Notification

×

Iklan

Iklan

Lingkungan Politik Yang Semakin Koruptif

Minggu, 21 November 2021 | November 21, 2021 WIB | 0 Views Last Updated 2021-11-21T01:41:44Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik


Oleh Nadia Nur Faizah Semester 1 Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang

TamiangNews.com --- Korupsi politik mengacu pada penyalahgunaan amanah kekuasaan oleh para pemimpin politik guna mendapatkan keuntungan pribadi, meningkatkan kekuasaan dan kekayaan dengan cara menguntungkan pihak tertentu yang berdampak meracuni politik dan mengancam demokrasi.

Beberapa pengamat menisbatkan penurunan indeks persepsi korupsi Indonesia itu sebagai konsekuensi perubahan peraturan perundangan yang cenderung melmahkan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi. namun pada akhirnya, dukungan politik terhadap fenomena ini juga merupakan manifestasi dari penguatan korupsi politik yang melemahkan fungsi-fungsi pemerintahan hukum dan akuntabilitas demokratis.

Apabila ada kader atau elite partai politik, baik sebagai wakil rakyat maupun pejabat pemerintah, terlibat tindak pidana korupsi, suap-menyuap, atau perilaku yang ujung-ujungnya keuntungan uang. ada beberapa penyebab mereka berperilaku licik, yaitu,

Mereka memiliki bakat tidak baik untuk menipu, setiap kali mereka memiliki kesempatan, mereka memanfaatkan kesempatan itu untuk bertindak merugikan banyak pihak. mereka adalah orang-orang yang bersikap rakus dan serakah, tidak pernah merasa puas dengan kekayaan melimpah yang sudah mereka miliki

Mereka mengumpulkan dana agar roda organisasi partai bisa terus berputar lancar dengan mendapatkan restu dan perintah terselubung dari partai. Sejujurnya, penyebab ini yang paling banyak memicu korupsi.

Namun, dari semua penyebab itu, orang-orang tersebut jelas tidak memiliki iman dan tidak takut dengan dosa, menjalankan perintah agama hanya sebagai kedok belaka. Untuk menutupi kejahatan besarnya terhadap masyarakat.

Sementara itu kebutuhan dana yang demikian besar, yang terkait dengan aturan main maupun lingkungan politik yang semakin koruptif, pada akhirnya mendorong kandidat/kader melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak yang pada akhirnya menuntut kompensasi. Menurut catatan KPK menunjukan bahwa salah satu motif dari munculnya praktik politik uang adalah dalam rangka kompensasi politik dengan beragam bentuknya.

Dalam perkembangan demokrasi Indonesia, setelah MPR dilucuti kedudukannya sebagai lembaga tertinggi negara wahana  penjelmaan seluruh rakyat (melalui parpol), seluruh golongan, dan seluruh daerah kedudukan dan perilaku Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi terlalu dominan seakan menempatkan dirinya sebagai parlemen.

Padahal, seperti ditegaskan para pendiri negara, DPR bukanlah parlemen (lembaga perwakilan terlengkap), melainkan lembaga legislatif biasa. Dengan dominasi DPR sebagai katalis hak-hak individu melalui parpol, keberadaan Dewan Perwakilan Daerah sebagai artikulator hak-hak teritorial (kedaerahan) dilemahkan fungsi dan kewenangannya. Sementara itu, utusan golongan yang bisa berperan sebagai kekuatan penyeimbang dalam memperjuangkan hak-hak komunitarian tak lagi punya tempat dalam lembaga perwakilan.

DPR seharusnya bertugas sebagai penyampai aspirasi rakyat, dan malah terjerat kasus korupsi. Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin sebagai tersangka pada Sabtu (25/9/2021) dini hari. Azis menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi pemberian hadiah atau janji terkait penanganan perkara yang ditangani oleh KPK di Kabupaten Lampung Tengah.

Politisi Partai Golkar ini diduga memberikan uang pelicin sebesar Rp 3,1 miliar kepada mantan penyidik KPK Stepanus Robin untuk mengurus perkara di Lampung Tengah yang menyeret namanya dan kader Partai Golkar lainnya, yaitu Aliza Gunado, yang tengah diselidiki KPK.

Berdasarkan data yang diakses Kompas.com dalam situs web elhkpn.kpk.go.id milik KPK, Azis terakhir kali melaporkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) pada 22 April 2021 untuk laporan periodik tahun 2020.

Adapun di LHKPN terbaru, Azis tercatat memiliki total harta kekayaan sebanyak Rp 100.321.069.365 dan beberapa kasus lainnya.

Atas perbuatannya, Azis disangkakan melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 5 Ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam kaitan itu, studi  Rose Ackerman (1999) menunjukkan bahwa negara-negara dengan tingkat korupsi  tinggi  memiliki tingkat kepercayaan yang rendah terhadap institusi-institusi publik, yang selanjutnya membawa dampak negatif berupa pudarnya komitmen warga pada proyek kolektif dan nilai-nilai kewargaan yang memacu tingkat kriminalitas dan disorganisasi sosial.

Sejalan dengan  itu, studi Della Porta (2000) menengarai bahwa korupsi merupakan sebab dan akibat dari buruknya kinerja pemerintahan. Korupsi membawa buruk kinerja pemerintahan dan buruknya kinerja pemerintahan merangsang warga negara untuk  mengembangkan praktik- praktik penyuapan untuk mempermudah urusan atau memengaruhi  pengambilan keputusan, yang pada gilirannya kian menyuburkan praktik korupsi. Pada akhirnya, tingginya tingkat korupsi mengakibatkan rendahnya tingkat kepercayaan terhadap demokrasi.

Pemilihan umum tahun 2024 merupakan tantangan tersendiri bagi para pemilih bernalar sehat dan pemilih pemula yang baru pertama kali akan menggunakan hak pilihnya. Mengapa? Karena tidak satu pun partai baik dalam lingkaran kekuasaan maupun oposisi yang bersih dari tindak pidana korupsi dan suap-menyuap.

Bahkan, partai yang semula dianggap bersih juga terkontaminasi penyakit akut republik ini. Partai-partai baru belum bisa menjanjikan apa-apa, apalagi kalau para pemimpinnya terdiri atas tokoh daur ulang dari partai-partai lama. Seperti kita ketahui, hampir semua partai di negeri kita pernah terlibat konflik internal, lagi-lagi karena uang dan kekuasaan. Akibatnya, banyak yang mendirikan partai baru demi mengejar kekuasaan.

Entah perlu berapa tahun atau bahkan dekade sampai kita benar-benar memiliki partai yang bersih dan profesional, melayani rakyat dan bukan sekadar berkuasa.

Kenyataannya partai-partai yang ada sekarang ada yang dikelola seperti milik keluarga, ada juga yang seperti perusahaan, selalu berpikir untung dan rugi. Ada partai-partai yang kekuasaan dan kewenangannya terpusat di satu tangan.

Akibatnya, partai-partai tersebut tidak mempunyai kader yang menonjol. Bagaimana kalau tokoh-tokoh sentral penguasa partai mendadak dipanggil pulang Sang Pencipta? Bisa berantakan partai.***

Khawatirnya, semoga tidak terjadi, akan banyak orang tak mau menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2024.

Usaha pemberantasan korupsi pada pangkalnya memerlukan penataan kelembagaan demokrasi dan nomokrasi (rule of law)  melalui penyehatan parpol dan penataan ulang lembaga perwakilan rakyat yang dapat menyediakan kerangka checks and balances antar-berbagai bentuk representasi rakyat dalam parlemen.

×
Berita Terbaru Update