Notification

×

Iklan

Iklan

Ketika Pintar Saja Tidak Cukup

Senin, 03 Januari 2022 | Januari 03, 2022 WIB | 0 Views Last Updated 2022-01-03T08:29:59Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Ahmad Syahabuddin Mahasiswa Semester 3 FITK Mahasiswa MMPI UIN Jakarta

TamiangNews.com | Setiap orangtua menginginkan anaknya tumbuh menjadi anak yang pintar. Maka dari itu sejak kecil sudah dikenalkan dengan cara membaca, menulis dan menghitung dengan harapan supaya lebih siap ketika anaknya memasuki bangku sekolah. Sebagai orangtua pasti senang dengan pengetahuan anaknya yang semakin hari semakin berkembang. Apalagi ketika anak mau  menghadapi ujian, hampir semua orangtua memantau kondisi belajar anaknya. Bahkan seorang ibu rela meninggalkan waktu istirahatnya demi mendampingi buah hatinya belajar mempersiapkan ujian keesokan harinya. Jika ada nilai yang dianggap rendah, maka spontan orangtua mencarikan alternatif tambahan belajar dengan ikut les atau privat meski dengan biaya dan waktu yang tidak sedikit. Dengan harapan bisa menambah pengetahuan yang dimiliki anak agar bisa berprestasi dan tentu menjadi kebanggaan tersendiri bagi orangtua. Ada pertanyaan menarik, cukupkah anak pintar saja?


Menurut Anthony Dio Martin, seorang pakar psiokologi mengisahkan ada seorang anak SD kelas 5. Selalu menjadi bintang di kelas. Tapi yang sering ia lakukan adalah mem-bully adiknya sendiri dan mengancam kalau ranking adiknya tidak boleh sampai lebih tinggi daripada dirinya. Ia sangat ambisius. Pernah satu kali Ketika ia gagal meraih rangking 1, ia mengurung dirinya di kamar berhari-hari, menangis, tidak mau makan, sampai melempari barang-barang di kamarnya. Ada juga seorang karyawan IT pintar dianggap tidak perform dalam pekerjaannya. Posisinya sebagai konsultan IT di perusahaan digital marketing. Karena kerjanya kurang memuaskan, ia pun diberhentikan. Ia pun menjadi marah, dan dengan kepintarannya ia pun menghapus semua data milik atasannya. Semua kontrak dan data penting milik atasannya dihapus dari jarak jauh. Perusahaan ini sampai merugi banyak. Si anak muda inipun, dipenjarakan karena ulahnya. Begitu juga, ada seorang juara kelas di SMA yang sangat merusak. 


Siapa yang dirusak? Dirinya sendiri, kalau dia dapat nilai jelek ataupun gagal dalam sesuatu. Ia cenderung dengan emosional, bisa menghancurkan banyak hal. Bahkan, selain merusak barangnya sendiri, ia pun bisa menyilet dirinya. Itulah sebabnya dalam sebuah artikel di majalah The Economist pada tahun 2019 dengan judul yang tidak biasa “The Curse of the Genius”, Kutukan anak-anak Jenius. Ternyata, anak-anak yang jenius, yang pintar di sekolah berpotensi bermasalah. Maka orangtua harus mulai waspada!. Intinya, anak yang bodoh jadi masalah buat orangtua. Tapi, yang pintar pun ternyata membawa problem tersendiri.


Makanya menurut Bapak Pendidikan Karakter Dunia yakni Prof. Thomas Lickona, tujuan Pendidikan bukanlah sekedar pintar, lulus atau diterima kerja di tempat yang terhormat. Tapi menurutnya, secara sederhana, ada dua sisi. Yaitu sisi kognitif (pikiran) dan sisi afektif (perasaan). Di satu sisi, anak dididik menjadi pintar, tapi juga perlu menjadi baik. “To be Smart and To be Good”. Maka di sinilah sisi karakter menjadi penting.


Makanya, kalau dulu, kita selalu diingatkan secara bercanda, bahwa dikatakan tujuan Pendidikan adalah 3R yakni Reading (membaca), wRiting (menulis) serta aRithmetics (menghitung). Sekarang dikatakan bahwa itu tidak cukup. Kita membutuhkan dua komponen R lainnya yaitu: Respect (menghormati) serta Responsibility (bertanggungjawab).


Intinya, kalau disingkat maka dikatakan, selain membangun generasi yang sukses kita pun perlu membangun generasi yang BBM. Apakah itu? BBM adalah Berkarakter, Bahagia dan Mulia. Agar berkarakter ada 6 pilar karakter penting yang harus dibangun pada anak kita yaitu:

1. Dapat dipercaya;

2. Bertanggungjawab;

3. Menghormati;

4. Sportif, adil;

5. Peduli, perhatian;

6. Cinta tanah airnya

Bahagia. Apalah gunanya anak kita berprestasi, sukses, pintar tapi kehidupan mereka tidak Bahagia? Anak yang bahagia tercermin dari vibrasinya yang positif, dan anak-anak inipun tidak butuh banyak pelarian misalkan ke obat-obatan untuk mengobati perasaan mereka yang terluka.


Mulia. Mengapa mulia? Alangkah bagusnya jika anak-anak yang pintar dan berbakat ini lantas bisa memiliki tujuan yang bukan sekedar untuk mereka sendiri. Tidak menjadi egois. Tapi, mereka juga dilatih untuk memikirkan hal-hal yang sangat mulia.


Salah satu kisah yang menginpirasi soal anak dengan kehidupan mulia, misalnya kisah hidup Brenden Stephen Foster, asal Bothell, Washington. Ia seorang anak yang pada tahun 2005 didiagnosis dokter dengan penyakit lymphoblastic leukemia. Sebagai anak cerdas, sebelumnya hidupnya berakhir, ia punya satu cita-cita yakni memberi makan kepada para gelandangan. Mimpinya terdengar oleh stasiun radio dan televisi. Lantas, idenya pun disiarkan dan ternyata respons yang didapat begitu luar biasa. Berkat impiannya itu, ada sekitar 2.500 piring makanan diberikan kepada para gelandangan atas nama Brenden. 


Bahkan, ada veteran perang yang begitu tersentuh oleh kisah Brenden, sampai-sampai ia memberikan medali kepahlawanannya yang ia terima kepad Brenden ini sebelum meninggal.


Ada banyak problematika di seputar membesarkan dan mendidika anak dewasa ini. Makanya, ada dua sisi penting untuk dilihat. Salah satunya adalah bahaya kalau kita tidak mampu mengatasinya. Dan di sisi yang lain, kalau kita bisa menghadapinya, ini memberi peluang. Peluang untuk membentuk pribadi yang lebih matang, lebih dewasa. Dan buat kita yang bertugas sebagai pendidik dan orangtua, kita pun ikut dikembangkan oleh segala permasalahan yang kita hadapi. Jadi tidak selamanya masalah itu buruk. Tergantung dari sisi mana melihatnya. Termasuk permasalahan yang kita hadapi dengan anak remaja kita saat ini.


Ada beberapa permasalah yang dihadapi dalam mendidik anak supaya tidak hanya pintar tapi juga matang: Pertama, soal tantangan kehidupan anak remaja saat ini. Di sini kita melihat bahwa ada begitu banyak problem dan situasi kekinian pada anak-anak sekarang yang berbeda dengan dekade-dekade sebelumya. Jika dulu, anak menjadi pintar saja cukup, sekarang kita melihat justru banyak anak pintar yang bermasalah. Bahkan ada penelitian yang menunjukkan bahwa anak-anak pintar berpeluang jadi pengguna obat-obatan. Itulah yang menjadi beban, sekaligus tantangan. Tantangannya, anak sekarang ternyata tidak cukup dibekali dengan ilmu-ilmu akademis saja, mereka perlu ilmu kehidupan lainnya. Salah satunya ilmu mengelola diri dan mengelola orang lain.

Kedua, faktor penting untuk menjawab tantangan itu adalah orangtua. Sebab orangtua baik ayah maupun ibu, punya tanggungjawab untuk membangun kedewasaan anaknya. Namun, bagaimana membangun anak yang matang  kalau orangtuanya juga sering bersikap kekanak-kanakan? Problemnya, kematangan bukanlah soal usia tapi pada persoalan cara berpikirnya.


Ketiga, faktor lain yang penting dalam mendidik anak tentunya para pendidik di sekolah-sekolah ataupun tempat Pendidikan formal lainnya. Itulah para guru. Guru makin berperan sebab lamanya waktu studi dari waktu ke waktu ternyata makin lama. Para guru makin berpengaruh bagi perkembangan mental anak didiknya. Karena itulah, guru sendiri harus sadar bahwa bukan hanya apa yang disampaikannya yang berpengaruh, tanpa sadar guru-guru pun akan ditiru.

Keempat, adalah lingkungan dan program yang mendukung. Lingkungan ini sangat berperan dalam rangka membentuk seorang remaja menjadi pribadi yang matang. Kelak mereka akan masuk ke dalam masyarakat. Kelak mereka akan jadi pemimpin dan pemilik masa depan. Maka diperlukan juga program yang direncanakan, dieksekusi dan dimonitor terus-menerus yang bertujuan membentuk pribadi-pribadi anak yang bukan hanya pintar, tapi juga matang.***


 

×
Berita Terbaru Update