Foto : Ilustrasi |
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana berasal dari hukum kolonial Belanda (bahasa Belanda: Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana merupakan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum pidana di Indonesia. Pengesahannya diterapkan tahun 1915 nomor 732 melalui Staatsblad dan mulai berlangsung sejak tanggal 1 Januari 1918. Setelah Indonesia merdeka, KUHP tetap diberlakukan disertai dengan pencabutan pasal-pasal yang tidak relevan lagi. Hal ini berdasarkan pada Ketentuan Peraliham Pasal II UUD 1945. Kemudian, pada tanggal 26 Februari 1946, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Undang-undang inilah yang akhirnya dijadikan dasar hukum perubahan Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie menjadi Wetboek van Strafrecht (WvS), yang kemudian dikenal dengan KUHP. Isi KUHP terdiri dari 3 buku, yaitu: a.) Buku I tentang Aturan Umum, b.) Buku II tentang Kejahatan, c.) Buku III tentang Pelanggaran.
Namun, pada hari Selasa tanggal 6 Desember 2022, Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR pada rapat paripurna mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP. Dan keberlakuannya akan efektif dilakukan pada tahun 2025 mendatang. Gagasan pembentukan RKUHP Nasional telah muncul saat Seminar Hukum Nasional I di Semarang pada 1963. Seminar itu juga mengumpulkan beberapa masukan agar RKUHP asli Indonesia bisa memperluas beberapa delik hukum, khususnya yang berkaitan dengan ekonomi, kesusilaan, dan keamanan negara. RKUHP memiliki sejarah panjang sebelum disahkan, meskipun dalam pengesahannya terdapat banyak penolakan dari sejumlah massa.
Hal mendasar yang perlu diketahui adalah, RKUHP tidak membatasi berlakunya hukum yang hidup di masyarakat. Asas legalitas akan tetap menjadi ruh atau sumber utama, tetapi keberlakuannya tidak seperti ketentuan yang sebelumnya. Yang berarti, suatu perbuatan dapat dipidana meskipun tidak ada ketentuan tertulis. Dan berlakunya hukum di masyarakat harus sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, serta tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip umum yang hidup di masyarakat.
Hal mendasar lainnya ialah adanya tujuan pemidanaan. Pemidanaan tidak bermaksud untuk merendahkan martabat manusia. Tujuan pemidanaan di dalam RKUHP adalah untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi perlindungan dan pengayoman masyarakat, memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan dan pembimbingan agar menjadi orang yang baik, memulihkan keseimbangan, menyelesaikan konflik yang timbul akibat tindak pidana, serta mendatangkan rasa aman dan menumbuhkan penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Adapun point dari lahirnya RKUHP ini adalah terlihat adanya semacam paradigma baru yang merupakan hasil dari pergeseran konsep antara KUHP lama dengan KUHP baru. Memasuki undang-undang pidana yang ‘lebih Indonesia’ ialah sebuah keinginan yang sangat diimpikan. Sebagai sesuatu yang baru, tentu saja RKUHP ini akan menimbulkan pro dan kontra. Di dalam sebuah pendapat pasti memuat kepentingan bagi pemilik pendapat tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung. Berikut beberapa pasal yang banyak menuai pro dan kontra.
Pasal 18 sampai 20 RKUHP, merupakan pasal-pasal yang dikritisi oleh para politisi dan aktivis. Bagi sebagian politis, kemunculan pasal-pasal ini dianggap sebagai sebuah kemunduran. Bentuk negara Indoensia yang demokrasi seperti sedang digeser ke arah monarki. Seperti dikembalikan ke masa sebelumnya, pemujaan terhadap raja dan ratu yang dianggap mutlak. RKUHP berpotensi mengubah pengertian itu menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Sementara bagi kalangan aktivis, pasal-pasal yang mengatur soal demonstrasi dianggap ‘mengancam’ kebebasan berpendapat di jalanan. Ada aturan yang sangat ketat dalam mengkerdilkan kebebasan itu sendiri. Namun, DPR menyatakan bahwa hal itu tidak benar, karena kebebasan berpendapat tetap bisa dilakukan selama meminta izin dari pihak keamanan.
Adapun pasal lain yang mendapat kritik unik adalah pasal yang membahas soal kumpul kebo dan LGBT. Bagi para aktivis LGBT, RKUHP terlalu mencampuri urusan ranjang atau masalah kehidupan sexual masyarakat. Mereka berpendapat bahwa ada sikap deskriminatif pada kaum LGBT, karena seharusnya negara tidak perlu bertindak sejauh itu. Kemudian, RKUHP juga menjerat perilaku sex bebas tanpa adanya ikatan pernikahan atau kumpul kebo.
RKUHP dan pemerintah tentu saja tidak berkeinginan untuk mengatur masalah ranjang atau kehidupan sexual warga negara, sebab itu adalah area personal. Tetapi, yang dijaga oleh RKUHP adalah nilai-nilai Pancasila yang bersifat etika dan moral, khususnya yang terkait dengan nilai-nilai agama. Sebagaimana disebutkan dalam Sila pertama, yaitu Ketuhanan yang Maha Esa. Indonesia memang bukan negara agama, namun negara berkewajiban menjaga moralitas warganya agar tidak keluar dari norma-norma yang ada. Selama masih memiliki sila pertama, maka perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai agama tidak dibenarkan dan tidak diperbolehkan.
Pasal-pasal di atas adalah beberapa contoh aturan atau bagian dari RKUHP yang menimbulkan kontroversi. Sebuah perbedaan pendapat atau kontroversi tidak harus dimusuhi atau membuat perpecahan. Karena Mahkamah Konstitusi membuka diskusi dan menyediakan saluran mengenai rancangan KUHP ini. Suka atau tidak suka, terima atau tidak terima, pada akhirnya keputusan ini harus dipatuhi.[]***
Pengirim :
Tya Vuspita Sari, Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung, email : tvuspitasari@gmail.com