Foto : ILUSTRASI |
Gender sendiri merupakan pengelompokan manusia berdasarkan sifat dan perilaku yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk secara sosial maupun budaya. Bisa diartikan juga dengan suatu karakteristik yang terikat pada maskulinitas dan femininitas. Karena pengelompokan itulah memunculkan suatu perbedaan yang sangat mencolok di antara keduanya. Jika dilihat dalam sisi kuantitasnya, Berdasarkan data yang diperoleh dari Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), jumlah populasi laki-laki di dunia mencapai 50,42 % dari populasi dunia atau sebanyak 3,97 miliar jiwa. Sedangkan, jumlah populasi wanita memiliki presentase 49,58% dari populasi dunia yakni di angka sekitar 3,90 miliar jiwa. Dari data tersebut populasi laki-laki mendominasi dari jumlah penduduk yang ada di dunia, walaupun hanya terpaut angka yang sedikit.
Sejak awal sejarah kehidupan manusia, perilaku patriarki yang dimana laki-laki lebih diutamakan dalam masyarakat atau kelompok sosial, muncul karena persepsi produktif dan reproduktif terhadap perempuan dan laki-laki. Karena rentang kehidupan manusia yang singkat, dan hanya kaum perempuan yang dapat hamil dan melahirkan keturunan baru, maka dari itu, perempuan lebih diutamakan dalam rumah tangga dan pengasuhan anak. Sedangkan laki-laki memiliki tanggung jawab untuk melakukan banyak hal, dari melakukan suatu pekerjaan hingga memimpin suatu kelompok individu. Oleh karena itu, manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan bermasyarakat, manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan dari manusia lainnya. Berdasarkan hal tersebut, munculah sebuah gagasan untuk menyeimbangkan dua instrumen yang melekat pada sebuah gender demi terciptanya sebuah kesetaraan dalam kehidupan manusia.
Dari pandangan beberapa ahli ilmu sosial dan tafsir, mereka berpendapat bahwa manusia di alam nyata ini adalah sama. Ayah mereka adalah Adam dan ibunya adalah Hawa. Jika mereka mempunyai kemuliaan pada asal usul mereka yang patut dibanggakan, maka tak lebih dari tanah dan air. (Ahmad Musthafa al-Maraghi, 1997: 234). Karena itu, pada dasarnya laki-laki dan perempuan itu sama, karena suatu aspek sosial budaya, posisi, sifat dan kebiasaannya sudah terlekat dalam diri masing-masing.
Terciptanya suatu kesetaraan dari suatu perbedaan yang sudah melekat sejak awal kehidupan manusia, tidak mudah untuk diubah ataupun disetarakan dalam segi aspek sosial budaya, posisi, sifat dan kebiasaannya. Karena dalam ajaran Islam, laki-laki dan perempuan sudah memiliki qodrat (peran dan posisi) nya masing-masing. Islam memiliki pandangan dua hal terkait penyetaraan gender ini, baik dalam hal keagamaan maupun sosial bermasyarakat.
Pandangan yang pertama terkait diciptaakannya Laki-laki untuk memimpin dan melindungi perempuan, karena laki-laki sedari qodratnya sudah memiliki fisik yang lebih kuat dan pengendalian emosional yang lebih baik. Sehingga diperintahkan bagi laki-laki untuk mencari nafkah untuk isterinya serta dalam hak kewarisannya memiliki bagian yang lebih besar daripada perempuan, oleh karena itu, laki-laki yang diwajibkan untuk membayar sebuah mahar pernikahan. Perempuan juga sama, bahwa baginya sudah ada tugas-tugas sesuai fitrahnya sendiri seperti hamil, melahirkan, memelihara anak, dan mengatur di dalam rumah tangga. Karena qodrat tersebut, dalam pandangan ini penyetaraan gender tidak mungkin untuk dilakukan.
Pandangan kedua ialah prinsip bahwa laki-laki dan perempuan sama statusnya sebagai seorang hamba. Karena dalam Al- Qur’an sudah dijelaskan bahwasanya tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan tentang siapa yang banyak amal ibadahnya, maka itulah mendapat pahala yang besar tanpa harus melihat dan mempertimbangkan jenis kelaminnya terlebih dahulu. Untuk menjadi seorang hamba yang ideal atau dalam Al-Qur’an diistilahkan sebagai orang-orang yang bertaqwa (al-muttaqun), keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama tanpa adanya perbedaan. Perbedaan dari sisi biologisnya laki-laki dan perempuan pun tidak menjadi penghalang ruang gerak sebagai perempuan untuk memiliki hak yang sama di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam konteks bermasyarakat, syarat kepemimpinan juga tidak ditentukan oleh gender, akan tetapi lebih pada syarat kualitatif kemampuan manajerial dan leadership yang dibutuhkan, calon pemimpin harus memiliki lingkaran pengaruh yang kuat, sehingga ia dapat diterima oleh masyarakat itu sendiri. Karena kualitas dari personal itu sendiri, intelektual, dan kemampuan manajerial merupakan syarat untuk menjadi pemimpin. Dalam pandangan ini, kesetaraan gender dipandang menjadi sebuah hal positif.
Dari kedua pandangan di atas, tentu kesetaraan gender memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Salah satu contoh kelebihan dari kesetaraan gender, yakni bahwa perempuan yang selama ini dianggap menjadi korban ketidakadilan gender yang mengatasnamakan agama dapat terselamatkan. Adapun kekurangannya yaitu banyak yang salah mengartikan kesetaraan gender, karena dalam prinsip dasar kesetaraan gender, setara bukan berarti sama. Hal ini ditimbulkan karena kemauan perempuan dalam emansipasi sangat tinggi, hingga tak jarang dijumpai, banyak perempuan yang telah melupakan qodratnya.
Di era peradaban yang mengalami modernisasi ini, sudah pastinya akan terjadi banyak perubahan-perubahan pemikiran. Meninggalkan pemikiran-pemikiran yang dinilai kuno, tidak berkembang, dan tidak memberi perubahan adalah cara berfikir manusia saat ini. Termasuk salah satunya meninggalkan stigma yang menempel di masyarakat mengenai perempuan yang memiliki kedudukan dibawah laki-laki. Dengan adanya kesetaraan gender inilah perwujudan dari beberapa hak-hak seorang perempuan yang sebelumnya dibatasi oleh stigma sosial masyarakat kini menjadi lebih terbuka dan terkesan lebih bebas. Namun dalam kebebasan ini, Islam tentunya telah memberi Batasan-batasan terkait kesetaraan gender tersebut. Pemberian batasan bertujuan agar seorang perempuan tidak meninggalkan qodratnya yang memang seharusnya dilaksanakan olehsetiap perempuan.[]
Pengirim :
Syafa Dian Adani, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Magelang, email : syafadian18@gmail.com