Notification

×

Iklan

Iklan

Perubahan Tata Cara Bahasa di Era Digital

Jumat, 26 Mei 2023 | Mei 26, 2023 WIB | 0 Views Last Updated 2023-05-26T06:13:15Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Foto : ILUSTRASI

Dalam era digital saat ini, perubahan tata cara bahasa menjadi semakin nyata. Penggunaan media sosial, pesan instan, dan email telah mempercepat dan memperluas komunikasi kita dengan dunia. Namun, kita juga menyaksikan kemunduran tata cara bahasa yang benar. Banyak orang yang lebih memilih untuk menulis singkatan dan slang yang tidak baku, dan beberapa orang bahkan mengabaikan aturan tata cara bahasa sepenuhnya. 


Evolusi metode bahasa merupakan fenomena inheren dan spontan yang tidak dapat dikendalikan. Ini biasanya dimulai saat mengadopsi frasa asing dan slang ke dalam ekspresi verbal kita.  "thank you", "oh my God" dan berbagai kata asing lainnya adalah beberapa ungkapan yang sering digunakan. Selain itu beberapa generasi milenial menggunakan bahasa gaul seperti kata "Santuy", "baper", "Gercep", "pansos" dan masih banyak lagi bahasa gaul yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Di Indonesia bahasa Indonesia tidak digunakan dengan benar. Seperti contoh saat berkomunikasi dengan teman yang menanyakan "Lg ap ko?" Bahasa yang digunakan pada kalimat contoh diatas adalah kalimat singkat. Disini dapat dilihat bahwa kurangnya pemahaman bahasa Indonesia yang digunakan pada saat berkomunikasi.


Selain itu, penggunaan emotikon, stiker, dan emoji telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari komunikasi digital. Mereka membantu menyampaikan emosi, ekspresi, dan intonasi yang mungkin sulit ditangkap dalam tulisan saja. Emoji dan emotikon memberikan dimensi baru dalam komunikasi digital dan telah menjadi bahasa visual yang penting di era digital. Namun, perubahan ini juga menimbulkan tantangan dalam mempertahankan bahasa yang baku dan tepat. Penggunaan singkatan, slang, dan emoji dapat mempengaruhi kemampuan kita untuk mengekspresikan diri secara jelas dan tepat. Selain itu, penggunaan yang berlebihan atau tidak tepat dari singkatan dan slang dapat menyulitkan pemahaman dan menimbulkan kesalahpahaman dalam komunikasi.


Perubahan dalam berbahasa dilihat dari faktor umur, menurut Kepala Bidang Pelindungan, Pusat Pengembangan dan Pelindungan, BPBP Dr. Ganjar Harimansyah dalam artikel berjudul Pilihan Bahasa Remaja dalam Perspektif Umur dan Lintas Generasi.


Dalam konteks bahasa sebagai sebuah tradisi, bahasa harus diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya dengan cara berkomunikasi. Kasus kematian bahasa dari suatu tradisi adalah bukti  adanya jarak komunikasi yang bersifat antargenerasi. Pada peristiwa itu, para penutur dari generasi Gn+1 gagal menggunakan suatu bahasa dengan cara yang sama seperti generasi Gn. Ketika hal itu terjadi, ada pengurangan keterampilan dan penggunaan bahasa yang berhubungan dengan penggantian generasi dari para penutur bahasa itu. Suatu bahasa akan segera mati sebagai bahasa lisan karena tidak seorang pun memilih dan berbicara dengan bahasa itu. Kasus itu adalah kasus yang ekstrem sebagai akibat jarak komunikasi intergenerasi.


Tidak dapat dipungkiri bahwa umur membedakan cara berbicara.  Ada perbedaan kata yang digunakan. Seorang remaja tentu tidak akan berbicara seperti seorang yang berusia 80 tahun. Setiap bahasa meliputi ungkapan, pengucapan kata, dan konstruksi yang telah dipakai dalam jangka waktu yang lama. Ungkapan, pilihan kata, dan konstruksi itu dipilih oleh penutur  dari generasi yang berbeda dengan frekuensi yang berbeda pula. Lebih dari itu, ada bagian bahasa, lebih-lebih pada tataran leksikal dan sintaksis, yang dirasakan berbeda oleh para penutur yang “modern” dengan yang “kuno”.


Jadi bisa disimpulkan bahwa Umur, sama seperti faktor gender, profesi, kelas sosial, dan asal muasal geografis atau etnis, telah banyak diteliti dan dibahas sebagai faktor yang memengaruhi posisi kita dalam masyarakat. Perbedaan posisi itu akan menimbulkan variasi pilihan bahasa.  Perbedaan umur sering kali menimbulkan perbedaan pilihan bahasa di banyak bahasa yang ada di dunia, bahkan perbedaannya bersifat lintas generasi.


Perubahan tata cara bahasa yang terjadi di era digital ini dapat mengancam kualitas bahasa kita. Penggunaan bahasa yang tidak baku dan tidak tepat dapat membingungkan pembaca atau pendengar, dan pada akhirnya dapat menurunkan kualitas komunikasi secara keseluruhan. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk tetap memperhatikan tata cara bahasa yang benar dan mempertahankan standar bahasa yang baik.


Ada dua penyebab terjadi perubahan Bahasa, yang dikutip dari laman wikipedia.org diantaranya:

Penyebab internal meliputi:

1. Transmisi intergenerasi, Teori ini menjelaskan bahwa perubahan bahasa dikarenakan ketidaksempurnaan transmisi perolehan bahasa ibu oleh generasi berikutnya. Dengan kata lain, anak-anak, ketika melakukan akuisisi bahasa pertamanya cenderung melakukan penyimpangan, dan bentuk penyimpangan-penyimpangan tersebut mempengaruhi proses berbahasa dan mengakibatkan perubahan bahasa.

2. Variasi, Teori ini menjelaskan bahwa masyarakat lah yang menyebabkan perubahan bahasa melalui komunikasi atau pembicaraan sehari-hari. Selanjutnya, interaksi sosial dalam komunitas masyarakat dapat memberikan perubahan bahasa dengan inovasi terbaru dalam elemen bahasa. Agar terjadi perubahan bahasa, inovasi kata tersebut terlebih dahulu diadopsi dan digunakan oleh para anggota suatu komunitas.

3. Teleologi, Teleologi artinya perubahan bahasa terjadi karena penuturnya memiliki tujuan-tujuan tertentu yang ingin dicapai. Penutur menggunakan bahasa sesuai dengan target yang ia inginkan, sehingga ia mengubah beberapa elemen bahasa.


Penyebab eksternal, dimana penyebab perubahan bahasa dari kontak antara dua orang atau kelompok dengan dialek atau bahasa yang berbeda. Terdapat dua teori mengenai perubahan secara eksternal yaitu perubahan karena kelompok minoritas dan penyederhanaan bahasa. Pertama, perubahan terbentuk dari kelompok minoritas atau substrata yang mempengaruhi elemen bahasa kelompok mayoritas. Kedua, perubahan terjadi karena penyederhanaan bahasa antara dua orang dari dialek dan bahasa yang berbeda. Hal itu terjadi karena kesulitan yang dialami ketika menyesuaikan diri dengan bahasa asing lain.


Namun Perubahan bahasa di era digital juga membawa dampak positif yang patut diperhatikan. Beberapa dampak positif tersebut antara lain:

1. Peningkatan kreativitas: Penggunaan emotikon, stiker, dan emoji memberikan kemungkinan yang lebih luas dalam mengekspresikan emosi dan ide. Mereka memperkaya komunikasi dengan elemen visual dan dapat menginspirasi kreativitas dalam menciptakan pesan yang lebih menarik dan beragam.

2. Meningkatkan efisiensi komunikasi: Singkatan dan akronim yang digunakan dalam komunikasi digital memungkinkan kita untuk menyampaikan pesan dengan cepat dan efisien. Hal ini bermanfaat terutama dalam situasi yang membatasi jumlah karakter, seperti media sosial atau pesan teks singkat, di mana kita perlu mengkomunikasikan pesan secara singkat dan padat.

3. Mendorong inklusi dan ekspresi diri: Perkembangan bahasa di era digital memberikan ruang bagi kelompok-kelompok yang mungkin merasa terpinggirkan atau tidak terwakili dalam norma bahasa yang baku. Hal ini memungkinkan mereka untuk menggunakan bahasa yang sesuai dengan identitas mereka dan mengungkapkan diri dengan lebih bebas dan autentik.


Penting untuk mengakui bahwa perubahan bahasa di era digital memiliki potensi positif, namun tetap penting untuk menjaga keseimbangan dengan mempertahankan kemampuan berkomunikasi secara efektif dalam bahasa baku dan tepat. Memiliki pemahaman yang baik tentang konteks, audiens, dan situasi komunikasi adalah kunci untuk menggunakan perubahan bahasa digital secara efektif dan tepat sasaran.


Dampak positif perubahan dalam berbahasa,yang menurut kepala kantor Bahasa Provinsi Jambi Dr.Adi Budiwiyanto dalam artikel yang berjudul Bahasa Gaul dalam Perspektif Teori Strukturasi Anthony Giddens.


Bahasa gaul, bagi sebagian orang, dianggap merusak bahasa karena menjatuhkan integritas bahasa Indonesia. Bahasa gaul dianggap melanggar kaidah pembentukan kata dan dibentuk dengan cara yang tidak lazim. Pendapat tersebut tidak sepenuhnya benar. Bahasa gaul sesungguhnya menggunakan beberapa pola yang teratur dalam pembentukan kata baru dan mengadaptasi kata-kata serapan, baik dari bahasa daerah maupun bahasa asing, dan tidak menabrak pola gramatikal bahasa nonstandar dalam bahasa Indonesia. Bahasa gaul justru memberikan keaktifan, daya ekspresi, dan cap kosmopolitan sehingga menjadi daya tarik bagi anak muda untuk mempelajari bahasa Indonesia dan menggunakannya dalam komunikasi sehari-hari.


Bahasa gaul juga mencerminkan identitas sosial dan rasa memiliki di antara para penuturnya. Bahasa gaul menyuarakan solidaritas daripada perbedaan status. Kata gaul itu sendiri menunjukkan keinginan anak muda Indonesia akan identifikasi sosial yang baru dengan cara merumuskan hubungan yang lebih egaliter dan interaksi yang lebih cair serta lebih ekspresif secara personal.


Oleh karena itu, penting untuk menjaga keseimbangan antara penggunaan bahasa yang sesuai dengan situasi dan audiens, serta menghargai keberagaman bahasa dalam konteks komunikasi digital. Dengan pemahaman yang baik tentang konteks dan kemampuan beradaptasi, kita dapat memanfaatkan perubahan tata cara bahasa di era digital dengan bijak dan efektif dalam berkomunikasi. Di zaman yang dipenuhi dengan media sosial dan komunikasi digital, penting bagi kita untuk menjaga kualitas bahasa yang kita gunakan. dengan begitu kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih positif, saling memahami, dan menghargai satu sama lain.[]


Pengirim :

Pipin, Mahasiswa Jurusan Akuntansi Universitas Bangka Belitung

×
Berita Terbaru Update