Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna |
Tamiang-News.com | Banda Aceh - Tepat pada tanggal 3 Mei 2023, Aceh kembali memperingati peristiwa penembakan massal di Simpang KKA, Aceh Utara. Hingga saat ini, tragedi tersebut masih terus diingat sebagai salah satu kasus pelanggaran HAM masa lalu di Aceh yang belum juga tuntas, serta meninggalkan luka mendalam bagi korban maupun keluarga yang ditinggalkan.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh memandang belum terwujudnya pemenuhan hak korban maupun keluarga korban peristiwa Simpang KKA hingga 24 tahun lamanya, sebagai bentuk kelalaian dan pengabaian negara.
Kendati telah terbit Kepres Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu, tim ini hanya bekerja selama tiga bulan. Tak lama kemudian, pemerintah pusat kembali menerbitkan Inpres Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat.
"Apakah janji pemulihan melalui Inpres 2/2023 ini terlambat? Terlambat adalah satu hal, serius adalah hal paling penting. Jangan sampai pemulihan korban hanya dari perpres ke perpres saja tanpa tindakan nyata. Kita juga penting menagih janji Presiden RI Joko Widodo untuk menemui pihak korban," tegas Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna.
Lebih lanjut, jika mengingat lagi pernyataan Presiden Jokowi, disebutkan bahwa Perpres ini salah satunya mencegah agar Pelanggaran HAM Berat tidak terulang lagi. Namun ini justru menuai kejanggalan dalam praktiknya.
"Jika pelanggaran HAM yang berat ini tidak diselesaikan secara berkeadilan, salah satunya tidak ada pengungkapan kebenaran dan tidak pernah ada efek jera bagi pelaku, maka kuat dugaan ini melanggengkan impunitas, sehingga pelanggaran HAM bakal terus terjadi karena memang tak pernah diselesaikan dengan tuntas," ujar Husna.
Di sisi lain, KontraS Aceh juga mendesak Pemerintah Indonesia harus melihat kekhususan Aceh, terutama keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, sebagai mekanisme penyelesaian non-yudisial yang diakui.
"Harmonisasi terkait pemulihan, termasuk alokasi anggaran baik di kementerian, lembaga maupun pemerintah daerah untuk pemulihan sebagaimana Inpres No. 2 tahun 2023 hendaknya tak hanya untuk 12 kasus pelanggaran HAM masa lalu yang disebutkan dalam Keppres, tetapi juga bagi korban pelanggaran HAM yang pernyataannya telah diambil oleh KKR Aceh," desak Husna.
Tanpa penyelesaian yang menyeluruh, janji upaya pemulihan korban hanya bakal menuai masalah laten di kemudian hari, terlebih korban dalam banyak kasus pelanggaran HAM berat di Aceh sampai saat ini belum terpenuhi hak-haknya.
"Momentum 24 tahun peringatan tragedi Simpang KKA harusnya jadi pengingat bahwa korban masih terus berjuang untuk penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu yang berkeadilan dan bermartabat, bukan hanya separuh hati," tutup Husna.[] Ril