Salah satu Warung Kopi di Banda Aceh (Sumber Foto : Habil Razali/acehkini)
Oleh : Difan Khaifathur*
Perkembangan warung kopi di Indonesia khususnya di Provinsi Aceh, warung kopi tumbuh bagai jamur di musim hujan, bahkan dengan sangat mudah ditemui hampir setiap ruas jalan baik di kota maupun di desa. Sistem pelayanannya pun hampir tidak ada perbedaan antara di kota maupun di desa. Disamping penyediaan minuman dan makanan yang beragam umumnya warung kopi menyediakan fasilitas berupa televisi, layar tancap dan fasilitias wifi yang merupakan daya pikat utama saat ini.
Tidak perlu data formal dari berbagai lembaga survei, maraknya warung kopi menjadi bukti yang dapat dirasakan berbagai kalangan, termasuk kaum muda. Bagi anak muda khususnya di provinsi Aceh warung kopi menjadi salah satu tempat favorit untuk berkumpul dan berinteraksi dengan sesama. Harus diakui bahwasannya kita sebagai mahasiswa merupakan bagian dari muda-mudi itu. Kalangan manapun, kelompok manapun, organisasi apapun berkumpul tanpa memandang perbedaan bahkan menjadi penyetara dan sejalan dengan istilah “wadah pemerrsatu bangsa”.
Jika kita melihat ke belakang, ngopi yang dilakukan kaum muda mudi ini sudah menjadi kebiasaan sejak zaman Ir. Soekarno muda tahun 1921 yang saat itu adalah seorang mahasiswa yang begitu mencintai aroma kopi hitam pekat. Di warung kopi manusia bebas memiliki pikiran seliar apapun bentuknya namun juga harus sadar dan mengerti tanggung jawab. Pembicaraannya pun mulai dari ideologis, sosial, ekonomi, agama bahkan politik sekalipun, dibedah dengan banyak kepala.
Warung kopi mungkin menjadi kampus kedua bagi mahasiswa. Dari sana akan diperoleh pelajaran seperti berpikir, peduli dan mengolah emosi sehingga akan ditemukan jawaban olah pikir dan oleh rasa. Tidak ada sanksi dan hujatan ketika seseorang mencoba memetakan sebuah peradaban.
Namun hingar bingar warung kopi tersebut tidak hanya sebagai tempat berdiskusi atau bertukar pikiran, ironisnya jika kita lihat sekarang banyak muda mudi yang berperilaku phubbing.
Istilah Phubbing berasal dari kata "phone" dan "snubbing",yang menggambarkan tindakan menghina seseorang dalam lingkungan sosial dengan memperhatikan ponsel, bukan berbicara dengan orang tersebut secara langsung (Haigh, 2012). Istilah ini awalnya dikampanyekan oleh Macquarie Dictionary untuk mewakili masalah penyalahgunaan ponsel cerdas yang terus berkembangdalam situasi sosial (Pathak, 2013).
Phubbing adalah kata yang menggambarkan perilaku seseorang yang asyik dengan gadget ketika berhadapan dengan orang lain atau sedang berada di dalam pertemuan. Mereka sering menghabiskan waktu di warung kopi dengan berbagai macam keperluan, mulai dari chatting, bisnis, olahraga, bermain game dan lain sebagainya.
Phubbing dapat memberikan pengaruh buruk bagi kesehatan mental termasuk bagi kalangan digital native dan digital immigrant. Korban phubbing mungkin merasa ditolak, dikucilkan, dan tidak penting. Hal yang tentunya bisa berdampak signifikan pada kesehatan mental seseorang bahkan juga berdampak pada kesulitan dalam membangun dan mempertahankan kontak mata terhadap lawan bicara, serta memungkinkan terjadinya kesalahpahaman dalam sesi diskusi.. Akibatnya, phubbing menjadi ancaman serius bagi empat kebutuhan dasar manusia secara sosial yakni rasa memiliki, harga diri, keberadaan yang berarti, dan kontrol.
Untuk itu kiranya kita sebagai individu perlu memperhatikan juga kekhawatiran-kekhawatiran yang dapat terjadi, misalnya seperti sedang berkumpul bersama, sebaiknya batasi penggunaan gadget. Jika ingin mengabadikan momen untuk diupload ke sosial media jangan terlalu lama karena akan menganggu interaksi yang ada. Sebaiknya jika tidak ada keperluan yang penting dengan gadget maka bisa cepat-cepat untuk menaruh kembali di tas atau di meja.
Jika terdapat teman yang sibuk memainkan gadgetnya, kita jangan terpengaruh lalu ikut memainkan kembali gadgetnya. Lebih baik untuk mengajak teman itu mengobrol dan berdiskusi jika memang tidak ada hal penting yang dilakukan temannya pada gadget. Bahkan dengan mengobrol sekalipun kita bisa mendapat banyak pelajaran di dalamnya.
Kalau kita mengikuti dengan sama-sama bermain gadget, maka besar kemungkinan yang lain juga akan memainkan gadgetnya dan seketika interaksi yang dibangun juga tidak ada. Kita harus bisa mengendalikan teknologi, karena manusia lah yang menciptakan teknologi. Jangan sampai sebaliknya, teknologi yang mengendalikan kegiatan-kegiatan manusia sehingga menghasilkan budaya yang tidak baik.[]
*Penulis adalah mahasiswa FKIP Prodi Bahasa Indonesia Universitas Syiah Kuala, email : difankhai11@gmail.com