Seperti apa yang sering kita dengar, filsafat secara umum adalah kegiatan berpikir sistematis, radikal dan universal. Berfilsafat berarti berendah hati bahwa tidak semuanya pernah kita ketahui dalam kesemestaan yang seakan tak terbatas ini. Demikian pula, berfilsafat berarti mengoreksi diri, semacam keberanian untuk berterus terang, seberapa jauh sebenarnya keberanian untuk berterus terang, seberapa jauh sebenarnya yang dicari telah terjangkau. Lantas bagaimana filsafat Islam dalam ilmu Ushul Fiqih?
Sebagaimana di jelaskan bahwa perkenalan umat Islam dengan filsafat di mulai dari perluasan wilayah yang dilakukan oleh umat Islam sejak masa Khulafaurrasyidin. Penterjemahan karya-karya filsafat Yunani mulai dilakukan pada massa Bani Umayyah dan mencapai masa keemasannya pada masa Bani Abbasiyyah. Filsafat Islam bukan filsafat tentang Islam. Filsafat Islam artinya berpikir dengan bebas dan radikal namun tetap berada pada taraf makna, yang mempunyai sifat, corak, serta karakter yang menyelamatkan dan memberi kedamaian hati.
Rasionalitas filsafat Islam, terletak pada kemampuannya menggunakan potensi berpikir bebas, radikal, dan berada pada tataran makna, untuk menganalisis fakta-fakta empirik dari suatu kejadian, dalam bangunan sistem pengetahuan yang ilmiah. Sementara transendensinya terletak pada kesanggupan mendayagunakan kalbu dan intuisi imajinatif, untuk menembus dan menyatu dalam kebenaran gaib secara langsung, dan menjadi saksi kehadiran Allah dalam realitas kehidupan.
Beralih dari filsafat Islam, Ushul fiqih berarti dalil-dalil atau dasar-dasar, atau dapat di artikan juga dengan kaidah-kaidah bagi fiqih, seperti Al-Qur’an, Hadist Rasulullah, ijma’, qiyas, dan lain-lain. Jika fiqh diartikan sebagai pengetahuan tentang norma hukum syara’ tentang perbuatan manusia yang ditemukan dari dalil-dalilnya yang rinci, maka makna ushul fiqih yang sesungguhnya adalah kaidah-kaidah yang digunakan untuk menggali dan menemukan norma-norma hukum suatu perbuatan manusia yang diambil dari dalilnya yang rinci.
Tentu saja ada perbedaan di antara ushul fiqih dan fiqih, yaitu bahwa ushul fiqih adalah metode atau kaidah atau dalil atau dasar yang harus ditempuh dalam upaya memperoleh kejelasan norma syara’ atas hukum suatu perbuatan dari dalil-dalilnya. Sedangkan fiqih adalah hasil yang berupa norma-norma hukum yang didapat dengan tata cara tersebut diatas. Hubungan antara ushul fiqih dengan fiqih adalah seperti hubungan ilmu logika dengan ilmu-ilmu lain yang berbasis filsafat, atau seperti hubungan ilmu nahwu dengan tata cara berbicara dalam bahasa Arab atau tata cara menulisnya.
Ushul fiqih bertujuan memberikan pengetahuan kepada umat Islam tentang bagaimana jalan dalam mendapatkan hukum syara’, dan cara-cara untuk mengistinbathkan satu hukum dari dalilnya. Dengan menggunakan ushul fiqih, maka seseorang akan terhindar dari taklid, sebagaimana seorang mujtahid mengggunakannya dalam mengistinbathkan furu’ (cabang) dari ushul (asal). Begitu juga sebagaimana dilakukan oleh seorang muttabi’ dalam mengembalikan furu’ (cabang) kepada ushul (asal).
Menurut para pakar, ushul fiqih tersusun dari gabungan berbagai disiplin ilmu, yakni logika Aristoteles, kaidah bahasa Arab (logika kebahasaan), teologi (ilmu kalam), ilmu fiqh, dan ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadist. (Arkoun, 1994: 81) Bahkan menurut al-Ghazali, ilmu ushul fiqih merupakan ilmu yang paling tinggi derajatnya, karena merupakan gabungan dari dua jenis ilmu yakni ilmu naql murni seperti al-Qur’an, Hadits, dan ilmu ‘aql murni seperti logika. epistemologi ushul fiqih berbeda dengan epistemologi hukum Islam. Epistemologi ushul fiqih berbicara tentang sumber, watak pengetahuan, dan kriteria kebenaran dari sebuah ilmu yang bernama ilmu ushul fiqih, sementara epistemologi hukum Islam berbicara tentang sumbersumber hukum Islam. Mengingat ilmu ushul adalah ilmu tentang kaidah (dalil kulli), maka epistemologi ushul fiqih tiada lain adalah sumber, watak pengetahuan, dan kriteria kebenaran yang dipergunakan oleh kaidah (dalil kulli fiqh).
Ushul fiqih sebagaimana keterangan diatas, mempunyai kedudukan yang terhormat karena mempunyai unsur-unsur keilmuan yang lain. Sejak tahun 1944, Syaikh Musthafa Abdul Raziq pertama kali melontarkan pikiran bahwa ilmu ushul fiqh adalah bagian dari filsafat Islam.
Disamping ilmu-ilmu yang lain, filsafat Islam yang menjadi salah satu unsur pembentuk ushul fiqih, berkontribusi cukup besar dalam mendorong perkembangan ushul fiqih. Sebagai landasan teori yurisprudensi Islam, kaidah-kaidah ushul fiqih akan selalu relevan diberbagai zaman bila dikembangkan dengan pemikiran filosofis. Sudah tentu hasil atau output yang dihasilkan ushul fiqih diharapkan bisa melunakkan dominasi fiqih yang terkadang terkesan kaku dan anti perubahan.[]***
Pengirim :
Clara Elmira Junjunan Tisna, Mahasiswa Universitas Islam Negeri Jakarta, email : claraelmira5@gmail.com