Oleh Nadia Nur Faizah Semester 1 Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang
TamiangNews.com --- Korupsi politik mengacu pada penyalahgunaan amanah kekuasaan oleh para pemimpin politik guna mendapatkan keuntungan pribadi, meningkatkan kekuasaan dan kekayaan dengan cara menguntungkan pihak tertentu yang berdampak meracuni politik dan mengancam demokrasi.
Beberapa pengamat menisbatkan penurunan indeks
persepsi korupsi Indonesia itu sebagai konsekuensi perubahan peraturan
perundangan yang cenderung melmahkan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi. namun
pada akhirnya, dukungan politik terhadap fenomena ini juga merupakan
manifestasi dari penguatan korupsi politik yang melemahkan fungsi-fungsi
pemerintahan hukum dan akuntabilitas demokratis.
Apabila ada kader atau elite partai politik,
baik sebagai wakil rakyat maupun pejabat pemerintah, terlibat tindak pidana
korupsi, suap-menyuap, atau perilaku yang ujung-ujungnya keuntungan uang. ada
beberapa penyebab mereka berperilaku licik, yaitu,
Mereka memiliki bakat tidak baik untuk menipu,
setiap kali mereka memiliki kesempatan, mereka memanfaatkan kesempatan itu
untuk bertindak merugikan banyak pihak. mereka adalah
orang-orang yang bersikap rakus dan serakah, tidak pernah merasa puas dengan kekayaan
melimpah yang sudah mereka miliki
Mereka mengumpulkan dana agar roda
organisasi partai bisa terus berputar lancar dengan mendapatkan restu dan
perintah terselubung dari partai. Sejujurnya, penyebab ini yang paling banyak
memicu korupsi.
Namun, dari semua penyebab itu,
orang-orang tersebut jelas tidak memiliki iman dan tidak takut dengan dosa,
menjalankan perintah agama hanya sebagai kedok belaka. Untuk menutupi kejahatan
besarnya terhadap masyarakat.
Sementara itu kebutuhan dana yang demikian
besar, yang terkait dengan aturan main maupun lingkungan politik yang semakin
koruptif, pada akhirnya mendorong kandidat/kader melakukan kolaborasi dengan
berbagai pihak yang pada akhirnya menuntut kompensasi. Menurut catatan KPK
menunjukan bahwa salah satu motif dari munculnya praktik politik uang adalah
dalam rangka kompensasi politik dengan beragam bentuknya.
Dalam perkembangan demokrasi Indonesia,
setelah MPR dilucuti kedudukannya sebagai lembaga tertinggi negara wahana penjelmaan seluruh rakyat (melalui parpol),
seluruh golongan, dan seluruh daerah kedudukan dan perilaku Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) menjadi terlalu dominan seakan menempatkan dirinya sebagai
parlemen.
Padahal, seperti ditegaskan para pendiri
negara, DPR bukanlah parlemen (lembaga perwakilan terlengkap), melainkan lembaga
legislatif biasa. Dengan dominasi DPR sebagai katalis hak-hak individu melalui
parpol, keberadaan Dewan Perwakilan Daerah sebagai artikulator hak-hak
teritorial (kedaerahan) dilemahkan fungsi dan kewenangannya. Sementara itu,
utusan golongan yang bisa berperan sebagai kekuatan penyeimbang dalam
memperjuangkan hak-hak komunitarian tak lagi punya tempat dalam lembaga
perwakilan.
DPR
seharusnya bertugas sebagai penyampai aspirasi rakyat, dan malah terjerat kasus
korupsi. Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin sebagai tersangka pada Sabtu
(25/9/2021) dini hari. Azis menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi
pemberian hadiah atau janji terkait penanganan perkara yang ditangani oleh KPK
di Kabupaten Lampung Tengah.
Politisi
Partai Golkar ini diduga memberikan uang pelicin sebesar Rp 3,1 miliar kepada
mantan penyidik KPK Stepanus Robin untuk mengurus perkara di Lampung Tengah
yang menyeret namanya dan kader Partai Golkar lainnya, yaitu Aliza Gunado, yang
tengah diselidiki KPK.
Berdasarkan
data yang diakses Kompas.com dalam situs web elhkpn.kpk.go.id milik KPK, Azis
terakhir kali melaporkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN)
pada 22 April 2021 untuk laporan periodik tahun 2020.
Adapun di
LHKPN terbaru, Azis tercatat memiliki total harta kekayaan sebanyak Rp
100.321.069.365 dan beberapa kasus lainnya.
Atas
perbuatannya, Azis disangkakan melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 5
Ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam kaitan itu, studi Rose Ackerman (1999) menunjukkan bahwa
negara-negara dengan tingkat korupsi
tinggi memiliki tingkat
kepercayaan yang rendah terhadap institusi-institusi publik, yang selanjutnya
membawa dampak negatif berupa pudarnya komitmen warga pada proyek kolektif dan
nilai-nilai kewargaan yang memacu tingkat kriminalitas dan disorganisasi
sosial.
Sejalan dengan itu, studi Della Porta (2000) menengarai
bahwa korupsi merupakan sebab dan akibat dari buruknya kinerja pemerintahan.
Korupsi membawa buruk kinerja pemerintahan dan buruknya kinerja pemerintahan
merangsang warga negara untuk
mengembangkan praktik- praktik penyuapan untuk mempermudah urusan atau
memengaruhi pengambilan keputusan, yang
pada gilirannya kian menyuburkan praktik korupsi. Pada akhirnya, tingginya
tingkat korupsi mengakibatkan rendahnya tingkat kepercayaan terhadap demokrasi.
Pemilihan umum tahun 2024 merupakan
tantangan tersendiri bagi para pemilih bernalar sehat dan pemilih pemula yang
baru pertama kali akan menggunakan hak pilihnya. Mengapa? Karena tidak satu pun
partai baik dalam lingkaran kekuasaan maupun oposisi yang bersih dari tindak
pidana korupsi dan suap-menyuap.
Bahkan, partai yang semula dianggap bersih
juga terkontaminasi penyakit akut republik ini. Partai-partai baru belum bisa
menjanjikan apa-apa, apalagi kalau para pemimpinnya terdiri atas tokoh daur
ulang dari partai-partai lama. Seperti kita ketahui, hampir semua partai di
negeri kita pernah terlibat konflik internal, lagi-lagi karena uang dan
kekuasaan. Akibatnya, banyak yang mendirikan partai baru demi mengejar
kekuasaan.
Entah perlu berapa tahun atau bahkan
dekade sampai kita benar-benar memiliki partai yang bersih dan profesional,
melayani rakyat dan bukan sekadar berkuasa.
Kenyataannya partai-partai yang ada
sekarang ada yang dikelola seperti milik keluarga, ada juga yang seperti
perusahaan, selalu berpikir untung dan rugi. Ada partai-partai yang kekuasaan
dan kewenangannya terpusat di satu tangan.
Akibatnya, partai-partai tersebut tidak
mempunyai kader yang menonjol. Bagaimana kalau tokoh-tokoh sentral penguasa
partai mendadak dipanggil pulang Sang Pencipta? Bisa berantakan partai.***
Khawatirnya, semoga tidak terjadi, akan
banyak orang tak mau menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2024.
Usaha pemberantasan korupsi pada
pangkalnya memerlukan penataan kelembagaan demokrasi dan nomokrasi (rule of
law) melalui penyehatan parpol dan
penataan ulang lembaga perwakilan rakyat yang dapat menyediakan kerangka checks
and balances antar-berbagai bentuk representasi rakyat dalam parlemen.