Eta Jois Neda (Foto : Ist) |
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan daerah yang terkenal dengan kekayaan hasil alamnya. Mulai dari segi hasil laut, perkebunan , maupun pertambangan. Pertambangan tambang timah di Bangka Belitung menjadi sorotan perhatian pemerintah khususnya Kementrian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam).
Pertambangan timah ilegal di wilayah Bangka Belitung tak asing lagi di telinga masyarakat. Banyak penambang timah terus melakukan aksinya tanpa ada rasa takut sedikitpun. Pertambangan timah ilegal ini merusak lingkungan dan merugikan negara. Salah satunya terdapat di perairan Teluk Kelabat Dalam, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung, yang merupakan muara belasan sungai dan penyangga Taman Nasional Gunung Maras, tidak luput dari penambang timah laut ilegal.
Aktifitas pertambangan ini menuai pro dan kontra, banyak masyarakat memprotes aktifitas penambangan karena Teluk Kelabat merupakan sumber pangan dan ekonomi masyarakat pangkal Niur dan sejumlah desa lain. Tepatnya di kawasan Tanjung Sunur. Lebih dari seribu keluarga mengandalkan hasil laut dari wilayah kurang lebih 13.000 hektar tersebut. Akibat dari aktifitas tambang timah mengakibatkan jumlah tangkapan nelayan kian menurun akibat terjadinya pencemaran. Banyak kapal nelayan sering kandas dibeberapa titik disebabkan adanya pendangkalan hasil buangan tailing ratusan ponton timah, bahkan ratusan pohon bakau rusak parah.
Sebelum terbitnya Perda No.3 Tahun 2020 Tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau kecil ( RZWP-3-K) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, wilayah tersebut merupakan salah satu dari sekian banyak wilayah IUP PT. Teluk kelabat ditetapkan dalam beberapa wilayah zonasi. Pasal 17 (a) yaitu zona pariwisata yang mencakup Pulau Dante , pasal 26 (b) Teluk Kelabat sebagai zona perikanan budidaya, serta pasal 29 (a) bahwa Teluk Kelabat sebagai zona perikanan tangkap. Artinya , Teluk Kelabat secara sah sudah zero tambang.
Masyarakat yang mata pencaharian sebagai nelayan telah beberapa kali melakukan aksi masa hingga audiensi tetap tidak mampu mengehentikan aktifitas pertambangan tersebut. Pada pasal 80 butir (j) terkait pelanggaran aktifitas penambangan pasir yang secara teknis, ekologis, social dan budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan merugikan masyarakat sekitar. Penertiban tambang timah oleh aparat penegak hukum tidak berjalan efektif, informasi akan hal itu selalu bocor ke pihak penambang. Sehingga para penambang sudah siap menyembunyikan ponton mereka pada saat terjadi razia oleh para penegak hukum dan mereka kembali beraktifitas seperti biasa saat penegak hukum telah pergi.
Pada UU No. 3 Tahun 2020 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara pada pasal 145 ayat 1 butir (a) dan (b) menerangkan bahwa masyarakat berhak menerima ganti rugi akibat kesalahan dalam pengusahaan kegiatan pertambangan dan masyarakat berhak mengajukan gugatan ke pengadilan terhadap kerugian akibat pengusahan pertambangan yang menyalahi ketentuan. Pada pasal 158 mempertegas bahwa setiap orang yang melakukan penambangan tanpa izin dipidana paling lama 5 tahun dan denda paling banyak seratus miliar rupiah. Berkaca pada persoalan tambang ilegal ini, masikah peraturan di Indoneisia ditegakkan?
Pemerintah seharusnya bertindak tegas bagi para penambang, agar konflik horizontal antara masyarakat nelayan dan penambang cepat selesai. Penertiban mesti dilakukan dengan prosedur yang efektif, pemerintah berhak menyindak penambang yang melangar peraturan yang telah dibuat, supaya ekosistem laut Teluk Kelabat terselamatkan dari dampak tambang ilegal.[]***
Pengirim :
Eta Jois Neda, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung, email : etajoisneda037@gmail.com