Dewi Rahmawati (Foto : IST) |
Pada masa setelah pandemic sekarang banyak perubahan terjadi dari hal yang terkecil sampai hal terbesar. Hal yang paling berdampak ialah sosial media karena ia mampu memberikan berbagai informasi yang ada dari seluruh penjuru dunia. Apa yang ingin kita cari semua ada pada sosial media terutama google. Pada google banyak pencarian ataupun laman-laman yang menyediakan tentang kesehatan seperti halodoc, alodokter, Wikipedia, dan juga instagram sebagai platform media sosial banyak memberikan informasi tentang kesehatan. Karena akses pada laman tersebut mudah maka banyak orang yang mencari gejala apa yang sedang ia alami.
Namun, beberapa waktu belakangan ini dari kalangan anak-anak sampai dengan dewasa sosial media yang paling memiliki pengaruh besar saat ini ialah TikTok. Tercatat pengguna aktif TikTok di Indonesia sebesar 99,1 Juta orang pada April 2022 data ini dilansir dari dataindonesia.id.
Kesadaran orang-orang terhadap kesehatan mental bukan hal yang lumrah untuk saat ini, banyaknya konten-konten edukasi tentang kesehatan mental seperti dunia parenting, axiety disorder, bipolar, depresi dan masih banyak lagi yang lainnya. Konten Creator yang sering mendemonstrasikan tentang kesehtan mental itu sendiri banyak yang dari kalangan aktivis, psikolog, psikiater dan juga individu yang mengalami gangguan mental tersebut. Banyaknya konten-konten tentang kesehatan mental membuat para penonton memicu rasa penasaran apa yang sedang dialami individu tersebut. Dari rasa penasaran itulah banyak individu yang melakukan self-diagnose. Tanpa adanya dasar yang jelas tentang gejala yang mereka alami, dan hanya bermodalkan google mereka bisa mendiagnosis gangguan mental pada diri mereka.
Apa sih Self-Diagnose? Self-diagnose sendiri merupakan upaya yang dilakukan untuk mendiagnosis diri sendiri berdasarkan informasi yang diketahui. Self –diagnose ini seseorang yang mencari tahu sendiri penyakit ataupun gangguan yang sedang ia alami dengan berbekal kemampuan dan pengetahuan yang seadanya dan didapatkan secara mandiri. Banyak alasan mengapa seseorang melakaukan self-diagnose. Rasa penasaran yang besar menjadi foktor utama untuk seseorang melakukan self-diagnose. Apapun bentuk alasan seseorang melakukan self-diagnose sebenanya bukan hal yang bisa dibenarkan. Yang mana jika hal ini sering dilakukan maka akan mengganggu psikologis seseorang.
Kesalahan self-diagnose pada individu yang mendapatkan informasi dari internet memiliki dampak yang lebih buruk apabila individu tersebut tidak menangani dengan tepat. Informasi tentang kesehatan mental yang di dapatkan dari internet, artikel, buku, dan juga majalah berfungsi untuk hanya mengenali gejalanya saja dan juga antisipasi terhadap suatu penyakit atau gangguan tersebut. Namun, untuk menggali lebih dalam gejala yang terdapat pada individu tersebut hanya dapat dilakukan oleh orang yang ahli di bidangnya.
Kenapa self-diagnose ini bahaya sih? Itu karena self-diagnose tidak berlandaskan oleh sumber yang tepat dan ditangani oleh orang yang tepat pada bidangnya. Dan juga self diagnose tersebut akan memperburuk kesehatan atapun gejala yang sedang individu itu alami. Buakannya mencari informasi sendiri mendapatkan jawaban yang tepat maka akan memperburuk keadaan akibat ketidakjelasan informasi tersebut dan sangat berdampak pada kesehatan mental individu tersebut.
Self-diagnose pada kesehatan mental akan mengakibatkan hal yang fatal karena terganggu aktifitas keseharian individu tersebut. Dampak dari self-diagnose untuk kesehatan mental bagi individu ialah rasa cemas yang berlebihan, ketakutakan akan hal yang belum tentu terjadi, tertekan bahkan bisa mengakibatkan setres berat yang dialami individu tersebut. Semakin individu merasa tertekan akibat kecemasan oleh suatu gelaja yang di alami maka ia akan mengalami mental down karena berpikir bahwa sesuatu yang ia alami adalah berbahaya.
Upaya yang bisa kita lakukan untuk menghindari self-diagnose ialah menghindari mencari tahu sendiri symptom melalui media sosial atau internet, menghindari tes kesehatan mental melalui internet, dan juga jangan menjadikan penderita gangguan mental sebagai rujukan terhadap gejala yang kita alami. Jika gejala yang dirasakan individu benar-benar sudah tidak bisa di kendalikan individu bisa menghubungi seseorang yang ahli seperti psikolog dan psikiater.[]***
Pengirim :
Dewi Rahmawati, Mahasiswi Jurusan Hukum Universitas Bangka Belitung Jurusan Hukum, email : dewirahmawati0430@gmail.com