TamiangNews.com - Pelecehan seksual adalah tindakan negatif (bernuansa seksual), baik yang dilakukan melalui kontak fisik maupun non-fisik. Pelecehan seksual ini bisa berupa permintaan pelaku untuk melakukan sex tanpa adanya persetujuan atau perizinan dari korban. Selain itu, pelecehan seksual juga bisa berupa perilaku lainnya yang secara verbal maupun fisik merujuk pada aktivita sex.
Tindakan ini bisa berupa main mata, siulan, sentuhan di bagian tubuh yang terlarang, ucapan yang berkonteks seksual, maupun isyarat-isyarat lain yang bersifat seksual. Dimana ini dapat menyebabkan ketidaknyamanan, merasa direndahkan martabatnya, membuat kesehatan mental seseorang menjadi terganggu dan juga bisa mengancam keselamatan nyawa si korban.
Adanya Budaya Patriarki Terhadap Perempuan
Di Indonesia, sebagian masyarakatnya masih menganut paham bahwa posisi perempuan ditempatkan di posisi kedua, yang pertama adalah laki-laki. Mereka juga menganggap bahwa perempuan adalah sosok yang harus patuh dalam segala hal. Bahkan di beberapa daerah atau kalangan, masyarakatnya masih percaya pada nilai atau adat kebiasaan yang mungkin tidak bisa di tawar lagi, seperti “ini yang tepat dan yang harus dilakukan oleh perempuan, dan itu adalah yang tepat atu yang harus dilakukan oleh laki-laki”.
Akibat dari adanya budaya patriarki tersebut adalah, adanya pembatasan ruang gerak yang sekiranya wajar (boleh) dan tak wajar (tidak boleh) dilakukan oleh perempuan. Hal ini tentu akan memengaruhi pandangan masyarakat akan kedudukan yang layak untuk para perempuan. Tak jarang, para perempauan juga sering menjadi kaum yang teraniaya dalam masyarakat.
Menurut catatan Komnas Perempuan dalam 18 tahun terakhir, pasti setiap dua jam sekali ada satu orang yang perempuan yang melaporkan bahwa dia telah mengalami kasus pemerkosaan. Sedangkan dalam satu harinya, ada kurang lebih 20 perempuan yang melapor bahwa mereka mengalami kekerasan seksual. Para pelaku kekerasan seksual kebanyakan adalah orang yang sebelumnya sudah korban kenal, atau bahakan orang terdekat korban.
Pemerintah Indonesia dan RKUHP-nya
Masyarakat menilai bahwa pemerintah Indonesia dinilai masih kurang dalam memberikan perhatian berupa perlindungan terhadap perempuan, dan juga pemerintah juga masih dinilai kurang dalam memberikan beratnya hukuman yang diberikan kepada pelaku. Meskipun begitu, masyarakat sendiri juga harus merubah cara berpikir dalam menyikapi kasus kekerasan seksual. Pada beberapa kasus, seringkali korbannya lah yang disalahkan, alih-alih si pelaku. Tapi, apapun alasannya, peremuan itu tidak boleh dilecehkan, diperkosa, atau tindakan lain yang mengarah pada aktivitas seksual lainnya. Justru perempuan atau korban harus diberikan perlindungan yang lebih, bukan malah diolok atau diasingkan.
Pada beberapa tahun yang lalu, rapat yang dilakukan oleh pemerintah dan DPR menghasilkan Pasal 484 ayat (1) huruf e draf RKUHP tentang zina, dimana itu mengatur laki-laki dan perempuan yang tidak memiliki hubungan suami istri atau tidak terikat perkawinan yang sah lalu melakukan peretubuhan, maka akan diancama pidana paling lama 5 tahun penjara. Dengan begitu, tentu pasal ini bisa berpotensi memidanakan korban pemerkosaan.
Korban pemerkosaan bisa berpotensi dijadikan tersangka tindak pidana zina apabila pihak pelaku mengaku bahwa itu terjadi karena atas dasar suka sama suka atau adanya perizinan melakukan persetubuhan dari korban. Sementara dalam banyaknya kasus pelecehan seksual, korban kerap kali mengalami kesulitan untuk membuktikan adanya ancaman kekerasan dalam pemerkosaan. Dengan keadaan seperti inilah yang membuat para perempuan korban pelecehan seksual semakin takut untuk melaporkannya kepada pihak berwajib. Karena itulah, akibatnya kasus kekerasan seksual akan semakin meningkat.
Seberapa Cukup kah Hukum Ditegakkan di Indonesia?
Ada beberapa contoh kasus yang dapat menunjukkan lemahnya hukum bagi para pelaku kekeraan seksual di Indonesia. Salah satunya adalah kasus kekerasan seksual yang pernah viral pada tahun 2016 lalu, dimana saat itu ada seorang siswi SMP di Bengkulu yang menjadi korban pemerkosaan oleh 14 orang. Korban diikat, dicekik lehernya, kemudian dicabuli secara bergilir. Setelah menuntaskan hasratnya, para pelaku kemudian membuang korban ke jurang.
Pada kasus ini, hanya ada satu pelaku yang dijatuhi hukuman mati, yang lainnya hanya dipenjara selama 10-20 tahun.
Ini adalah salah satu contoh betapa tidak sebandingnya apa yang telah para pelaku lakukan dan juga hukuman yang pelaku terima. Bahkan, Presiden Joko Widodo pun mengatakan bahwa hukuman pada pelaku kekerasan seksual busa berupa hukuman kebiri. Hal ini apabila pengadilan memutuskan mendakwa pelaku dengan hukuman tersebut. Tetapi pada kenyataanya, banyak kasus yang tidak dijatuhi hukuman yang layak atau semestinya.
Dalam hal ini, besar harapan pemerintah dan masyarakat lebih bersatu dalam memerangi kasus kekerasan seksual yang ada di Indonesia. Pemerintah dan masyarakat harus memberikan perlindungan yang lebih. Karena kekerasan seksual tidak hanya terjadi pada perempuan saja, tetapi pada anak. Dimana setiap tahunnya terus mengalami peningkatan. Maka, sudah sepatutnya hukuman terkait kekerasan seksual di Indonesia harus ditingkatkan agar dapat memberikan efek jera kepada pelaku, dan juga dapat mencegah orang lain yang hendak melakukan tindakan tersebut.***