Ushul fiqh adalah membangun fiqh diatas dalil-dalil jika atau membangun fiqh diatas qa’idah.. Adapun persoalan ushul fiqh secara umum yaitu: (1) Kondisi dalil dalam penetapannya sebagai hukum dan penerapan hukum tersebut; (2) Segala hal yang berkaitan dengan pengambilan hukum dari dalil-dalilnya seperti mendahulukan nash dari pendapat zahir dan mendahulukan hadits mutawatir dari hadits ahad; (3) Segala hal yang berkaitan dengan mujtahid dan ijtihad serta syarat-syarat ijtihadnya mengikuti ijtihadnya.
Salah satu kaidah ushul fiqh adalah Talfiq yang menurut bahasa (etimologi) berarti menyambungkan dua tepi yang berbeda yang artinya mepertemukan dua tepi kain kemudian menjahitnya. Sedangkan menurut istilah (terminologi) ialah mengikuti hukum tentang suatu peristiwa dengan mengambil pendapat dari berbagai madzab. Ada juga pengertian yang lain tentang talfiq adalah mengambil pendapat lain, baik dalam hal masalah yang sama maupun berbeda.
Terdapat dua hukum dalam penetapan Talfiq yaitu Talfiq yang diperbolehkan hanyalah dalam perkara-perkara furu’ (cabang) yang bersifat zhanni yang dibolehkan terjadi ijtihad, yaitu dalam perkara-perkara yang memungkinkan terjadi perbedaan pendapat di dalamnya, dan Talfiq yang dilarang yaitu bila talfiq tersebut menjurus kepada penghalalan perkara-perkara yang diharamkan secara qath’i atau pasti seperti khamr (miras), zina dan dll. Dan ada yang dilarang bukan menurut dzatnya, tetapi karena ada sesuatu yang mencampurinya. Talfiq ini ada tiga macam yaitu: (1) Menyengaja hanya mencari-cari yang paling ringan (tatabbu’ ar rukhash); (2) mengakibatkan penolakan hukum (ketetapan atau keputusan) hakim (pemerintah); (3) mengakibatkan seseorang meninggalkan apa yang telah diamalkannya secara taklid, atau meninggalkan perkara yang telah disepakati.
Setelah terlewatnya masa ulama salaf dan terlewat pula abad pertama hijriah, ilmu pengetahuan satu persatu dikumpulkan karena kebutuhan para mujtahid untuk mengistinbatkan suatu hukum. Masyarakat semakin berkembang dan persoalan semakin bercabang maka dikumpulkanlah ilmu tentang hal itu dan disebutlah sebagai ilmu ushul fiqh. Sedangkan Hukum perundangan di Indonesia mengadopsi hukum warisan Kolonial Belanda yang kemudian di nasionalisasikan dengan cara merubah nama kitabnya dari Wetboek van Strafrechts menjadi Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP), Burgerlijk Wetboek menjadi Kitab Undang-Undang Perdata (KUHPer), dll. selain pergantian nama kitab, beberapa pasal yang tidak sesuai dengan kebutuhan juga diganti dan disesuaikan.
Langkah ini sangat bermanfaat untuk jangka pendek sebagai pengisi kekosongann hukum di Indonesia yang baru merdeka. Namun Langkah seperti ini akan membunuh karakteristik masyarakat Indonesia yang mana sangat menjunjung tinggi kolektivisme.
Teori Eklektisisme hukum yang digagas Qodri Azizy lebih dekat maknanya denga istilah talfiq, yang artinya adalah mengamalkan pendapat yang dianggap baik. Menurut Ushul Fiqh, Talfiq bisa berupa mengamalkan dua pendapat secara bersamaan. Talfiq boleh dilakukan, namun dengan persyaratan yang ketat. Pertama, pendapat yang dikemukakan oleh mazhab lain itu dinilainya lebih bersikap hati-hati dalam menjalankan agama; kedua, dalil dari pendapat yang dikemukakan mazhab itu dinilainya kuat dan rajih. Melihat konteks ini, maka talfiq berada hanya dalam bingkai doktrin keagaamaan Islam.
Talfiq, tidak terbatas pada Hukum Islam saja, namun untuk membentuk hukum nasional yang mengkompromikan antara Hukum Umum dan Hukum Islam. Eklektisisme adalah sebuah pendekatan ilmiah untuk membentuk hukum nasional dengan memilih atau mengolah berbagai sumber berupa doktrin hukum yang berlaku di Indonesia menjadi satu formulasi yang aktual (sesuai perkembangan pemikiran manusia). Hukum nasional dipengaruhi oleh beberapa doktrin yang berlaku di masyarakat. Namun beberapa sumber tersebut tidak harus dibenturkan, justru harus saling mengkoreksi dan melengkapi satu dari satu bagian lain yang kurang sesuai dengan kondisi aktual di masyarakat.
Pelaksanaan hukum tidak hanya bertanggung jawab secara administratif kepada negara saja, namun juga bertanggung jawab kepada Allah SWT di akhirat nanti. Maka setiap putusan hakim diawali dengan kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pemikirannya ini ditawarkan sebagai solusi atas problematika pembentukan hukum di Indonesia.
Hukum Islam atau Fiqh mempunyai peran besar dalam sumber hukum nasional. Namun Fiqh yang dimaksud adalah Fiqh yang sudah disesuaikan dengan perkembangan zaman, bukan Fiqh yang pasif dan beku. Artinya, tidak hanya mentransfer produk Fiqh klasik, namun juga tidak membuang begitu saja hasil pemikiran ulama Fiqh zaman dahulu. Karena pemikiran fiqaha zaman dulu merupakan living knowledge yang menjadi sumber pemikiran pada zaman sekarang.
Lahirnya reformasi Indonesia menciptakan kesempatan sekaligus tantangan bagi Hukum Islam. Jika sebelumnya Hukum Islam hanya sebagai hafalan pemikiran ulama terdahulu, maka sudah saatnya Hukum Islam lebih empiris dan realistis sesuai dengan tuntutan zaman. Para pejabat pemerintahan dituntut untuk mampu meletakkan Hukum Islam untuk berperan dalam kehidupan umat muslim dan Bangsa Indonesia pada umumnya demi mewujudkan Islam yang Rahmatan lil ‘Alamin (rahmat bagi seluruh alam) dan li-tahqiq mashalih al-nas (memastikan terwujudnya kemashalahatan manusia).
Hukum Umum dan Hukum Islam itu tidak perlu dipertentangkan, karena dalam keduanya terdapat kesesuaian akibat saling pengaruh dan mempengaruhi. Menurutnya, selamanya di masa depan akan selalu terjadi kompetisi hukum, dimana yang paling aktual dan membawa keadilan bagi masyarakat adalah yang akan bertahan. Beliau menawarkan teori eklektisisme hukum dengan harapan hukum yang berlaku dapat sesuai dengan realitas masyarakat Indonesia yang pluralis ini. Konsep eklektisisme ini memposisikan Hukum Umum dan Hukum Islam secara seimbang.[]***
Pengirim :
Tembang Kinanti, Mahasiswa Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi dan BisnisUniversitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah Jakarta, Email : tembangkinanti11@gmail.com