Notification

×

Iklan

Iklan

Pemuda Aceh Singkil Bicarakan Toleransi Bersama Lintas Organisasi di Banda Aceh

Kamis, 27 Oktober 2022 | Oktober 27, 2022 WIB | 0 Views Last Updated 2022-10-27T02:04:40Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik


Tamiang-News, Banda Aceh
| Sedikitnya enam orang perwakilan pemuda lintas agama dari Kabupaten Aceh Singkil bertemu dengan sejumlah kalangan, dari Civil Society Organization (CSO), organisasi mahasiswa islam, hingga perwakilan pemuda gereja di Banda Aceh. 

Pertemuan secara terpisah ke masing-masing kelompok muda ini berlangsung selama dua hari, yakni Senin hingga Selasa, 24-25 Oktober 2022, di kantor Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh.

Para pemuda dalam kesempatan tersebut mendiskusikan perspektif mereka dan saling bertukar pikiran terkait kondisi toleransi di Aceh, dan secara khusus juga meng-update masalah pendirian tempat ibadah di Aceh Singkil. 

Dalam pertemuan dengan lintas CSO, hadir perwakilan dari Flower Aceh, Solidaritas Perempuan (SP) Bungong Jeumpa Aceh, Laboratorium Pengembangan Sosial Keagamaan (LABPSA) dan alumni Sekolah HAM KontraS Aceh. 

Selain itu, dalam pertemuan dengan lintas organisasi mahasiswa muslim dihadiri sejumlah perwakilan dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Aceh dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Aceh. Di sesi berikutnya, para pemuda Aceh Singkil juga bertemu dan berdiskusi dengan perwakilan pemuda gereja di Banda Aceh.

Kevin Sedianto Padang, pemuda kristen Aceh Singkil mengatakan, toleransi sejatinya telah berjalan secara organik dan mengakar di Singkil dengan adanya keterikatan adat. Sehingga dalam praktik keseharian, relasi antar-umat baik muslim dan kristen di sana terjalin erat dan saling menghargai satu sama lain. Namun dirinya khawatir dengan berlarut-larutnya persoalan perizinan rumah ibadah yang hingga kini belum menemukan titik terang.

“Situasi sosial berlangsung normal, namun persoalan rumah ibadah di Singkil menjadi ancaman laten. Kita khawatir ini bakal terusik, karena ada hak sebagian umat beragama yang belum terpenuhi,” ujarnya.

Sementara itu, persyaratan pendirian rumah ibadah melalui Qanun 4 Tahun 2016 tentang pedoman kerukunan umat beragama dan pendirian tempat ibadah, sulit sekali dipenuhi oleh penganut nasrani di Singkil. Hambatan dalam memperoleh dukungan untuk tempat ibadah ini sudah dialami hingga bertahun-tahun lamanya, sehingga perlu pendekatan alternatif untuk menyelesaikan masalah itu.

“Persoalan di Singkil sulit diselesaikan lewat pemenuhan syarat melalui Qanun 4/2016, karenanya perlu disegerakan dialog dengan representasi yang setara dari masing-masing umat beragama, dan penting juga melihat upaya pemenuhan hak beribadah ini berbasis pada kebutuhan, bukan keinginan semata,” ujar Kevin.

Ia juga mengatakan, situasi tersebut turut dirasakan hingga ke kalangan anak muda di Aceh Singkil. Karenanya mereka merasa perlu diberi ruang untuk ikut menyuarakan penguatan toleransi antar-umat beragama.

“Pemuda lah yang akan mewarisi kehidupan sosial Singkil di masa depan, jangan sampai sentimen yang muncul karena masalah rumah ibadah ini terus turun temurun,” harapnya.

Dian Saputra, salah satu pemuda muslim Aceh Singkil, mengutarakan adanya semacam prasangka di masing-masing pihak, “terutama soal klaim siapa warga asli dan pendatang, ego semacam ini harusnya kita hilangkan, prasangka yang terus saja diwariskan dan belum sepenuhnya tuntas,” kata dia.

Ia mendorong para pemuda ikut mengambil peran mengantisipasi munculnya narasi politik kebencian terlebih di tahun-tahun politik mendatang. Pemuda perlu bersatu padu menyuarakan damai bagi semua kalangan, demi masa depan Singkil yang lebih baik. Situasi tersebut juga perlu direfleksikan dan menjadi pembelajaran bagi daerah lainnya.

Di sisi lain, para pemuda juga mendiskusikan persoalan lainnya berkaitan dengan toleransi, yakni tentang hak memperoleh pendidikan agama bagi semua pelajar/siswa dari agama mana pun. Adventina, salah satu perempuan muda asal Singkil berharap adanya keseriusan pemerintah memperhatikan masalah ini.

“Meski di sekolah-sekolah Singkil banyak siswa kristen, namun kebanyakan sulit mendapatkan pendidikan agamanya sendiri, karena tidak tersedianya guru agama kristen di sekolah,” kata Adventina.

Para pemuda bersepakat bahwa pertemuan bersama lintas kalangan ini penting ditindaklanjuti. Mereka mendesak pemerintah agar segera menyelesaikan masalah rumah ibadah di Singkil dengan pendekatan dialog, serta menyuarakan penolakan terhadap politisasi isu agama yang dapat memecah belah masyarakat. 

“Ke depan, pertemuan serupa harus diperbanyak, sehingga ruang-ruang diskusi ini bisa semakin mempererat rasa persaudaran pemuda dari lintas agama, untuk masa depan Aceh Singkil yang damai,” tutup Kevin.[]Red/Rel

×
Berita Terbaru Update