Theresya Cleo Putri Lumbantoruan (Foto : IST) |
Anak adalah bagian warga Negara yang harus dilindungi, karena mereka merupakan generasi bangsa yang di masa depan akan melanjutkan Kepemimpinan bangsa Indonesia. Anak merupakan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam melewati harkat dan martabat sebagai manusia seluruhnya.
Dalam sistem pidana anak bahwa terhadap anak adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban dan anak yang menjadi Saksi dalam tindak pidana. Anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Anak yang menjadi korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas tahun) yang mengalami penderitaan fisik, mental dan kerugian ekonomi yang menyebabkan tindak pidana.
Anak yang menjadi Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas tahun) yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan proses hukum mulai tingkat penyidikan, penuntutan dan sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat dan dialami.
Kehidupan yang semakin kompleks dan beraneka ragam dari arus globalisasi menyebabkan pengaruh positif dan negatif terhadap kemajuan zaman yang diikuti oleh perubahan perilaku manusia. Perilaku negatif yang tidak sesuai dengan norma sosial dianggap sebagai masalah sosial oleh masyarakat. Perilaku yang melanggar norma ini tidak hanya bisa dilihat pada masyarakat dewasa, namun anak-anak pun tidak luput dari perilaku yang menyimpang dan tidak jarang melanggar hukum. Ada banyak faktor mengapa anak-anak melakukan tindakan kriminal sehingga melanggar hukum, bahkan tak sedikit anak-anak di bawah umur yang di penjara.
Sesuai dengan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, kemudian juga dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang seluruhnya mengemukakan prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu non-diskriminasi, kepangsungan hidup dan tumbuh kembang dan menghargai partisipasi anak.
Kasus-kasus Anak Bawah Umur (ABH) yang dibawa ke dalam proses peradilan adalah kasus-kasus yang sangat serius, itu juga selalu mengutamakan prinsip kepentingan terbaik bagi anak, serta proses penghukuman adalah jalan terakhir (Ultimum Remedium) dengan tetap tidak mengabaikan hak-hak anak.
Menurut PERMA 4 Tahun 2014 Musyawarah Diversi adalah musyawarah antara pihak yang melibatkan anak dan orang tua/wali, korban dan/atau orang tua/wakilnya, PEMBIMBING Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional, perwakilan dan pihak-pihak yang terlibat lainnya unruk mencapai kesepakatan diversi melalui pendekatan keadilan restoratif. Sedangkan Fasilitator adalah Hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan untuk menangani perkara anak yang bersangkutan.
Sistem peradilan pidana anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai dari penyelidikan sampai tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. Salah satu aturan yang mengatur peradilan pidana anak adalah UU Nomor 11 Tahun 2012. Mengacu pada undang-undang ini, diversi wajib diutamakan dalam sistem peradilan pidana anak. Hal tersebut untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan yang dapat mempengaruhi tumbuh kembangnya. Diversi dapat dilaksanakan jika tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di bawah tujuh tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Kasus ABH dapat diselesaikan melalui mekanisme non-formal yang didasarkan pada pedoman yang baku. Bentuk penanganan non-formal dapat dilakukan dengan diversi sebagaimana proses mediasi yang difasilitasi oleh penegak hukum pada setiap tingkat untuk mencapai keadilan restoratif yang dapat diselesaikan dengan mewajibkan anak yang berhadapan dengan hukum mengikuti pendidikan atau pelatihan pada lembaga tertentu, seperti berupa tindakan lainnya yang dilakukan dengan pemulihan bagi anak serta korban, ataupun jika terpaksa terjadi penghukuman hak-hak anak tidak boleh diabaikan. Sehingga pada akhirnya penanganan non-formal dapat terlaksana dengan baik jika diimbangi dengan upaya menciptakan sistem peradilan yang kondusif.
Adanya penerapan keadilan restoratif dan diversi yang diterapkan pada anak ini merupakan suatu wujud yang tepat dilakukan apabila dilihat dari perspektif viktimologi, bahwa dalam sebuah sistem peradilan pidana haruslah melibatkan korban sebagai orang yang mengalami langsung kejadian tindak pidana. Dilihat dari perspektif penologi sebagai ilmu yang mempelajari tentang pemidanaan, bahwa tujuan pemidanaan itu sendiri tidaklah mempertahankan status quo masa lalu yang menyiksa pelaku kejahatan sebagai konsekuensi dari kesalahan yang telah dilakukan.
Pemidanaan anak sebagai pelaku kejahatan ditinjau dari restorative justice yakni berdasarkan atas UU SPPA mengenal adanya diversi, yakni pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Permasalahan hukum dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia adalah tidak diaturnya lembaga atau komisi yang menangani permasalahan anak di Indonesia dalam UU SPPA untuk menangani seorang anak sebagai pelaku dari tindak kejahatan.[]
Pengirim :
Theresya Cleo Putri Lumbantoruan, Mahasiwa Universitas Bangka Belitung, email : theresyacleoputri@gmail.com