Notification

×

Iklan

Iklan

Kelalaian Polri Terulang Kembali, Kanjuruhan Menjadi Saksi Brutal

Minggu, 21 Mei 2023 | Mei 21, 2023 WIB | 0 Views Last Updated 2023-05-21T09:14:03Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Radja Danendra Prayitno (Foto : IST)

Sugeng Riyadi (52) adalah salah satu bapak yang harus menerima kenyataan bahwa salah satu putrinya, meregang nyawa atas tragedi Persebaya - Arema. Sugeng Riyadi adalah Aremania sejati, sejak muda hingga memiliki anak tiga menjadikan Arema malang sebagai sebuah kebanggan. Kebanggan Sugeng Riyadi terhadap Arema diturunkan kepada tiga putrinya semenjak belia, terbukti ia selalu mengajak anak-anaknya untuk menonton Arema setiap kali berlaga.  


Kebanggan dan kecintaan tersebut agaknya mulai surut. Sugeng Riyadi masih bangga terhadap Arema, masih mencintai Arema sebagai klub kebanggan kotanya. Namun, mungkin ia tak bisa memandang kebanggan tersebut dengan cara yang sama. Kejadian itu bermula ketika ketiga putrinya menonton laga Arema vs Persebaya di Stadion Kanjuruhan Malang. Di laga yang sarat akan gengsi tersebut, ketiga putri Sugeng Riyadi turut hadir untuk membela dan mendukung tim kebanggan mereka. 


90 menit berlalu, setelah peluit ditiup sebagai tanda berakhirnya pertandingan, Sugeng Riyadi diliputi kekecewaan. Sebab tim kesayangannya harus takluk pada rival dengan skor 3-2. Kekecewaan Pak Sugeng bertambah dengan kecemasan, tepat ketika si sulung dan si bungsu sudah pulang. Sedangkan putri keduanya, Alvinia belum juga kunjung datang, sedangkan jam sudah menunjukkan tengah malam. Kemudian tepat dini hari, Pak Sugeng mendapatkan telefon dan kiriman foto yang menunjukkan bahwa putri keduanya terbaring di ranjang Rumah Sakit Wava Husada, Kepanjen, Kabupaten Malang. 


Namun siapa sangka, Alvinia yang dikira hanya terluka di Rumah Sakit, ternyata sudah meregang nyawa. Alvinia Maharani Putri, anak Pak Sugeng, menjadi satu dari 131 korban meninggal usai pertandingan Arema FC Vs Persebaya. Orang tua mana yang bakal mengira putrinya meninggal karena sepakbola? Di stadion yang biasanya menawarkan gemuruh penuh nyanyian sukacita, menjadi tempat terkahir putrinya di dunia. Pak Sugeng memang masih menjadikan Arema sebagai sebuah kebanggaan, namun Pak Sugeng mungkin tidak lagi dapat melihat klub yang dibanggakannya dengan cara yang sama. Pak Sugeng berharap agar kasus Kanjuruhan benar-benar diselesaikan. 


Rasa duka yang dialami oleh orang tua yang kehilangan anaknya, bukan hanya dirasakan oleh Pak Sugeng. Masih banyak Pak Sugeng lainnya yang merasakan duka begitu hebatnya, dan entah mengalami trauma seperti apa terhadap sepakbola. Stadion Kanjuruhan yang menelan banyak korban dan menyisakan duka bagi banyak orang adalah saksi bagaimana protokol persepakbolaan di Indonesia begitu rentan. Terlebih yang menjadi sorotan dalam kejadian ini adalah institusi yang seharusnya dapat melindungi segenap masyarakat, yakni Polri. 


Selain standart protokol di stadion yang dinilai rentan, prosedur keamaan yang diterapkan oleh Polri di Kanjuruhan juga dinilai kurang oleh beberapa kalangan. Dalam kejadian tersebut, POLRI menggunakan gas air mata sebagai keamanan pengendalian massa. Sedangkan tembakan gas air mata tersebut diduga memicu kepanikan bagi suporter di stadion, terlebih banyak pintu stadion tertutup saat kejadian tersebut, membuat banyak orang panik dan berdesakan mencari jalan keluar saat kekeacauan. Dalam pengendalian keamanan massa, gas air mata sendiri dilarang oleh PBB.


Tragedi kanjuruhan (Foto : DW News)

Dalam kasus tersebut, KONTRAS (Komisi Orang Hilang dan Korban Kekerasan) menemukan keganjilan dalam tragedi Kanjuruhan. Sebab diketahui ada 131 orang meninggal akibat berdesakan yang diduga setelah polisi yang bertugas menembakkan gas air mata. Kontras menyebut mobilisasi aparat itu ganjil lantaran pada saat pengerahan pertandingan tidak ada ancaman di dalam stadion. Setelah melakukan investigasi, Kontras mengaku telah mendapatkan 12 temuan awal. Salah satunya, keganjilan soal mobilisasi aparat, termasuk Brimob yang membawa gas air mata. "Kami menemukan bahwa pengerahan aparat keamanan atau mobilisasi berkaitan dengan aparat keamanan yang membawa gas air mata itu dilakukan pada tahap pertengahan babak kedua," kata Kepala Divisi Hukum Kontras Andi Muhammad Rezaldi dalam jumpa pers, dikutip dari Kompas.com, Minggu (9/10/2022).


Kontras mencurigai tindakan polisi atas tembakan gas air mata yang langsung diarahkan ke tribun penonton. Padadal tribun tersebut tidak sedang terjadi kericuhan. Selain itu Kontras juga mempermasalahkan tindakan tembakan gas air mata sebab tidak memenuhi prosedural. Mengutip Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 bahwa dalam hal penggunaan kekuatan, ada tahap-tahap awal yang harus dilakukan aparat  sebelum tiba pada keputusan untuk menembakkan gas air mata. "Dalam konteks kasus ini, tahapan-tahapan tersebut tidak dilalui oleh aparat kepolisian. Apa saja tahapan yang harus dilalui, pertama, misalnya melakukan penggunaan kekuatan yang memiliki dampak pencegahan," kata Andi. "Tahap yang kedua, ada juga (seharusnya) perintah lisan  atau suara peringatan, tetapi hal itu tidak dilakukan," ujarnya lagi, dikutip dari Kompas.com.


Atas kejadian tersebut, Kontras juga menyoroti kinerja Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF), sebab dianggap kurang tegas dalam meberi desakan kepada Polri. Mengingat kerugian baik materil maupun non materil di Kanjuruhan tidak dapat ditoleransi, sebab telah membuat setidaknya 131 korban meninggal dan lainnya terluka. "Berkenaan dengan institusi Polri misalnya, TGIPF seolah-olah menutup mata bahwa ada pertanggungjawaban hukum atasan dalam penggunaan kekuatan," ujar Andi. Sangat ironis, sebab TGIPF menganggap bahwa dugaan penembakan gas air mata yang dilakukan oleh Polri berada di luar komando. Kontras menilai hal tersebut bukan berarti komandan dapat lepas dari tanggung jawab, sebab hal itu mencerminkan kegagalan komandan melakukan kontrol atas wewenang yang dimiliki.


Terlebih, yang sangat disayangkan dalam tragedi tersebut adalah kesan Polri yang lari dari tanggungjawab atas meninggalnya 131 korban yang meninggal dunia. Wakil Koordinator KontraS Rivanlee Anandar, kesan lepas tanggung jawab itu tampak dari pernyataan Polri yang menyebut korban meninggal di Kanjuruhan bukan akibat gas air mata. "Narasi yang diusung Polri belakangan adalah upaya untuk menghindari pertanggungjawaban. Mulai dari menyiarkan soal kerusuhan, gas air mata sesuai SOP, dan narasi lain termasuk mengatakan gas air mata tidak mengakibatkan kematian," kata Rivanlee dalam keterangan tertulis, Selasa (11/10).


Hemat penulis, tragedi Stadion Kanjuruhan tidak hanya menyisakan duka yang mendalam, dan tarauma yang membekas.  Kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri pun pasti menurun. Apalagi sebelumnya publik juga dipertontonkan kinerja-kinerja polisi atau kontroversi instutusi ini yang terkesan tak beres, mulai dari perekrutan, maupun internal kepolisian itu sendiri. Pandangan penulis, penembakan gas air mata terhadap penonton yang dilakukan oleh Polri adalah tindakan brutal. Polri yang seharusnya dapat melindungi dan mengayomi masyarakat justru mendapat dugaan sebagai aktor paling bertanggungjawab atas meninggalnya ratusan korban.


Penggunaan gas air mata yang tidak seharusnya, serta tindakan para aparat seperti itulah yang masih hidup sangat kuat pada kinerja Polri yang perlu disoroti. Penembakan gas air mata itu juga, hemat penulis juga merupakan kultur yang tidak sehat. Para polisi yang melakukan itu menganggap massa yang tak terkontrol itu sebagai musuh yang harus ditaklukkan dengan cara apa pun. 


Pun berdasarkan analisis yang dilakukan oleh para ahli menyebutkan bahwa, para korban tewas dalam insiden Kanjuruhan akibat kekurangan oksigen. Para korban kekurangan oksigen karena berdesakan di pintu keluar stadion. Serta yang membuat lebih memprihatinkan adalah didapatkan temuan bahwa korban yang meninggal mengalami lebam biru akibat dipukuli. Harapan penulis semoga setelah ini, tidak ada lagi tragedi-tragedi yang disebabkan oleh kelalaian maupun ketidaktahuan, semoga institusi Polri segera berbenah dan dapat introspeksi sampai ke akar-akarnya. Dan semoga tidak ada orang tua yang trauma atau memiliki kecemasan ketika anaknya menonton sepabola.


Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 129 orang penonton usai pertandingan Arema Malang FC dengan Surabaya FC tersebut telah menimbulkan gejolak di masyarakat Indonesia. Gejolak atas teagedi maut ini terjadi di banyak tempat di Indonesia. Selain itu gerakan yang tak kalah masifnya terjadi di dunia maya. Dimana para netizen Indonesia membentuk suatu gerakan melalui sosial media, menggalang dukungan dari banyak pihak, dengan tujuan mendesak pemerintah segera mengusut tuntas peristiwa kelam ini serta menghukum para pihak yang bertanggung jawab.


Gerakan sosial diartikan sebagai upaya sekelompok baik terhimpun secara resmi atau tidak resmi untuk menuntut suatu perubahan. Pada umumnya gerakan ini lahir sebagai akibat adanya konflik akibat suatu tindakan, kebijakan yang merugikan masyarakat atau kelompok. Munculnya gerakan sosial biasanya berjalan seiring munculnya masalah atau kesenjangan yang dinilai merugikan suatu komunitas, atau masyarakat umum Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dimanfaatkan sebagai sarana untuk menghimpun kekuatan massa besar secara virtual. Informasi dan ajakan untuk membuat suatu gerakan akan cepat  sampai kepada  masyarakat  luas,  sebab  disampaikan melalui  perangkat teknologi yang berkembang pesat saat ini. Gerakan sosial virtual yang terjadi pada tahun 2022 di Indoensia biasanya dimunculkan melalui gerakan tagar di media sosial Twitter, Intargram, dan Facebook.


Gerakan sosial ini merupakan wujud dari solidaritas masyarakat terhadap tragedi persepakbolaan Indonesia. Tragedi tersebut yang bahkan menjadi salah satu tragedi korban paling banyak di duna olahraga internasional. Harapan penulis ke depannya, baik pemerintah, PSSI, POLRI, dan instansi lainnya dapat terus bekerjasama untuk menciptakan iklim olahraga yang suportif. Karena akan sampai kapan lagi Indonesia mengalami hal-hal serupa, dan terus menelan korban dalam dunia sepakbola. Sebab mau sehebat dan segemilang apapun satu kemenangan dalam olahraga tidak lebih berharga dari satu nyawa manusia.[]


Penulis :

Radja Danendra Prayitno, Mahasiswa Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Airlangga

×
Berita Terbaru Update