Notification

×

Iklan

Iklan

Tidak Ada Kata "Bodoh" Bagi Anak

Senin, 19 Juni 2023 | Juni 19, 2023 WIB | 0 Views Last Updated 2023-06-19T16:39:39Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Foto : ILUSTRASI

Salah satu mata pelajaran yang sering dijadikan standar kepintaran anak adalah matematika dan IPA. Anak yang menguasai dua pelajaran tersebut akan dikatakan sebagai anak yang cerdas, sedangkan anak yang kurang menguasai dicap sebagai anak bodoh. Begitulah statement yang selama ini diyakini oleh sebagian besar orang tua dan guru. Bahkan standar kepintaran juga dinilai dari peringkat sekolah yang didapat anak. 


Oleh karena standar ini, banyak orang tua yang berambisi pada anaknya. Mereka menuntut anak mereka untuk belajar lebih giat agar memperoleh nilai akademik yang tinggi dan mendapat peringkat di sekolah. Tak jarang para orang tua melakukan kekerasan fisik, seperti memukul apabila anak malas belajar. Waktu bermain anak juga  banyak dikurangi atau mungkin anak dilarang untuk main agar mereka fokus dalam belajar.


Guru-guru di sekolah juga cenderung bersikap lebih ramah dan dekat dengan anak yang cerdas menurut mereka. Tidak jarang mereka memarahi atau mengecap seorang anak bodoh hanya karena anak tersebut tidak bisa menjawab soal yang diberikan. Tuntutan tersebut tentu sangat memberatkan anak. Tuntutan untuk belajar keras akan membuatnya stress. Selain itu, ia akan lebih tertekan karena tidak memiliki waktu untuk sedikit bersantai dengan bermain bersama teman-temannya. Pengecapan anak bodoh yang dilakukan oleh guru juga akan membuat anak lebih terpuruk dan kehilangan motivasi dalam belajar.


Pelabelan kata bodoh bagi anak adalah perbuatan yang salah dan kasar karena sebenarnya setiap anak memiliki kecerdasan masing-masing yang tentu berbeda antara satu anak dengan anak lainnya. Seperti yang diketahui bahwa kecerdasan adalah kemampuan belajar dari  pengalaman dan ilmu yang beradaptasi dengan lingkungan. Sehingga tidak patut apabila tolak ukur kecerdasan seorang anak hanya dinilai dari kemampuan dan kecerdasan akademiknya. 


Kecerdasan seharusnya juga dilihat dari kemampuan-kemampuan lain yang dimiliki seorang anak seperti yang diungkapkan oleh Howard Gardner. Beliau mengatakan bahwa ada 9 jenis kecerdasan yang dimiliki oleh manusia yang dikenal dengan sebutan multiple intelligences atau kecerdasan majemuk. Multiple intelligences ini terdiri atas kecerdasan verbal-linguistik, kecerdasan logis-matematis, kecerdasan spasial-visual, kecerdasan kinestetik-jasmani, kecerdasan musikal, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan interpersonal, kecerdasan naturalis, dan kecerdasan eksistensial.


Melalui teori multiple intelligences ini sebutan anak bodoh seharusnya tidak pernah ada. Orang tua dan guru seharusnya paham bahwa tidak ada variabel yang bisa dijadikan standar untuk mengukur kecerdasan seorang anak. Contohnya anak yang kurang pandai dalam mengerjakan soal matematika tetapi ia mahir dalam bermain alat musik. Anak tersebut tidak bisa dikatakan bodoh karena ia memiliki kecerdasan atau keahlian pada suatu bidang. Anak yang pandai dalam pelajaran matematika belum tentu ahli dalam bermain musik. Atau mungkin perbandingan seorang anak yang selalu mendapat peringkat pertama pada suatu cabang olahraga dengan anak yang memiliki kemampuan melukis yang bagus. 


Kedua anak tersebut adalah anak yang sama-sama cerdas dengan kemampuan yang dimiliki masing-masing dan tentunya pada bidang yang berbeda. Oleh karena itu, orang tua dan guru tidak bisa menjustifikasi kecerdasan seorang anak hanya karena ia lemah atau kurang pada suatu bidang, tanpa melihat kemampuan lain yang dimiliki anak tersebut. Hal itu merupakan suatu ketidakadilan yang didapat oleh anak.


Tidak ada anak yang bodoh, setiap anak pasti memiliki kecerdasan dan potensi masing-masing. Kemungkinan orang tua dan guru terlalu sempit memaknai arti kecerdasan itu sendiri, atau mungkin mereka  yang terlalu sulit untuk membuka hati dan mengagumi kemampuan anak sehingga mereka dengan mudah menjudge kata bodoh pada anak. Mereka cenderung hanya menyukai anak dengan kecerdasan yang sesuai dengan definisi mereka sendiri. 


Ketika di sekolah tidak jarang guru memberi label negatif pada siswa yang dianggapnya kurang. Misalnya siswa mendapat nilai dibawah kkm saat ujian matematika, guru akan meremehkannya dan menganggap bahwa siswa tersebut adalah anak yang bodoh. Padahal nilai yang kurang tersebut bisa disebabkan karena metode pembelajaran yang digunakan guru kurang tepat sehingga materi pembelajaran tidak tersampaikan dengan baik dan membuat siswa tidak paham materi pelajaran.


Hal yang seharusnya dilakukan oleh orang tua adalah memahami kecerdasan dan kemampuan yang dimiliki oleh anaknya. Misalnya anak sangat menyukai dan jago pada pelajaran olahraga, maka orang tua harus mendukung penuh minat sang anak tanpa menuntutnya  untuk ahli pada pelajaran teori di kelas. Perlakuan tersebut akan memotivasi anak untuk terus mengembangkan minat dan bakatnya dalam berolahraga. Dukungan dari orang tua tersebut juga mampu memacu semangat anak untuk memberikan kebanggaan kepada orang tuanya, seperti kebanggaan berupa kemenangan pada perlombaan olahraga. 


Begitu juga pada guru, alih-alih memarahi siswa karena tidak bisa menjawab soal yang diberikan, lebih baik guru mengajarinya lagi agar siswa paham dan bisa menjawab soal dengan baik. Selain itu, guru juga bisa merubah metode pembelajaran yang digunakannya dengan metode yang lebih baik sehingga materi dapat tersampaikan kepada siswa dengan baik. Sudah seharusnya guru memperlakukan semua siswanya dengan perlakuan yang sama, seperti memberi penghargaan dan pujian yang sama pada anak yang mendapat peringkat satu di kelas dengan anak yang meraih peringkat satu di ajang lomba pidato. Para guru juga perlu untuk terus mendukung siswanya dengan kata-kata positif tanpa adanya pelabelan negatif untuk anak. Melalui dukungan positif ini anak akan lebih bersemangat untuk belajar. 


Saya percaya bahwa setiap anak memiliki kecerdasan masing-masing yang berbeda antara satu anak dengan lainnya, sehingga tidak ada salah satu bidang yang bisa dijadikan sebagai standar untuk mengukur kecerdasan seseorang.  Tidak ada anak yang bodoh, mereka hanya perlu untuk dibimbing dengan tepat agar berubah menjadi lebih baik lagi. Mereka harus diberi kebebasan untuk menentukan apa yang mereka sukai dan bidang apa yang akan digiatinya. Anak akan menentukan masa depannya sendiri, masa depan yang sesuai dengan impiannya. Tugas orang tua dan guru adalah terus memotivasi dan mendukung anak dalam segala bidang yang diminatinya, serta tidak menuntut mereka melakukan hal yang tidak mereka sukai.[]


Pengirim :

Miftahul Hasanah, Mahasiswa Pendidikan Kimia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, email : miftah.sumberjo@gmail.com 

×
Berita Terbaru Update