Notification

×

Iklan

Iklan

Media Sosial dan Nilai Personal Mempengaruhi Tendensi Konsumtif

Selasa, 30 Maret 2021 | Maret 30, 2021 WIB | 0 Views Last Updated 2021-04-06T03:25:30Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Oleh : Ahmad Qoyyum     
Mahasiswa Ushluddin dan Pemikiran Islam

TamiangNews.com ¦ Belakangan di era media digital kita melihat bahwa aktifitas konsumtif yang terjadi di masyarakat semakin luas. Fenonema seperti nongkrong di kafe, stlye pakaian, hijab kekinian, minuman yang mudah laris dipasaran, dan semua hal yang berbau digital tidak lagi menjadi kebutuhan tersier tapi sudah bergeser menjadi kebutuhan primier. 

Pergeseran nilai-nilai tersebut membuat masyarakat kita semakin konsumtif dan sedikit selektif terhadap banyak hal terutama dalam keputusan pembelian suatu barang. Misalnya, ada golongan masyarakat yang mudah mengeluarkan uang 50.000 untuk membeli satu minuman kopi dan cemilan di Starbcck atau kafe-kafe lain seperti Janji Jiwa tapi secara bersamaan bisa mengatakan keberatan ketika diminta mengeluarkan uang 5.000 untuk membeli es teh di angkringan pinggir jalan. 

Contoh lain saat ingin membeli barang seperti hijab yang sedang trend, seseorang sudah cukup banyak memiliki koleksi hijab, tapi karena ada hijab yang sedang trend seperti pashmina atau yang lain, maka seseorang untuk memutuskan untuk membeli.

Di era Industri 4.0 serta era postmodern membuat aktivitas pembelian konsumtif terhadap suatu barang tidak lagi didasarakan pada tingkat urgensi atau kebutuhan. 

Fenomena seperti konsumsi terhadap keputusan pembelian barang seperti contoh diatas merupakan pengaruh dari penggunaan media digital yang semakin hari intensitas penggunaannya semakin tinggi. 

Trentmann (2004) mengemukakan bahwa sebagai akibat posmodernisme, terjadi pergeseran makna konsumsi di dunia. Konsumsi tidak lagi dipandang sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan, tetapi juga cara untuk menunjukkan jati diri (Verplanken & Sato, 2011), menjaga relasi sosial hingga bagaimana menunjukkan status sosial pada masyarakat (Griskevicius, Tybur, & van den Bergh, 2010). 

Salah satu fenomena tersebut adalah pembelian impulsif yang, jika meminjam istilah Verplanken dan Sato (2011), fenomena yang merusak total kaidah manusia sebagai ‘homo economicus’. 

Berdasarkan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa konsumsi dapat menjadi cerminan nilai seseorang (Griskevicius dkk., 2010; Kacen &Lee, 2002;  Verplanken & Holland, 2002. Hal itu bukanlah tanpa dasar, sebab keputusan pembelian terhadap barang secara implusif di masyarakat kerapkali disadarkan pada trend, menunjukkan status sosial, serta mejaga relasi dan circle hubungan sosial.

Rook dan Gardner (1993) menyatakan pembelian impulsif adalah pembelian yang sifatnya tidak terencana dan biasanya diikuti oleh emosi dalam prosesnya. Perasaan bahwa ‘aku harus memilikinya saat ini’ mendominasi seseorang yang membeli barang secara impulsif. 

Konstruk ini sering kali disejajarkan dengan pembelian kompulsif tetapi sesungguhnya keduanya adalah konstruk yang berbeda. Pembelian kompulsif memiliki sifat adiktif yang terkadang dapat membahayakan diri sendiri (Schiffman, Kanuk & Wisenbilt, 2015), sementara pembelian impulsif dilakukan hanya karena saat itu dia merasa ‘ingin’.

Kemudian di masyarakat juga berkembang steorotip bahwa stlye pakaian, circle sosial, serta kehidupan media sosial adalah representasi keseluruhan dari kehidupan individu. Hal itu juga yang berpengaruh individu sulit lepas dan merasa adiktif terhadap kehidupan digital dan kehidupan media sosial.

Pernyataan menarik dari Rook dan Gardner yang mengatakan bahwa pembelian impulsif terhadap suatu barang terpengaruhi oleh emosi bisa membuat kita sebagai masyarakat semakin selektif dalam keputusan pembelian barang, agar tidak terjadi ketidakseimbangan finanisal. ***

×
Berita Terbaru Update