Notification

×

Iklan

Iklan

Menjadikan Manusia Seutuhnya Di Pesantren

Minggu, 28 November 2021 | November 28, 2021 WIB | 0 Views Last Updated 2021-11-28T04:56:18Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Ahmad Subhan Mahasiswa Magister PAI Universitas Muhammadiyah Malang

TamiangNews.com --- Manusia adalah mahluk Allah SWT yang begitu unik, keunikannya tergambar dalam dua fasilitas yang Allah SWT sediakan untuknya yaitu akal dan nafsu. Akal kelak menjadi kendaraannya menuju kemuliaan hingga bisa menyaingi malaikat. Sebaliknya, nafsu menjadi penuntunnya menuju sebuah “alam” yang posisinya di alam itu lebih rendah dari hewan. Hati dalam hal ini menjadi “arena pertarungan” bagi akal dan nafsu. Tidak heran bila Nabi Muhammad SAW mengingatkan perihal hati; dalam jasad ada segumpal daging yang bila segumpal daging itu baik maka baik pula seluruh jasadnya. Bila segumpal daging itu rusak, maka rusak pula seluruh jasadnya. Daging itu ialah hati.

Pendidikan - dalam UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003- adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan”dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Dari situ dapat diketahui di  antara tujuan pendidikan adalah bagaimana nantinya peserta didik memiliki kekuatan spiritual, kepribadian dan akhlak mulia.

Manusia, dalam ranah pendidikan, bukan hanya menjadi subyek pendidikan, namun juga menjadi obyek. Manusia sebagai subyek pendidikan dapat dipahami lewat beberapa ayat Al-Qur’an, di antaranya; ketika Allah menciptakan alam ini untuk kepentingan dan  keperluan manusia; ketika Allah memilih manusia untuk menjadi khalifah di bumi ini; ketika Allah membekali manusia dalam menjalankan tugas kekhalifahan tersebut dengan ilmu. Di sisi lain, Nabi Muhammad SAW juga menjelaskan bagaimana Allah SWT mendidiknya dengan sebaik-baiknya, yang artinya manusia juga menjadi sasaran dari pendidikan itu sendiri.

Pesantren, dalam bahasa Nurcholis Madjid, adalah lembaga indigenous; lembaga produk asli Indonesia. Keberadaan pesantren tidak bisa dipandang sebelah mata. Bahkan, masih menurut Nurcholis, andaikan tidak ada penjajahan Belanda niscaya tidak ada Universitas Gajah Mada (UGM), Universitas Airlangga (UNAIR) dan sejenisnya, tetapi yang akan muncul ialah Universitas Tebuireng, Universitas Sidogiri dan sebagainya. Artinya, otentitas pesantren sebagai produk budaya Indonesia akan melahirkan berbagai sekolah tinggi yang beraviliasi dengan pesantren dan berbasis pesantren. 


Peranan pesantren di Indonesia sangatlah nampak terutama dalam bidang pendidikan dengan munculnya berbagai ulama di tingkat internasional seperti Syekh Nawawi, Banten, Syekh Yasin Al-Fadani, Syekh Mahfudz At-Tarmasi, termasuk pula pendiri dua ormas islam terbesar di Indonesia; Hadhrotus Syekh KH. Hasyim Asy’ari, Pendiri NU, dan KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah yang dulu keduanya nyantri di Darat, Semarang di bawah asuhan KH. Sholeh. Peran pesantren tidak hanya di bidang pendidikan, tercatat bahwa pesantren menjadi tembok besar yang menghalangi penjajah Belanda di berbagai daerah di Negeri ini. Kepiawaian pesantren berbaur dengan masyarakat berdampak kecintaan dan kepercayaan masyarakat kepada pesantren. Peluang ini dimanfatkan secara maksimal oleh pesantren dalam penyebaran dan pengembangan pendidikan juga membangun militansi di rumpun bawah untuk selalu menentang penjajahan, dengan bukti nyata digelorakannya fatwa Resolusi Jihad oleh Hadhrotus Syekh KH. Hasyim Asy'ari yang puncaknya meletuslah pertempuran 10 November di Surabaya.

Hasil ini tidaklah dicapai oleh pesantren semudah membalik telapak tangan. Para guru dan kyai di pesantren berusaha sekuat tenaga, mencurahkan segala daya dan upaya dalam mengajar, mendidik dan merawat para santri. Pendidikan yang dilakukan tidak hanya bersifat lahiriah, aspek batin juga digembleng dan menjadi pusat perhatian para guru dan kyai. Bisa dibilang, aspek kedua ini justru yang utama karena output seseorang sebenarnya bergantung pada input juga isi hati orang itu. Di antara strategi yang diterapkan para guru dan kyai di pesantren adalah menanamkan rasa muroqobah.

Muroqobah bila diartikan secara bebas yaitu pengawasan. Pengawasan dimaksud adalah bahwa Allah SWT senantiasa melihat dan memantau perilaku dan gerak-gerik hamba-Nya. Strategi ini adalah bentuk pengamalan sebuah poin penting dalam Hadits Jibril saat ia datang ke Rasulullah SAW memberi pengajaran inti-inti agama Islam; iman, Islam dan ihsan. Poin yang dimaksud adalah ihsan; engkau menyembah Allah seolah kau melihat-Nya, bila kau tidak melihat-Nya sesungguhnya Dia melihatmu. Poin ini perlu dijadikan asupan urgen dalam pendidikan karena di antara dampak yang diberikan adalah seorang santri/peserta didik secara tidak langsung diajak oleh para guru dan kyai untuk mejadi pribadi yang lebih baik, manusia seutuhnya dan menjauh dari tipikal “manusia bermuka dua”. Kendatipun di dunia pesantren cara ini tidak selalu disampaikan secara gambling dan terang, namun tingkah laku, arahan para guru, bahkan banyak duduk meyertai/mujalasah bersama guru dan kyai baik di berbagai kegiatan formal atau non formal sangat membantu menumbuhkan perasaan muroqobah dalam diri santri. Logikanya, jika dia merasa malu mengerjakan sesuatu tidak terpuji di hadapan guru padahal guru juga manusia, bagaimanakah bila perilakunya selalu dipantau oleh Dzat yang Mahatahu? Sudah semestinya dia akan melakukan hal yang sama, bahkan lebih dari ketika di hadapan guru.

Namun demikian, walau pesantren telah berusaha maksimal menjalankan amanah pendidikan bukan berarti semua santri menjadi luaran yang sempurna. Ibarat sebuah pabrik, selain produk yang dikeluarkan juga ada limbah yang terbuang. “Kegagalan” sebagian santri ini tidak bisa menjadi bukti kegagalan pesantren dalam mendidik. Terdapat berbagai sebab hingga sebagian orang yang dulunya nyantri sekarang terjerumus. Sebab-sebab ini bukan hanya bersifat kasat mata seperti tindakan kriminal yang dilakukan sebagian santri, tidak sedikit pula sebab yang di luar logika kebanyakan orang seperti sikap tidak sopan atau amoral santri kepada guru atau kyai, bahkan kegagalan sebagian santri bisa jadi karena guru kurang memerhatikan aspek ini. Fokus perhatian guru hanya pada sisi kognitif-intelektual santri/peserta didik dan mengabaikan sisi kognitif-emosional dan pengayaan hati. Oleh karenanya terdapat sebuah simpulan, tujuan inti/utama pesantren adalah mendidik santri untuk memiliki akhlak mulia; bila santri sudah tidak berakhlak, maka pesantren tersebut dianggap gagal.***

×
Berita Terbaru Update