Foto : Ilustrasi jalan rusak (lampungpost) |
Sarana-prasarana infrastruktur adalah salah satu bagian dari penunjang kemajuan, perkembangan, dan kenyamanan semua orang terutama di masa dewasa ini dimana orang-orang seringkali bepergian dengan kendaraan, baik itu pribadi maupun umum. Berbagai sarana disediakan oleh negara dan pemerintah sendiri guna menyokong dan memberi kenyamanan bagi semua orang di berbagai aspek kehidupan keseharian yang dijalani, salah satunya ialah jalan raya.
Jalan raya adalah jalan besar dan lebar, biasanya beraspal, dapat dilalui kendaraan besar (truk, bus) dari dua arah berlawanan. Ia sendiri merupakan sarana yang menjadi poin krusial yang menopang kelancaran setiap perjalanan pengemudi di jalan agar tiba di tujuan dengan selamat, pula sebagai penghubung dari satu tempat maupun daerah ke daerah lainnya. Namun apa yang akan terjadi apabila salah satu sarana yang teramat penting ini rusak?
Tanpa perlu ditanya lagi, kita dapat pastikan bahwa resiko serta ancaman yang bermunculan tidaklah sedikit hanya oleh disebabkan kerusakan bahkan yang kecil sekalipun di jalan yang dilewati setiap harinya oleh masyarakat, salah satunya kecelakaan yang bisa saja mengakibatkan kematian. Hal ini pun akan menjadi titik kelemahan dari sarana yang digunakan di kehidupan sehari-hari masyarakat yang menimbulkan ketidaknyamanan dan rasa tidak aman setiap kali melewati jalan tersebut untuk jangka panjang.
Selain halnya kecelakaan, dampak negatif lainnya yang dapat dirasakan langsung salah satunya ialah terganggunya perjalanan masyarakat yang melintasi jalan tersebut. Tidak dapat dipungkiri dengan adanya kerusakan seperti retakan, lubang, dan sebagainya membuat timbulnya rasa tidak nyaman seperti getaran yang berlebih hingga guncangan yang kuat karena melewati jalanan yang rusak tadinya.
Nah, ketika hal seperti ini muncul bagaimana seharusnya kita bertindak? Haruskah kita diam saja dan menerima kenyataan pahit serta menjalani keseharian dengan resiko kecelakaan yang tinggi? Atau terpaksa mengambil jalan memutar yang jauh? Atau bahkan bila kita nekat sekalipun dan berakhir melalui jalanan rusak yang menimbulkan rasa tidak nyaman dan terganggu karena jalan yang bagai terombang-ambing?
Tidak sepatutnya kita pasrah saja dan sudah seharusnya tanggap dalam hal krusial semacam ini. Bila kita menilik dari layar hukum, lebih tepatnya pada pasal 24 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, penyelenggara wajib segera dan patut untuk memperbaiki jalan yang rusak yang dapat mengakibatkan kecelakaan lalu lintas. Pula dalam pasal 273 ayat (1) UU LLAJ berbunyi, “Setiap penyelenggara jalan yang tidak dengan segera, dan patut memperbaiki jalan yang rusak yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) sehingga menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan kendaraan dan/atau barang dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).”
Penyelenggara jalan wajib memperbaiki jalan yang rusak dengan cepat dan tepat, apalagi jika kerusakan tersebut sampai ke tahap dimana itu dapat menyebabkan kecelakaan lalu lintas. Namun secara umum, terkadang perbaikan jalan tidak bisa serta merta dilakukan karena faktor yang sering menjadi kendala, antara lain ketersediaan anggaran. Tentu saja, kurangnya alokasi anggaran yang memadai untuk memperbaiki jalan yang rusak membuat pemerintah bergumul dengan prioritas pekerjaan perbaikan yang mungkin masih perlu diperbaiki.
Namun, hal ini tidak bisa dijadikan alasan semata-mata untuk mengabaikan jalanan yang rusak yang dapat mengancam keselamatan para pengendara. Terlebih bila menimbang salah satu tujuan SDGs (Sustainable Development Goals) yang memiliki banyak cita dan tujuan, terutama di poin ke-9 dimana salah satunya berbunyi, “Mengembangkan infrastruktur yang berkualitas, andal, berkelanjutan dan tangguh, termasuk infrastruktur regional dan lintas batas, untuk mendukung pembangunan ekonomi dan kesejahteraan manusia, dengan fokus pada akses yang terjangkau dan merata bagi semua.”
Bila dilihat lebih dalam lagi, kita bisa mengetahui bahwa seperti yang tertera dalam UU yang telah dibentuk sedemikian rupa kalau telah jelas dan secara tegas disampaikan tentang jalan yang rusak ini sendiri. Maka dari itu dapat ditarik kesimpulan kalau ini bukanlah masalah sepela yang bisa diabaika secara terus-menerus tanpa adanya penanganan lebih lanjut, melainkan hal yang sah dan tertulis di hukum negara ini sendiri membuatnya legal untuk dibawa serius ke jalur meja hijau.
Terlebih bila pemerintah ataupun pihak penyelenggara jalan antara acuh tak acuh dengan kondisi tersebut dan justru cenderung mengabaikan keluhan ini membuat rasa jengkel para pengguna muncul dan menjadi geram akan kondisi yang ada, memancing emosi.
Akan tetapi bukan berarti segala hal dapat dan harus dibawa melalui jalur hukum bila masih ada jalan melalui sisi kekeluargaan; dibicarakaan baik-baik. Terdapat banyak aspek yang dapat digunakan untuk mengatasi hal ini, salah satunya ialah pengguna jalan dapat melaporkan kondisi dan lokasi jalan yang rusak ke instansi yang terkait. Selain hal itu, terdapat pula suatu saluran khusus yang telah disediakan oleh negara untuk pengaduan semacam jalanan rusak atau perihal ini, seperti Ombudsman (Inspektorat Pelayanan Publik), untuk memproses dan memantau masuknya pengaduan.[]
Pengirim :
Fiola Angelina Chandra, Prodi Sastra Inggris Universitas Bangka Belitung