Nafila Duila Mahas Semester 3, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Malang
TamiangNews.com - Manusia memiliki fitrah berupaya untuk menguasai dan memiliki harta sebanyak mungkin. Dalam sebuah hadith Rasulullah SAW, dijelaskan bahwa manusia itu tidak akan puas dengan hartanya walaupun berbentuk satu lembah emas sehingga dia mati. Malahan al-Quran dan al-Sunnah dengan tegas menjelaskan bahwa harta tidak boleh berpindah milik dari seorang kepada orang yang lain melainkan dengan cara yang dibenarkan oleh syarak yaitu melalu perdagangan atau transaksi yang didasari atas suka sama suka.
Penggunaan harta dalam ajaran Islam harus senantiasa dalam pengabdian kepada Allah dan dimanfaatkan dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Pemanfaatan harta pribadi tidak boleh hanya untuk pribadi pemilik harta, melainkan juga digunakan untuk fungsi sosial dalam rangka membantu sesama manusia.
Kata kunci: Eksistensi Harta, Kepemilikan, kebahagiaan
Islam mempunyai konsep tersendiri terhadap harta (mal) yang berbeda dengan konsep harta menurut perspektif civil. Harta (mal) dari segi bahasa disebut dengan al-mal yan Nasrun Haroen dengan ungkapan yang agak berbeda mengungkapan bahwa al-mal berasal dari kata mala yang berarti condong atau berpaling dari tengah ke salah satu sisi dan al-mal diartikan sebagai segala sesuatu yang menyenangkan manusia dan mereka pelihara baik dalam bentuk materi maupun dalam bentuk manfaat.
Para fuqaha’ memberikan berbagai definisi tentang harta. Sebagian dari mereka mendefinisikan harta sebagai sesuatu yang diingini oleh tabiat manusia dan boleh disimpan untuk tempoh yang diperlukan atau sesuatu yang dapat dikuasai, disimpan dan dimanfaatkan.5 Muhammad Salam Madkur menungkapkan bahwa harta menurut para ulama fiqh ialah segala sesuatu yang boleh dikuasai dan disimpan untuk dipergunakan kapan diperlukan. Al-Syarbaini al-Khatib berpendapat, harta adalah sesuatu yang ada nilai dan orang yang merusakkannya akan diwajibkan membayar ganti rugi. Menurut golongan Hanafi, harta merupakan benda atau barang yang boleh dikuasai dan kebiasaannya boleh diambil faedah darinya. Maksudnya ialah sesuatu harta itu perlu ada dua unsur yaitu: Pertama, boleh dikuasai (hiyazah). Oleh karena itu, sesuatu barang yang tidak bisa dikuasai, tidak dianggap harta.
Jadi perkaraperkara maknawi seperti pengetahuan, kesihatan, kemuliaan dan kecerdikan tidaklah dianggap harta sebab ia tidak boleh dikuasai. Kedua, Pada kebiasaannya boleh diambil faedah. Oleh karena itu, sesuatu yang langsung tidak boleh diambil faedah darinya seperti daging bangkai, makanan yang beracun, makanan yang sudah rusak ataupun sesuatu yang boleh diambil manfaat darinya, tetapi tidak dianggap manfaat oleh manusia, pada kebiasaannya seperti sebiji gandum atau setitik air, maka ia tidak dianggap harta karena ia tidak bermanfaat apabila terpisah dari kesatuan yang lainnya.
Ulama Hanafi Mutaakhirin berpendapat bahwa definisi al-mal yang dikemukakan oleh pendahulunya dianggap tidak komprehensif dan kurang akomodatif sehingga mereka lebih cenderung untuk menggunakan definisi al-mal yang dikemukakan oleh jumhur ulama di atas, karena persoalan al-mal terkait dengan persoalan adat kebiasaan, situasi dan kondisi suatu masyarakat. Menurut mereka, kondisi hari ini kadangkala manfaat sesuatu benda boleh banyak menghasilkan penambahan harta dibandingkan pisik bendanya sendiri, seperti perbandingan harga antara mengontrakkan rumah selama beberapa tahun dari menjualnya. Oleh karena itu, Mustafa Ahmad al-Zarqa’ dari golongan Hanafi Mutaakhirin mengungkapkan
maka dapat dibuat kesimpulan bahwa segala sesuatu itu boleh disebut sebagai harta apabila memenuhi dua syarat berikut: Pertama, benda itu boleh dimiliki. Kedua, benda itu boleh dimanfaatkan.
Berikut ini ada beberapa perkara yang bisa masuk ke dalam ciri-ciri harta yaitu:
a. Sesuatu yang kita miliki dan boleh diambil manfaat darinya seperti rumah, kereta, tanah dan sebagainya.
b. Sesuatu benda yang belum kita miliki, tetapi berkemungkinan untuk memilikinya juga dianggap sebagai harta. Karena ia dapat dimiliki, seperti ikan di laut, burung di udara atau binatang di hutan boleh dianggap sebagai harta.
c. Sesuatu yang tidak boleh dimiliki walaupun boleh dimanfaatkan seperti udara, cahaya dan sebagainya, tidak dianggap sebagai harta.
d. Sesuatu yang tidak dapat dimanfaatkan dalam keadaan biasa seperti setitik air atau sebiji beras, walaupun boleh dimiliki, tidak dianggap sebagai harta. Maksud kegunaan dalam keadaan biasa ialah kegunaan mengikut kebiasaan manusia dan tabiat sesuatu benda tersebut. Beras, sebagai contohnya adalah makanan manusia yang mengenyangkan sebaliknya jika sebiji saja, beras tidak lagi sebagai sesuatu yang memberi manfaat kepada manusia walaupun boleh disimpan dan dimiliki
e. Sesuatu yang dicegah oleh syara’ untuk dimanfaatkan oleh semua orang, tidak dianggap sebagai harta walaupun benda itu dapat dimiliki dan dimanfaatkan oleh seseorang. Contoh seperti bangkai yang dicegah oleh syara’ untuk dimanfaatkan.
f. Seandainya sesuatu itu diharuskan boleh dimanfaatkan oleh sebagian golongan manusia, ia masih dianggap sebagai harta bagi mereka seperti babi dan arak, yaitu dianggap harta bagi kafir dhimmi tetapi tidak bagi orang Islam. Karena orang-orang Islam tidak boleh mengambil manfaat dari arak dan babi kecuali dalam keadaan darurat yang telah memenuhi syarat-syaratnya. Begitu juga, kedua-duanya tidak boleh dijadikan hak milik. Harta jenis ini dikenal sebagai harta yang tidak bernilai pada pandangan syara’. Walau bagaimanapun, Imam Abu Hanifah menganggap bahwa arak dan babi merupakan harta yang bernilai bagi orang-orang bukan Islam. Sebaliknya, jumhur ulama’ secara mutlak tidak menganggap kedua-duanya sebagai harta yang bernilai walaupun kepada bukan Islam
1. Kedudukan dan Fungsi Harta
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa sesuatu dinamakan harta manakala ia boleh dimiliki dan dimanfaatkan. Harta termasuk salah satu keperluan pokok manusia dalam menjalani kehidupan di dunia ini, sehingga oleh para ulama ushul fiqh persoalan harta dimasukan ke dalam salah satu al-daruria al khamsah (lima keperluan pokok), yang terdiri ke atas agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Harta tidak saja berkedudukan untuk mendekatkan diri kepada Allah tetapi harta juga berfungsi dalam kehidupan ini. Antara fungsi harta tersebut adalah:
1. Harta merupakan amanah (titipan, as a trust) dari Allah SWT. Manusia hanyalah pemegang amanah karena memang tidak mampu mewujudkan harta dari tiada.
2. Harta berfungsi sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia boleh menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan. Manusia memiliki kecenderungan yang kuat untuk memiliki, menguasai dan menikmati harta.
3. Harta sebagai ujian keimanan.15 Hal ini terutama menyangkut tentang cara mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran Islam atau tidak.
2. Pembagian Harta
Ahli-ahli fiqh membagikan harta kepada beberapa bagian, tiap-tiap bagian memiliki ciri-ciri tersendiri dan mempunyai ketentuan hukum yang berbeda menurut bagian masing-masing. Namun demikian, memadailah menyebutkan beberapa bagian saja. Bagian-bagian tersebut adalah: Pertama dilihat dari segi kebolehan pemanfaatannya menurut syara’, harta itu dapat dibagi kepada harta bernilai (al-mal al-mutaqawwim) dan tidak bernilai (al-mal ghair al-mutaqawwim). Harta bernilai (al-mal al-mutaqawwim), ialah harta yang dimiliki dan syara' membolehkan penggunaannya. Ibn Abidin mendefiniskan bahwa al-mal al-mutaqawwim ialah harta yang diakui kepemilikannya oleh syarak bagi pemiliknya. Pengakuan syarak ini hanya akan berlaku dengan adanya syarat-syarat yang berikut: (a) harta tersebut dimiliki oleh pemilik berkenaan secara sah. (b) harta tersebut boleh dimanfaatkan mengikut hukum syarak dalam keadaan biasa.Seperti harta-harta tidak bergerak, harta bergerak, makanan dan sebagainya. Sedangkan harta yang tidak bernilai (Al-mal ghair Al-mutaqawwim), ialah sesuatu yang tidak dimiliki, atau sesuatu yang syara’ tidak membolehkan penggunaannya kecuali ketika darurat (terpaksa). ***