna meninjau kembali merupakan kemampuan kritis untuk mengkaji kembali mengenai kebijakan, program, pemikiran, sudut pandang, strategi, ataupun keputusan yang telah diambil sebelumnya. Hal ini memungkinkan adanya penyesuaian,perbaruan dan restrukturisasi untuk mendapatkan hasil yang lebih efektif. Menurut Neo dan Chen (2007:36), Thinking Again merupakan suatu kapabilitas lembaga dalam menggunakan berbagai data yang aktual, pengukuran, informasi serta umpan balik terkait masalah yang dapat mengganggu kinerja dan juga mengevaluasi beragam program serta kebijakan dari masa lalu guna mencari cara untuk memperbaiki kinerjanya.
Dalam pelaksanaannya, pemerintah perlu untuk selalu mengkaji kembali mengenai tindakan ataupun kebijakan yang diberikan. Seperti halnya apa yang sudah disampaikan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X bahwasanya pemerintah daerah hanya mengandalkan TPA Piyungan sebagai tempat pembuangan sampah satu-satunya tanpa meningkatkan kesadaran mengenai dampak yang akan dihadapi. Seharusnya pemerintah daerah dengan kemampuan kritisnya bisa mencari alternatif lain dan meminimalisir volume sampah yang diangkut ke TPA, contohnya dengan memperbanyak fasilitas Tempat Pembuangan Sampah (TPS) 3R dan Tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) yang diharapkan bisa mengurangi jumlah sampah yang dibuang ke TPA Piyungan sesuai dengan himbauan sultan.
3. Thinking Across
Thinking Across adalah kapabilitas untuk mengimplementasikan pemikiran, pandangan, dan gagasan lain dari luar kerangka berpikir yang sudah ada dan menjadi dasar untuk melakukan perubahan. Melalui pembelajaran dari pengalaman dan cara berpikir orang lain dalam berinovasi untuk memperbaiki program, kebijakan atau strategi yang bertujuan meningkatan pelayanan kepada masyarakat. Pembelajaran dari pihak lain bukan hanya sebatas aspek teknis operasional, melainkan tentang cara yang digunakan oleh pihak atau organisasi lain mengatasi masalah serupa menggunakan cara yang berbeda, serta bagaimana mereka merencanakan program atau kebijakan yang sesuai dengan mempertimbangkan karakteristik masyarakat saat ini dan mencerminkan inovasi, kreativitas serta penyesuaian dengan perkembangan yang terjadi.
Dalam mengimplementasikannya, pemerintah dapat menilik bagaimana penerapan pelayanan pengelolaan sampah di daerah lain yang kemudian dapat diimplementasikan di jogja untuk mengatasi permasalahan sampah yang kian membludak. Contohnya di sini adalah melihat bagaimana pengeoperasian mesin refuse-derived fuel (RDF) di TPST Desa Tritih Lor, Kecamatan Jeruklegi, Cilacap, Jawa Tengah. RDF teknologi pengolahan sampah yang melalui tahapan homogenizers untuk mengubah sampah menjadi ukuran yang lebih kecil sehingga bisa mengubah sampah menjadi sumber energi terbarukan sebagai alternatif penggunaan batu bara. Hal ini diharapkan dapat memberikan gagasan baru bagi pemerintah untuk dapat mengimplementasikan hal yang serupa atau bahkan lebih unggul dari yang ada di cilacap.
Refuse Derived Fuel (RDF), sebuah fasilitas pengubah sampah jadi material pengganti batu bara, di Tritih Lor, Cilacap, Jawa Tengah. Dalam proses pelaksanaan ketiga kemampuan berpikir dinamis pada konsep dynamic governance, diperlukan peran aktif dari pemerintah dalam hal monitoring serta mengevaluasi kinerja pelaksanaannya untuk mengukur apakah berjalan sesuai yang diharapkan atau tidak. Contoh dari penerapan pengukuran kinerja di sini adalah dengan menggunakan survey kepuasan masyarakat. Dengan adanya survey ini, harapannya dapat mengetahui efektivitas dari sebuah program yang berjalan apakah sudah sesuai ekspektasi dari masyarakat atau belum.
Lingkungan yang baik dan sehat adalah hak bagi masyarakat Indonesia yang wajib dipenuhi oleh pemerintah. Dalam menyelenggarakan pelayanan publik khususnya dalam pelayanan pengelolaan sampah, pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta harus bisa merespon dengan cepat permasalahan yang terjadi serta menyajikan solusi yang adaptif untuk menyelesaikan permasalahan sampah yang sedang dihadapi. Salah satu pemikiran manajemen pelayanan yang bisa diterapkan oleh pemerintah DIY dalam menghadapi permasalahan sampah ini adalah dengan menggunakan konsep dynamic governance.
Dengan ketiga kapabilitas dinamis (thinking ahead, thinkin again, thinking acros). Dengan implementasi ketiga kapabilitas dinamis konseo dynamic governance pada tubuh pemerintahan, pemerintah diharapkan dapat menyediakan solusi yang adaptif bagi permasalahan yang sedang dihadapi. Di samping itu, diperlukan tahapan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan program yang dijalankan, seperti contohnya di sini dengan menggunakan survey kepuasan masyarakat untuk mengukur indikator keberhasilan dari program yang dijalankan.[]
Pengirim :
Muhammad Daffa' Aushaf Rafsanjani, Mahasiswa Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial, Hukum, dan Ilmu Politik Universitas Negeri Yogyakarta, email : muhammaddaffa.2022@student.uny.ac.id