Oleh : Zsa Zsa Nur Rafi'za*
Sebagai negara yang menjunjung tinggi supremasi konstitusi, Indonesia menganut sistem demokrasi sudah menjadi sebuah konsekuensi logis untuk tetap melaksanakan amanat Undang-Undang Dasar 1945, yakni pelaksanaan pesta demokrasi dalam wujud pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah dengan tujuan menjaga keseimbangan ketatanegaraan republik Indonesia. Hal ini terejawantahkan melalui UUD 1945 Pasal 22E yang pada intinya pelaksanaan pemilihan umum dalam pemilihan presiden dan anggota legislatif diselenggarakan setiap lima tahun sekali.
Begitu juga dalam hal pemilihan kepala daerah yang tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang. Namun, dengan melihat isu yang sedang berkembang sekarang, adanya sebuah narasi yang ingin melakukan penundaan pesta demokrasi lantaran hal ini Indonesia sedang dihadapi dengan situasi pandemi dan berupaya dalam hal pemulihan stabilitas ekonomi dan politik, tentu analogi yang dinarasikan tidak sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum serta Konstitusi kita UUD 1945. Narasi untuk tetap melangsungkan adanya penyelenggaraan pemilihan serentak di tahun 2024 adalah sebagai wujud untuk mengawal stabilitas dalam bidang hukum, politik serta keamanan yang dalam hal ini bingkai demokrasi Indonesia.
Secara argumentatif, ketika pelaksanaan pemilihan umum dan pilkada pada 2024 nanti dilakukan penundaan, tentu hal ini akan berindikasi dapat mencederai pesta demokrasi di Republik Indonesia. Ketika agenda pelaksanaan pemilu di tahun 2024 sudah sampai di khalayak ramai, maka akan menjadi sebuah konsekuensi logis pula apabila pelaksanaannya ditunda yang akan menimbulkan paradigma di tengah masyarakat bahwa hal ini bukan semata ingin demi kepentingan demokrasi, namun adanya kepentingan politik terhadap proses demokrasi di Indonesia.
Seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, jika menilik dan membahas terkait penundaan sebagian tahapan ataupun seluruh tahapan pemilu yang disebut dengan istilah pemilu lanjutan atau pemilu susulan yang disebabkan apabila terjadi kerusuhan dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia, terjadi bencana alam yang pada akhirnya tidak memungkinkan untuk melangsungkan pelaksanaan daripada pemilihan umum, gangguan keamanan yang mengancam stabilitas Negara Indonesia serta terindikasi gangguan lainnya yang disinyialir berakibat dan berimplikasi terhadap pesta demokrasi tersebut.
Oleh sebab itu, alasan pandemi untuk pemulihan status ekonomi tidaklah diamanatkan dalam Undang-Undang. Apabila wacana penundaan pemilihan umum tetap dilangsungkan, dari sisi ekonomi akan berdampak pada para investor pengusaha yang akan menganggu iklim investasi, karena adanya inkonsistensi negara dalam menjalankan aturan. Tentu juga, polemik dan kontrovesi akan berpotensi membuka kotak pandora amandemen konstitusi apabila penundaan pemilu 2024 terjadi. Dalam UUD 1945, tidak mengenal adanya istilah penundaan pemilu, konstitusi bahkan mengamanatkan kepastian pelaksanaan kontestasi lima tahunan tersebut.
Selain dari itu, apa yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 sejatinya memiliki hubungan dengan adanya semangat dari pembatasan kekuasaan sebagai salah satu tuntutan utama gerakan reformasi. Yang mana tuntutan hadir diperkuat melalui amandemen konstitusi, pelaksanaan pemilihan umum akan tetap harus berlangsung sebagai satu-satunya jalan bagi sirkulasi kekuasaan secara demokratisasi. Jika melihat peta dan dinamika yang hadir, wacana penundaan pemilu tersebut muncul dikalangan para elite politik belaka, yang dilangsungkan melalui mekanisme survei politik opini publik. Bukanlah hadir dari aspirasi rakyat.
Sejatinya esensi demokrasi menekankan adanya kesinambungan serta keserasian antara gagasan, elite politik dan aspirasi publik yang dalam hal ini pemilih. Dengan melihat kondisi tersebut, secara sosiologis dan juga berdasarkan dengan temuan survei indikator publik politik Indonesia yang penulis rangkum selama kurang lebih dalam waktu tiga bulan terakhir, adanya dukungan publik terkait pergantian kepemimpinan nasional maupun lokal melalui tetap berjalannya pelaksanaan melalui pemilihan umum 2024 meski dalam kondisi pandemi.
Dengan demikian, demi menjunjung tinggi supremasi hukum dan supremasi konstitusi serta menjaga kualitas demokrasi di negara Indonesia, dengan alasan yang menyatakan adanya wacana penundaan pemilu 2024 yang dilontarkan oleh elite politik, maka pelaksanaan pemilu 2024 tetaplah harus dilangsungkan dan tidak boleh ditunda-tunda.
Ada satu adagium yang menurut penulis sesuai dengan keadaan sekarang, yakni Fiva Justia Ruat Caellum, bahwa hukum tetap harus ditegakkan walaupun langit itu runtuh. Sejalan juga dengan adagium Vox Populi Vox Dei bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan. Jika ditarik dalam konteks ini, maka sesuai amanat dan kehendak rakyat yang tetap ingin melangsungkan pelaksanaan pemilihan umum 2024 nanti, maka tetaplah harus untuk dilaksanakan. Dengan mengesampingkan alasan pragmatisme politik. Jadi dapat disimpulkan dari uraian di atas, Pandemi Covid-19 bukan alasan untuk dilakukan penundaan pesta demokrasi 2024 mendatang. []
*Penulis adalah mahasiswi Universitas Bangka Belitung, email : zsazsarara03@gmail.com