Foto : ILUSTRASI |
Bijih nikel kali pertama ditemukan di Sulawesi pada tahun 1917, salah satu hasil tambang Indonesia ini dalam kehidupan sehari-hari digunakan untuk campuran logam maupun bahan non-logam lainnya. Tambang nikel pertama dikelola oleh PT Vale tahun 1920, sebuah perusahaan yang menjadi saksi sejarah tambang nikel pertama di Indonesia. Sejumlah daerah penghasil nikel terbesar di dunia yang dirilis oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), ternyata berada di Indonesia. Cadangan nikel di Indonesia sebesar 72 juta ton nikel atau setara 52% dari jumlah cadangan nikel di dunia yaitu 139.419.000 ton nikel.
Pemanfaatan nikel untuk bahan baterai terus-menerus meningkat sejak satu dekade terakhir. Popularitasnya semakin meroket pada pertengahan 2020 hingga saat ini, ketika Elon musk (CEO Tesla) semakin agresif mengembangkan bisnisnya dalam produksi EV (electric vehicle atau kendaraan listrik). Dan adanya, isu perubahan iklim (climate change) supaya mengurangi emisi gas karbon, kebijakan green industrial revolution dari perdana menteri Britania Raya, Boris Johnson, melarang penjualan mobil baru yang menggunakan bahan bakar minyak pada tahun 2030, dan wacana Joe Biden, Presiden Amerika Serikat terpilih dalam pemilihan presiden Amerika Serikat 2020, untuk mengakselerasi transisi dari kendaraan konvensional ke EV, menjadi sentimen positif pada industri pertambangan nikel.
Dilihat dari aspek harga, masa depan nikel diprediksi semakin cerah dilihat dari tren peningkatan harga nikel dalam 5 tahun terakhir. Salah satu penyebabnya adalah penurunan pasokan global akibat larangan ekspor bijih nikel oleh pemerintah Indonesia dan aturan ketat penambangan nikel di Filipina, di mana kedua negara tersebut merupakan produsen nikel terbesar di dunia. Mark Selby (CEO Canada Nickel Company) memberikan apresiasi atas kebijakan pemerintah Indonesia dalam wawancara dengan Crux Investor pada 11 Agustus 2020. Karena selain mendongkrak harga nikel, penyetopan ekspor dianggap sebagai kebijakan tersukses bagi negara berkembang untuk mendatangkan investasi dalam jumlah besar. Lebih jauh lagi, bahwa total cadangan dunia pada tahun 2019, adalah 89 juta metrik ton dan tingkat produksi pada tahun yang sama, adalah 2,7 juta metrik ton, data dari US Geological Survey tersebut menyatakan bahwa terlihat cadangan nikel dunia akan habis dalam waktu kurang dari 33 tahun untuk nikel dibanding 220 tahun untuk lithium pada tahun perhitungan yang sama. Padahal menurut data historis, laju pertumbuhan kebutuhan atau permintaan nikel dari tahun 2000 hingga 2016 yaitu sebesar 3,8% per tahun. Terlebih, dari penelitian Wood MacKenzie, menyatakan hanya dari sektor EV, Permintaan nikel dari tahun 2019 sampai 2027 akan meningkat 113%. Tidak lupa, pasar industri manufaktur baja tahan karat (stainless steel) yang saat ini menyerap 70% suplai nikel pun diproyeksikan oleh Market Study Report tetap akan berkembang 6,3% per tahun (CAGR) hingga 2027. Kelangkaan suplai nikel tentunya akan berkontribusi pada peningkatan harga nikel di masa depan, 2021 Maret harga nikel masih di kisaran US$16.000/ton, di mana all-time-high terjadi pada tanggal 16 Mei 2007 yaitu sebesar US54.200/ton. Artinya, masih ada peningkatan harga yang sangat besar.
Dari aspek daur-ulang (recycling), nikel mempunyai tingkat efisiensi tinggi. Hingga 68% barang konsumsi (consumer products) berbahan nikel telah didaur-ulang. Salah satu penyebabnya adalah karena nikel itu merupakan logam non-ferrous, sehingga tahan karat dan dapat digunakan berulang-ulang tanpa mengurangi kualitasnya. Meskipun industri daur-ulang ini dapat menjadi kompetitor industri pertambangan dari nikel, namun dalam jangka pendek hingga menengah (short- hingga mid-term) justru mampu menjadi katalis positif konsumsi nikel dunia karena memberi pandangan ramah-lingkungan. Oleh karena itu, industri pertambangan akan masih menjadi leader, khususnya untuk memenuhi kebutuhan nikel yang masih dalam tahap bertumbuh, peluang usaha pertambangan nikel cukup menjanjikan dilihat dari agresivitas industri EV, teknologi baterai EV yang berbahan dasar nikel, dan harga komoditas nikel.
Walaupun ekspor nikel dilarang oleh pemerintah karena harus melakukan hirilisasi (mengubah bahan mentah ke produk) demi membuat negara Indonesia mendapat keuntungan lebih, namun dari melakukan itu, ada negara yang tidak suka Indonesia menjadi berkembang dan Indonesia pun berakhir dengan kalah gugatan dengan Uni Eropa yang mengakibatkan Indonesia harus mengekspor nikel kembali. Permintaan dari hasil tambang nikel akan terus bertambah, tak hanya untuk memenuhi kebutuhan domestik tetapi juga pasar ekspor. Pada tahun 1966, pasar ekspor pertama hasil tambang nikel dibuka. Dalam sejarah tambang nikel tercatat 133,65 ribu ton hasil tambang nikel yang dikirim ke luar negeri, diantara-Nya ada 4 negara pengekspor nikel terbanyak, antara lain ; China mencapai 3.989.894 ton atau hampir 4 juta ton, Jepang 80.524 ton, Australia 51.170 ton, dan terakhir ada Yunani sebanyak 38.553 ton.
Saat ini Indonesia masih memegang posisi pertama dalam produksi nikel secara global dan cadangan nikel terbanyak juga dipegang oleh Indonesia dengan nilai cadangan sebesar 72 juta Metrik Ton (MT) atau 52 persen cadangan nikel dunia dan pada peringkat kedua terdapat Australia yang mempunyai cadangan sebanyak 15 persen, lalu ada Brazil 8 persen, Rusia 5 persen, dan 20 persen tersebar di negara-negara lain.
Kesimpulan yang dapat diambil yang Pertama, yaitu peluang usaha pertambangan nikel cukup menjanjikan dilihat dari agresivitas industri EV, teknologi baterai EV yang berbahan dasar nikel, dan harga komoditas nikel. Kedua, Indonesia mempunyai peluang besar mendapatkan investasi pengembangan Tesla (atau bahkan bisa perusahaan EV lainnya) dari segi kualitas nikel, namun perlu diperhatikan bahwa Elon Musk menginginkan rantai-pasok (supply-chain) Tesla yang didapat dari sumber yang beretika, khususnya untuk lingkungan (sumber energi, emisi gas karbon, dan air). ketiga, yaitu dari sisi suplai atau produksi-cadangan. Agar memenuhi permintaan nikel yang selalu meningkat, target produksi penambangan nikel pun harus ditingkatkan. Konsekuensinya, untuk mempertahankan pasokan nikel dalam jangka menegah, peningkatan sumber daya menjadi cadangan melalui studi kelayakan sudah menjadi keharusan yang mendesak, atau kegiatan eksplorasi untuk peningkatan sumber daya dapat menjadi strategi selanjutnya. Terakhir, alih-alih sebagai kompetitor yang menghambat, industri daur-ulang nikel bisa menjadi pemicu konsumsi nikel yang lebih tinggi.[]
Pengirim :
Aryo Sadewo, Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, email : aryo.sadewo22@mhs.uinjkt.ac.id