Foto : ILUSTRASI |
Pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh seseorang, baik laki-laki atau perempuan disaaat usianya belum mencapai kematangan atau masih dalam kategori remaja karena dalam undang-undang nomor 16 tahun 2019 pun diatur menganai usia pernikahan yaitau 19 tahun untuk pria maupun wanita. Di Indonesia, fenomena pernikahan dini menjadi tantangan tersendiri bagi perempuan.
Berdasarkan data Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, pernikahan dini di Indonesia masih marak terjadi dan tercatat sepanjang tahun 2021 ada 59.709 kasus Meski ada penurunan dibandingkan tahun 2020, yaitu 64.211 kasus, namun angka tersebut masih sangat tinggi dibandingkan pada 2019 yang tercatat ada 23.126 pernikahan dini. Selain itu, pernikahan dini juga telah menjadi masalah global yang kompleks dan data menyebut, secara global hampir 41.000 anak perempuan dipaksa menikah setiap hari. Dilansir dari laman resmi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
Pernikahan pada usia remaja tidak dibenarkan oleh Undang-Undang. Idealnya yaitu umur 19 tahun untuk pria dan wanita, pada saat umur 19 tahun keatas secara psikologi dinilai lebih siap. Pasalnya, pernikahan dini akan berdampak pada kesehatan jasmani, kesehatan, sosial hingga psikologis anak-anak perempuan maupun laki-laki. Maka dari itu, pencegahan pernikahan dini perlu dilakukan untuk meminimalisir banyak negatif yang diakibatkannya. Kesadaran mengenai pernikahan dini ini memerlukan perhatian lebih mulai dari orang tua, tokoh masyarakat, dan pemerintah.
Lalu, bagaimana cara pencegahan pernikahan dini dan apa saja dampak menikah di usia muda?
1. Meningkatkan Pendidikan sekolah, meningkatnya tingkat pendidikan dapat mengurangi jumlah perkawinan anak. Mendapatkan akses ke pendidikan formal juga membuat anak-anak memiliki kesempatan lebih baik untuk mendapatkan pekerjaan yang stabil keluarga.
2. Pentingnya Sosialisasi tentang Pendidikan Seks, dalam hal ini memeng perlu adanya sosialisasi dan pembelajaran sebagai ilmu pengetahuan bagi para remaja mengenai reproduksi baik bagi wanita maupun pria . Penelitian Aliansi Remaja Independen pada 2016 menunjukkan bahwa 7 dari 8 anak perempuan di Jakarta, Yogyakarta dan Jawa Timur mengaku hamil sebelum menikah. Padahal, kehamilan di usia dini dapat meningkatkan kemungkinan meninggal dua kali lebih tinggi dibandingkan mereka yang hamil di usia 20-an
3. Memberdayakan Masyarakat Agar Lebih Paham Bahaya Pernikahan Dini, tidak hanya bagi para reamaja Orang tua dan masyarakat sekitar juga seharusnya lebih memberikan perhatian lebih terhadap para remaja, sebagai orang tua harus lebih memperhatikan anak-anaknya, seperti pendekatan orang tua terhadap anak, dan juga memperhatikan lingkungan dan pergaulan anak dengan siapa anak bergaul dan sebagainya. Hal ini membuat anak merasa lebih mendapatkan perhatian terutama dari orangtua.
4. Meningkatkan Peran Pemerintah Cara pencegahan pernikahan dini agar tidak timbulkan komplikasi kehamilan bisa dilakukan dengan mendorong peran pemerintah dalam meningkatkan usia minimum pernikahan. Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak telah mengatur bahwa perkawinan akan diizinkan apabila anak laki-laki dan perempuan telah mencapai usia 19 tahun. Kebijakan hukum lain yang dapat menjadi alat untuk mencegah pernikahan dini di antaranya seperti pencatatan akta kelahiran dan perkawinan.
5. Mendorong Terciptanya Kesetaraan Gender Anak perempuan lebih rentan mengalami pernikahan dini lantaran persepsi dan ekspektasi masyarakat terhadap peran domestik atau rumah tangga. Keluarga dan masyarakat cenderung menganggap anak perempuan lebih siap untuk menikah ketika sudah bisa melakukan pekerjaan rumah tangga.. Padahal, mau perempuan atau laki-laki memiliki hak yang sama untuk menentukan pilihannya dalam menikah. Selain itu, perempuan juga memiliki hak untuk terus berkarya tanpa harus ditakuti dengan stigma “jangan jadi perawan tua, nanti nggak ada laki-laki yang mau”.
Dampak dari pernikahan dini tidak hanya berpengaruh pada para pihak yang melakukan nikah muda, tapi juga berakibat dan berdampak buruk bagi perempuan remaja yang hamil di usia muda akan lebih rentan mengalami yang namanya stunting.
Word health organization (WHO) menyebut stunting adalah kondisi terjadinya gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada anak yang dipengaruhi oleh kurangnya asupan gizi. Dalam jangka waktu lama, masalah tersebut dapat mempengaruhi pertumbuhan anak, yang biasanya ditandai dengan tinggi badan yang lebih rendah dibanding standar usianya. Dampaknya, anak anak yang mengalami masalah stunting akan memiliki kemampuan kognitif, motorik, dan intelektuaal yang rendah, serta daya tahan tubuh yang rentan sehingga mudah terserang penyakit. Hal tersebut akan menurunkan kualitas sumber daya manusia secara umum.
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab utama terjadinya stunting pada anak. Pertama adalah kurangnya asupan nutrisi dari makanan yang di konsumsi oleh si anak sejak dalam kandungan. Kedua, pola asuh orang tua yang tidak memberikan ASI ekslusif selama 6 bulan pertama. Ketiga faktor tersebut diyakini menjadi penyebab tingginya angka stunting di Indonesia. Hal ini didukung oleh beberapa fakta bahwa 1 dari 3 ibu hamil di Indonesia mengalami anemia. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya asupan gizi dan kurangnya suplemen zat besi.
Fakta selanjutnya, sekitar 60% dari bayi usia 0-6 bulan tidak mendapatkan ASI ekslusif karena beberapa sebab. Ditambah lagi, 3 dari 3 anak usia 6 hingga 24 bulan tidak mendapatkan makanan pengganti ASI. Padahal, pemberian ASI ekslusif dan makanan pendamping ASI selama 24 bulan pertama dapat mengurangi resiko gagal tumbuh pada anak. Terakhir, sebagian besar masyarakat belum memiliki akses terhadap sanitasi yang memadai dan air bersih. Selain itu, ada kenyataan yang cukup perih bahwa 1 dari 5 rumah tangga di Indonesia masih buang hajat di ruang terbuka.
Dampaknya, stunting terjadi di hampir setiap wilayah Indonesia. Data terakhir yang di sampaikan oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin beliau mengatakan berdasarkan hasil survey Status Gizi Indonesia (SSGI) Tahun 2022, angka stunting turun dari 24,4% di tahun 2021 menjadi 21,6% di tahun 2022.
Stunting di Negara kita ini menjadi pekerjaan rumah yang sangat besar yang harus segera diselesaikan. Oleh sebab itu, target 14% di tahun 2024 ini harus kita capai. “Saya yakin dengan kekuatan kita bersama, semuanya bergerak, angka itu bukan angka yang sulit untuk dicapai asal semuanya bekerja bersama sama,” ungkap Presiden.[]
Pengirim :
Najiatul Farihah, Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung, email : najiatulfarihah@gmail.com